Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERATUS orang Bondowoso tawanan Belanda itu dibawa dalam tiga gerbong barang menuju Surabaya. Sampai di tujuan, setelah kereta merayap 13 jam dengan gerbong tertutup rapat, pintu-pintu pun dibuka. Empat puluh enam penumpang meninggal. Kesimpulan medis atas ”kecelakaan” pada 23 November 1947 itu: para tawanan mati kehabisan oksigen. Pasukan pengawal gerbong maut itu tak pernah sedetik pun memeriksa keadaan para tahanan, yang meringkuk tanpa makan, tanpa minum, tanpa udara.
Setahun kemudian, Pengadilan Tinggi Militer menjatuhkan hukuman kepada tentara yang bersalah. Tiga perwira dan lima bawahan mereka divonis antara 2 dan 8 bulan penjara, potong masa tahanan. Tiga tertuduh lainnya bebas.
150 Mati, Mayor Bebas
Dalam operasi militer pada 9 Desember 1947 di Rawagede, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, tentara Belanda menahan 20 orang Indonesia. Tahanan itu lalu ditembak mati tanpa proses hukum. Komisi Jasa Baik PBB melakukan penyelidikan. Pada 12 Januari 1948, Komisi melapor bahwa di daerah itu memang telah berkembang gerakan teror bawah tanah. Rawagede adalah pusatnya. Meski begitu, dalam laporan Komisi disebut bahwa tindakan tentara Belanda di situ bersifat ”sengaja” dan ”main hantam kromo”.
Semula, militer Belanda menyangkal terjadi pembantaian di Rawagede itu. Tapi kemudian muncul pengakuan: beberapa tahanan ditembak mati tanpa proses hukum setelah diinterogasi. Selama dan setelah operasi militer berlangsung, jatuh korban jiwa 150 orang Indonesia, walaupun di desa-desa itu tak ditemukan sepucuk pun senjata api. Pihak Belanda tak kehilangan seorang pun personelnya.
Komandan tentara Belanda berunding dengan jaksa agung tentang kasus yang menarik perhatian internasional ini. Mereka memutuskan, atas pertimbangan asas oportunitas, perwira berpangkat mayor yang memimpin operasi—dan bertanggung jawab atas pembunuhan 20 tahanan—tidak akan dituntut. Padahal, hukum acara pidana militer tidak mengenal opportuniteitsbeginsel (seorang tersangka bisa tak dituntut karena pertimbangan ”kepentingan umum”).
92 Korban di Cirebon
Pada Januari 1948, ada rel kereta api yang didongkel di Karangjunti dan Negla, dua desa di sekitar Cirebon. Pendongkelan itu dibalas: 300 penduduk di dua desa tadi ditembak, dan puluhan rumah dibakar. Laporan ini masuk ke Komisi Jasa Baik, dan dikutip oleh pers Amerika. Konfirmasi diperoleh dari Direksi Timur Jauh Kementerian Luar Negeri Hindia Belanda di Batavia, sebagai berikut: Tanggal 16 Januari 1948 telah dilancarkan operasi militer. ”Di pihak musuh jatuh korban 92 orang”. Operasi militer diadakan karena ”ada satu pos yang ditembaki, ada jalan besar yang didongkel, penduduk diteror, dan lurah dibunuh”.
Tujuh Ditembak di Maguwo
Seorang sersan mayor Kopassus (Corps Speciaal Troepen) KNIL menahan tujuh orang Indonesia di Lapangan Terbang Maguwo, Yogyakarta, 19 Desember 1948. Semua tahanan lalu dibunuh, tanpa alasan jelas. Tak jauh dari lokasi pembantaian, lewat sebuah mobil. Penumpangnya Mr. Santoso, suami almarhumah Maria Ulfah, bersama pengemudinya. Tiba-tiba mobil ditembaki, membuat penumpangnya amat kaget. Beberapa serdadu Belanda mendekati mobil, dan salah seorang berteriak, ”Kowe semua busuk!” lalu memuntahkan peluru senapan mesinnya ke tubuh penumpang dan sopirnya.
Pada 5 April 1949, oditur militer di Pengadilan Perang KNIL di lapangan memerintahkan agar sersan mayor tersebut ditahan. Dalam interogasi, serma itu mengatakan bahwa salah seorang yang ditahan memegang senjata api dan mengambil posisi mengancam. ”Bohong!” kata oditur.
Penembakan dr. Nasoetion
Dua hari sesudah kasus Maguwo, si sersan mayor membunuh dr. Nasoetion, orang dekat Bung Hatta, dan dua orang Indonesia lainnya. Dua orang lagi berhasil lari dalam keadaan cedera.
Pada hari nahas 21 Desember 1948 itu, si Serma Kopassus diinstruksikan untuk mencari ayam buat makan malam para perwira tinggi. dr. Nasoetion dan empat tahanan lain diserahkan kepada patroli Kopassus Belanda tersebut. Menurut serma yang memimpin patroli, para tawanan mencoba lari. Para penyidik Belanda berhasil menemukan dua tahanan yang selamat. Mereka menyatakan tiada satu pun alasan bagi patroli maut itu untuk menembak.
Pengadilan pembunuh tujuh orang di Maguwo dan dr. Nasoetion di Kaliurang ditunda karena terdakwa terluka dalam operasi militer. Setelah penyerahan kedaulatan, 29 Desember 1949, Pengadilan Militer di Lapangan KNIL dibubarkan. Berkas perkara algojo Maguwo dan Kaliurang dimusnahkan.
16 Orang ”Diberi Pelajaran”
Pada 2 dan 3 Maret 1949, 16 tahanan di penjara Lowokwaru, Malang, diikutsertakan patroli KNIL supaya mereka menunjukkan jalan ke teman-temannya. Menurut pengakuan para komandan patroli, tahanan mencoba lari. Terpaksalah patroli melepaskan tembakan. Kebetulan semuanya kena dan mati. Cerita ini dibenarkan oleh para anak buahnya. Tak lama kemudian salah seorang komandan patroli gantung diri.
Sesudah itu, anak buahnya mengubah cerita semula, yakni pembunuhan para tahanan dimaksudkan untuk memberi pelajaran kepada kampung-kampung di sekitar Malang, yang terkenal mendukung ”ekstremis” Republik. Rencana ini berasal dari dua perwira, seorang kolonel, dan seorang letnan kolonel. Berita pembantaian ini bocor ketika seorang wakil Komisi Palang Merah Internasional berkunjung ke Lowokwaru dan melaporkan bahwa sejumlah tahanan hilang tanpa jejak. Kolonel dan letkol KL (Koninklijke Landmacht) yang memberi perintah pembantaian diperiksa oleh polisi militer Belanda dan mengaku.
Oditur militer menyarankan agar para perwira tersebut diadili karena ”…yang telah terjadi adalah suatu kejahatan perang yang jenisnya persis sama dengan kejahatan yang dilakukan oleh banyak tentara Jerman yang diadili di Belanda setelah perang berakhir”. Kedua perwira langsung dipulangkan ke Belanda, mengingat sebentar lagi akan dilangsungkan penyerahan kedaulatan.
Di Belanda, berlangsung korespondensi gencar antara Komandan Tentara Belanda, Menteri Perang dan Kehakiman, Advocaat Fiscaal untuk Angkatan Laut dan Angkatan Darat di Den Haag. Menurut mereka, perkara ini sebaiknya dideponir: ”Pengadilan dua perwira ini dapat menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan di kalangan publik Belanda.”
30 Korban ”Stres”
Di Gendang, Kalimantan Selatan, 28 Februari 1949, 30 tahanan ditembak mati oleh patroli gabungan tentara KL dan KNIL. Mayat mereka dilemparkan ke sungai. Sersan yang memimpin patroli dan memerintahkan pembantaian ditangkap. Kata seorang dokter, ia kecapekan dan tidak dapat lagi ditugasi di lapangan.
Menurut keterangan para anggota patroli, pada suatu malam beberapa tahanan berupaya melarikan diri, dua serdadu Belanda terluka ringan. Beberapa hari kemudian si sersan memerintahkan agar tahanan yang masih ada ditembak mati saja karena mereka ”sangat merepotkan”, dan ia sendiri sudah letih menghadapi keadaan sulit di medan. Sersan tersebut diturunkan pangkatnya menjadi prajurit kelas 2.
Jaksa agung memutuskan mengadili si sersan dan para anggota patroli yang berasal dari KNIL di Pengadilan Militer Makassar. Yang dari kesatuan KL akan diadili di Surabaya. Pengadilan Militer Makassar merencanakan bersidang pada 9 Desember 1949. Entah kenapa, sidang ditunda, dan sang sersan dilepaskan dari tahanan. Ia dipindahkan ke Jawa Timur sesuai dengan perintah. Ternyata kemudian tak seorang pun tentara diadili dalam perkara ini—tidak di Makassar, tidak di Surabaya.
Lain Dulu, Lain Sekarang
Masih banyak lagi kasus menyangkut tentara Belanda, KNIL, dan KL, terekam dalam dokumen-dokumen dan korespondensi yang digali dari arsip jaksa agung, sekretaris umum, Kementerian Jajahan, lampiran perbincangan Parlemen Belanda, Kabinet Panglima Tentara (Kabinet Legercommandant), NEFIS, Pengadilan Tinggi Militer, Kementerian Kehakiman, Komandan Angkatan Laut Hindia Belanda, Korps Marinir, Kementerian Luar Negeri, Markas Besar Komandan Angkatan Darat, Korps Polisi Militer, dan perbincangan Majelis Tinggi Belanda.
Semua itu dilaporkan dalam De Excessennota (Sdu Uitgeverij Koninginnegracht, Den Haag, 1995), kumpulan 141 kasus kejahatan terhadap kemanusiaan pada 1945-1950 yang dilakukan tentara Belanda di Indonesia. Judulnya (”Catatan tentang Ekses-Ekses”), dipilih secara sangat hati-hati untuk menghindari istilah ”kejahatan perang”.
Nota itu terbit pada 1969, tahun heboh tentang pembantaian penduduk Vietnam di My Lai. Pemicunya adalah wawancara TV Belanda dengan seorang bekas serdadu Belanda yang pernah ditugasi di Hindia Belanda pada tahun 1947. Nurani bangsa Belanda tergugah setelah tahu banyak bangkai, janda, dan anak yatim yang terlupakan di Sabuk Zamrud.
Yang menonjol dari kumpulan dokumentasi itu adalah kepekaan pemerintah sipil terhadap cerita orang tentang perbuatan melanggar hukum oleh aparat militer Belanda. Yang mengagumkan, kepedulian itu hampir secara langsung diterjemahkan ke dalam tindakan berbentuk instruksi untuk penyelidikan atau surat permintaan laporan.
Memang, laporan itu ada yang berdasar penyelidikan, ada yang asal-asalan, ada pula laporan bohong yang mencolok, dan memang ada yang cermat. Yang mungkin asing bagi kuping Indonesia, laporan itu tidak hanya dibaca, tapi ditindaklanjuti. Akhirnya, yang menakjubkan, arsip semua instansi, sipil ataupun militer, sebagian besar terpelihara dan dapat diteliti oleh siapa pun yang berkepentingan. Barangkali inilah yang disebut good governance.
Sejarah kekerasan di Indonesia lain dulu, lain sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo