Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menoleh ke timur, merangkul ke barat

Para pemimpin di asia tenggara sudah tak lagi menganggap barat sebagai sumber inspirasi. barat sudah kehilangan elanvitalnya, dan etos kerjanya menurun. kini mereka ke timur, jepang.

18 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUPANYA beberapa pemimpin Asia Tenggara sudah mulai kecewa dengan gaya Barat. Khususnya dalam soal mencari contoh bagaimana memberikan motivasi kepada rakyatnya untuk menjadi manusia modern. Sedikit kesal barangkali, para pemimpin ini tadinya memandang Barat sebagai contoh sukses. Lihat saja, yang namanya negara-negara Barat rata-rata sudah maju dan menjadi negara industri. Kalau kebetulan belum maju benar, itu namanya perkecualian. Misanya saja Yunani atau Portugis, ataupun Spanyol. Negara-negara ini dianggap "belum Barat" benar sering disebut "Eropa Latin". Sebutan Barat itu lazimnya terbatas pada negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Negara-negara Skandinavia bisa masuk kategori ini, tapi pusatnya adalah enam negara yang ikut KTT negara maju. Kriterianya memang belum jelas. Sebab dihitung-hitung, tingkat industrialisasi Italia yang ikut KTT negara maju tidak jauh lebih tinggi benar dari tetangganya sesama "Eropa Latin". Mungkin sekali, salah satu kriteria yang penting adalah kemampuan bikil pabrik mobil. Tentunya Fiat Italia tidak kalah dari Mercedes Jerman, sehingga lebih pantas diundang ketimbang Belgia yang belum menghasilkan merk berarti. Pokoknya, dulu itu Barat dianggap lambang kemajuan dan masyarakat modern -- oleh semua pemimpin Asia. Sekarang, rupanya ada proses pemikiran kembali. Ternyata Jepang juga bisa bikin mobil yang tidak kalah dengan Lincoln Continenal Amerika ataupun BMW Jerman. Mau. Toyota, ada Corolla DX, walaupun lambangnya sering dicopot tangan jahil. Lebih keren lagi ada Mitsubishi berbintang tiga, pakai strip hitam dan tulisan Lancer. Tidak jelas benar dari mana asal tulisan itu, tapi perusahaan Ford Amerika tentunya merasa kecolongan -- sebagai perusahaan mobil tertua. Keluarlah kemudian Ford Laser. Lihat punya lihat, beberapa pemimpin Asia Tenggara tidak lagi menganggap Barat sebagai satu-satunya sumber inspirasi. PM Singapura Lee Kwan Yew, yang sekolah hukum dan lulus dengan pujian di Inggris, menyeru rakyatnya supaya menoleh ke Timur. PM Malaysia Mahathir Mohammad, yang sekolah di Malaysia dan Singapura, dari permulaan sudah tidak senang Inggris. Perusahaan-perusahaan Inggris ditekannya, sidang Commonwealth dihindarinya, dan berseru dalam bahasa Inggris: "Look East". Maksudnya, lihatlah Jepang. Bahkan Mahathir mengambil alih semboyan bekas anggota Mahkamah Agung Amerika yang terkenal, William Douglass: "Go Est young men". Para pemuda Malaysia pun dikirim belajar ke Jepang, menjalani latihan singkat, khususnya di perusahaan industri. Salah satu alasan Mahathir melihat ke Timur adalah anggapannya, bahwa "Barat sudah kehilangan elan vitalnya". Menurut dia Barat sudah mulai dijangkiti penyakit puas diri, dan orang Barat cenderung sudah kehilangan etos kerja yang di awal abad XX didengungkan Max Weber sebagai "etik Protestan". Singkatnya Mahathir menilai dunia Barat sudah kendur dan kalah bersaing dengan Jepang. Singapura lebih tertarik sistem manajemen Jepang yang sukses, yang bisa mengikat buruh dalam suatu solidaritas kerja yang kuat dengan pihak pengusaha dan majikan. Manajemen Jepang ini memang merupakan bacaan paling populer sekarang, dan pasti menjadi best sellers. Bagi negara-negara yang bersifat otoriter, memang sifat kekeluargaan dan paternalistik perusahaan Jepang merupakan jawaban yang bersifat kultural terhadap usaha-usaha pemogokan dan tuntutan kenaikan upah buruh. Sistem bekerja seumur hidup adalah salah satu ciri penting cara kerja yang bersifat kekeluargaan ini, yang dianggap mampu menjamin stabilitas perusahaan pada saat krisis, misalnya, pada masa resesi. Pemimpin seperti Lee Kwan Yew dan Mahathir, yang disipliner itu, juga tidak begitu senang dengan counter-culture yang berkembang di Barat: satu hasil sampingan proses industrialisasi. Karena itu yang mereka tolak tidak hanya kecenderungan mengendurnya etos kerja. Tapi juga gaya hidup santai dan pakaian slebor, jeans dan sandal butut, yang dalam pandangan orang seperti Lee Kwan Yew dan Mahathir tidak konsisten dengan manusia modern. Mungkin yang terjadi sekarang adalah suatu krisis kepercayaan terhadap simbol-simbol lama modernisasi. Dalam suasana kesangsian terhadap superioritas moral Barat (walaupun mengakui superioritas teknologinya), para pemimpin tadi sampai pada keputusan politik dan kultural yang penting: menoleh ke Timur. Bukan fenomena baru. Ketika Jepang berhasil mengalahkan Rusia, 1905, seorang nasionalis Vietnam, Phan Boi Chau, begitu gandrungnya pada Jepang sehingga mengirimkan sekitar 5.000 pemuda Vietnam ke sana. Tapi ini tidak menutupi kenyataan banyaknya pemuda Vietnam, setelah generasi Phan Boi Chau, mengambil inspirasi intelektualnya dari Prancis. Yang penting agaknya ketahanan kebudayaan suatu bangsa. Sehingga walaupun satu saat menoleh ke Timur, setelah sekian lama merangkul ke Barat, identitasnya makin menjadi kuat. Sebab "contoh sukses" dari luar -- betapapun menariknya -- tidak mampu menggantikan usaha serius suatu bangsa untuk menemukan cara penyelesaiannya sendiri secara kultural dalam menghadapi kemajuan zaman. Tentunya kita berharap bahwa Lee Kwan Yew dan Mahathir juga sekali-sekali perlu "menoleh ke Selatan". Dan memikir-mikir apa kira-kira yang baik yang pantas dicontoh dari Indonesia. Misalnya saja percaya diri sendiri. Sebab, keseringan menoleh, leher bisa pegal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus