Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menguber Penjahat dengan Stuber

Film ringan tentang seorang detektif yang menggunakan taksi online untuk memburu penjahat.

19 Agustus 2019 | 07.23 WIB

Aktor laga Iko Uwais ditemui saat pemutaran perdana film terbarunya Stuber di Epicentrum Cinema XXI, Jakarta, Senin, 24 Juni 2019. Dalam Stuber, Iko Uwais beradu peran dengan Kumail Nanjiani dan Dave Bautista, bintang film Marvel,Guardians Of The Galaxy. TEMPO/Nurdiansah
Perbesar
Aktor laga Iko Uwais ditemui saat pemutaran perdana film terbarunya Stuber di Epicentrum Cinema XXI, Jakarta, Senin, 24 Juni 2019. Dalam Stuber, Iko Uwais beradu peran dengan Kumail Nanjiani dan Dave Bautista, bintang film Marvel,Guardians Of The Galaxy. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGUBER PENJAHAT DENGAN STUBER

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

STUBER

Sutradara                 : Michael Dowse

Skenario                   : Tripper Clancy

Pemaon                    : Kumail Nanjiani, Dave Bautista, Iko Uwais, Natalie Morales

 

Film ringan tentang seorang detektif yang menggunakan taksi online untuk memburu penjahat.

 

 

                        Sebetulnya setelah digedor hampir setiap bulan oleh film-film blockbuster beranggaran tinggi seperti serial superhero di dunia Marvel atau DC, atau pembuatan ulang produk Disney, maka film yang  ‘sederhana’ dengan premis yang ‘lurus’ seperti “Stuber” adalah sesuatu yang menyegarkan.

            Premisnya sederhana, seorang supir uber, taksi online bernama Stu Prasad (maka dia sering dipanggil Stuber oleh bosnya, anak pengusaha yang menyebalkan), mencari duit tambahan untuk membangun sebuah gym bersama perempuan yang sudah lama dicintainya. Di suatu siang yang nahas, seorang detektif bertubuh gigantik Vic Manning (Dave Bautista) menghambur menghampiri mobil listrik sewaan Stu. Vic sedang mengejar seorang penjahat kelas kakap dan gembong narkoba Oka Tedjo (Iko Uwais) yang membunuh partnernya , Sara Morris (Karen Gillan).

            Pertemuan Stu dan Vic yang semula adalah urusan supir taksi dan penumpang menjadi sebuah hubungan sohib –meski semula terpaksa—karena Stu terpaksa terseret-seret dalam upaya pengejaran si penjahat itu. Semula, karena Vic baru saja operasi mata sehingga penglihatannya buram dan membutuhkan Stu untuk menjadi “mata”nya dalam kejar mengejar, tembal menembak dan segala pekerjaannya dalam memburu Tedjo. Lama kelamaan, fungsi Stu menjadi seperti seorang asisten yang diperintahkan memegang pistol.

            Sebetulnya film ini memang semacam perkawinan genre laga dan komedi, sebuah gabungan yang sudah sering dilakukan banyak sineas meski tak semuanya berhasil menjadi film yang menarik.

            Tema yang ditampilkan sutradara Michael Dowse  tentu saja bukan sesuatu yang baru, terutama karena kita sudah menyaksikan film Collateral (Michael Mann, 2004). Ini  film thriller yang membuat penonton tegang dan geregetan di tepi kursi. Sang supir taksi yang diperankan Jamie Foxx yang juga dibajak si pembunuh berdarah dingin Tom Cruise –tampil dengan rambut platinum—juga tak menyangka malam itu menjadi malam yang cilaka baginya.

            Akan halnya film “Stuber” berhasil menampilkan beberapa momen lucu terutama ketika Kumail Nanjiani  protes dengan histeris  setiap kali Vic menyiksa para preman untuk memperoleh informasi posisi Tedjo. Atau ketika  Vic sebagai ayah selalu mementingkan pekerjaannya sebagai detektif dan agak mengabaikan kehadirannya dalam hidup puterinya yang sangat dia cintai.

            Kisah “buddy action comedy” ini sudah jelas terlihat karena casting pemain sengaja diberi kontras: si jantan berangasan versus si lelaki peka dan humanis yang lucu.  Pada akhir film, untuk kelengkapan perkembangan karakter, tentu saja kita akan melihat Stu dan Vic yang sama-sama saling mempengaruhi meski selama perjalanan berburu Tedjo mereka tak habis-habisnya bertengkar.

Tentu saja kalau kita lebih kritis, komedi Nanjiani di sini sama sekali tak mendekati film sebelumnya “The Big Sick”  (Michael Showalter) di mana komedi dan cerita terjalin dengan rapi menjadi satu.

Problem lain dalam film ini adalah porsi Iko Uwais sebagai penjahat ‘one dimensional character’, karakter yang hanya memiliki satu sisi: jahat. Tak ada latar belakang, tak ada penjelasan apa-apa. Dia hanya kejam, jago berkelahi dan berdarah dingin. Tentu ini masalah skenario dan sutradara yang ingin punya fokus tentang hubungan si detektif Vic dan supir Stu. Lalu  sekumpulan subplot seperti masalah bos Vic; ada anak Vic yang cantik, dan belum lagi Stu dan ‘gebetannya’ dan cita-cita membangun gym.

Subplot yang berdesakan tentu saja tak memberi ruang pada karakter Tedjo untuk lebih berkembang selain serangkan adegan-adegan berkelahi, tembak-tembakan, kejar mengejar dan beberapa kalimat sumpah serapah.

 

Selebihnya , jika kita memang menyiapkan mentalitas untuk menyaksikan film ini sembari senderan dan menghabiskan berondong jagung dan es kopi di siang yang melelahkan, saya kira ini hiburan yang tepat.

 

 

Leila S.Chudori

 

 

 

Leila S. Chudori

Kontributor Tempo, menulis novel, cerita pendek, dan ulasan film.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus