RUPANYA beberapa pemimpin Asia Tenggara sudah mulai kecewa
dengan gaya Barat. Khususnya dalam soal mencari contoh bagaimana
memberikan motivasi kepada rakyatnya untuk menjadi manusia
modern. Sedikit kesal barangkali, para pemimpin ini tadinya
memandang Barat sebagai contoh sukses. Lihat saja, yang namanya
negara-negara Barat rata-rata sudah maju dan menjadi negara
industri. Kalau kebetulan belum maju benar, itu namanya
perkecualian. Misanya saja Yunani atau Portugis, ataupun
Spanyol. Negara-negara ini dianggap "belum Barat" benar sering
disebut "Eropa Latin".
Sebutan Barat itu lazimnya terbatas pada negara-negara Eropa
Barat dan Amerika Utara. Negara-negara Skandinavia bisa masuk
kategori ini, tapi pusatnya adalah enam negara yang ikut KTT
negara maju. Kriterianya memang belum jelas. Sebab
dihitung-hitung, tingkat industrialisasi Italia yang ikut KTT
negara maju tidak jauh lebih tinggi benar dari tetangganya
sesama "Eropa Latin". Mungkin sekali, salah satu kriteria yang
penting adalah kemampuan bikil pabrik mobil. Tentunya Fiat
Italia tidak kalah dari Mercedes Jerman, sehingga lebih pantas
diundang ketimbang Belgia yang belum menghasilkan merk berarti.
Pokoknya, dulu itu Barat dianggap lambang kemajuan dan
masyarakat modern -- oleh semua pemimpin Asia. Sekarang, rupanya
ada proses pemikiran kembali. Ternyata Jepang juga bisa bikin
mobil yang tidak kalah dengan Lincoln Continenal Amerika
ataupun BMW Jerman. Mau. Toyota, ada Corolla DX, walaupun
lambangnya sering dicopot tangan jahil. Lebih keren lagi ada
Mitsubishi berbintang tiga, pakai strip hitam dan tulisan
Lancer. Tidak jelas benar dari mana asal tulisan itu, tapi
perusahaan Ford Amerika tentunya merasa kecolongan -- sebagai
perusahaan mobil tertua. Keluarlah kemudian Ford Laser.
Lihat punya lihat, beberapa pemimpin Asia Tenggara tidak lagi
menganggap Barat sebagai satu-satunya sumber inspirasi. PM
Singapura Lee Kwan Yew, yang sekolah hukum dan lulus dengan
pujian di Inggris, menyeru rakyatnya supaya menoleh ke Timur. PM
Malaysia Mahathir Mohammad, yang sekolah di Malaysia dan
Singapura, dari permulaan sudah tidak senang Inggris.
Perusahaan-perusahaan Inggris ditekannya, sidang Commonwealth
dihindarinya, dan berseru dalam bahasa Inggris: "Look East".
Maksudnya, lihatlah Jepang. Bahkan Mahathir mengambil alih
semboyan bekas anggota Mahkamah Agung Amerika yang terkenal,
William Douglass: "Go Est young men". Para pemuda Malaysia pun
dikirim belajar ke Jepang, menjalani latihan singkat, khususnya
di perusahaan industri.
Salah satu alasan Mahathir melihat ke Timur adalah anggapannya,
bahwa "Barat sudah kehilangan elan vitalnya". Menurut dia Barat
sudah mulai dijangkiti penyakit puas diri, dan orang Barat
cenderung sudah kehilangan etos kerja yang di awal abad XX
didengungkan Max Weber sebagai "etik Protestan". Singkatnya
Mahathir menilai dunia Barat sudah kendur dan kalah bersaing
dengan Jepang. Singapura lebih tertarik sistem manajemen Jepang
yang sukses, yang bisa mengikat buruh dalam suatu solidaritas
kerja yang kuat dengan pihak pengusaha dan majikan. Manajemen
Jepang ini memang merupakan bacaan paling populer sekarang, dan
pasti menjadi best sellers.
Bagi negara-negara yang bersifat otoriter, memang sifat
kekeluargaan dan paternalistik perusahaan Jepang merupakan
jawaban yang bersifat kultural terhadap usaha-usaha pemogokan
dan tuntutan kenaikan upah buruh. Sistem bekerja seumur hidup
adalah salah satu ciri penting cara kerja yang bersifat
kekeluargaan ini, yang dianggap mampu menjamin stabilitas
perusahaan pada saat krisis, misalnya, pada masa resesi.
Pemimpin seperti Lee Kwan Yew dan Mahathir, yang disipliner itu,
juga tidak begitu senang dengan counter-culture yang berkembang
di Barat: satu hasil sampingan proses industrialisasi. Karena
itu yang mereka tolak tidak hanya kecenderungan mengendurnya
etos kerja. Tapi juga gaya hidup santai dan pakaian slebor,
jeans dan sandal butut, yang dalam pandangan orang seperti Lee
Kwan Yew dan Mahathir tidak konsisten dengan manusia modern.
Mungkin yang terjadi sekarang adalah suatu krisis kepercayaan
terhadap simbol-simbol lama modernisasi. Dalam suasana
kesangsian terhadap superioritas moral Barat (walaupun mengakui
superioritas teknologinya), para pemimpin tadi sampai pada
keputusan politik dan kultural yang penting: menoleh ke Timur.
Bukan fenomena baru. Ketika Jepang berhasil mengalahkan Rusia,
1905, seorang nasionalis Vietnam, Phan Boi Chau, begitu
gandrungnya pada Jepang sehingga mengirimkan sekitar 5.000
pemuda Vietnam ke sana. Tapi ini tidak menutupi kenyataan
banyaknya pemuda Vietnam, setelah generasi Phan Boi Chau,
mengambil inspirasi intelektualnya dari Prancis.
Yang penting agaknya ketahanan kebudayaan suatu bangsa. Sehingga
walaupun satu saat menoleh ke Timur, setelah sekian lama
merangkul ke Barat, identitasnya makin menjadi kuat. Sebab
"contoh sukses" dari luar -- betapapun menariknya -- tidak mampu
menggantikan usaha serius suatu bangsa untuk menemukan cara
penyelesaiannya sendiri secara kultural dalam menghadapi
kemajuan zaman. Tentunya kita berharap bahwa Lee Kwan Yew dan
Mahathir juga sekali-sekali perlu "menoleh ke Selatan". Dan
memikir-mikir apa kira-kira yang baik yang pantas dicontoh dari
Indonesia. Misalnya saja percaya diri sendiri. Sebab, keseringan
menoleh, leher bisa pegal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini