SEORANG LELAKI DI WAIMITAL
Oleh: Hanna Rambe
Sinar Harapan, Jakarta, 1983, 216 hlm.
DI zaman ketika gengsi dan status menjadi ukuran, muncul
seorang calon insinyur pertanian yang memilih bergulat dengan
lumpur dan lintah daripada menyelesaikan kuliahnya. Mohammad
Kasim Arifin, begitu nama orang itu, ketika pergi ke Pulau
Seram, Maluku, 1964, adalah dalam rangka melaksanakan tugas
kemahasiswaannya. Dan ternyata kemudian "hilang" di tengah para
transmigran asal Jawa di Waimital Seram itu. Apa yang terjadi?
Sebagaimana sejumlah surat kabar dan majalah gagal mengungkap
kisah "hilang"nya Kasim -- demikian pula buku Hanna Rambe ini.
Banyak hal tetap menjadi "misteri". Mengapa mahasiswa cerdas dan
berbakat itu tiba-tiba membela para transmigran yang telah putus
asa? Mengapa Kasim membangun saluran air, mengajarkan bercocok
tanam, mendirikan masjid, mengajar anak-anak mereka membaca? Dan
mengapa selama 15 tahun di sana tetap membujang? Jawaban yang
bisa dipegang hanyalah bahwa transmigran di Waimital sangat
membutuhkan Kasim.
Ketika secara kebetulan ada orang Institut Pertanian Bogor (IPB)
menemukan Kasim di Waimital, awal 1970-an, maka almamaternya itu
berusaha mengundangnya balik. Tapi yang kemudian diterima IPB
hanya sepucuk pernyataan para transmigran bahwa Kasim baru boleh
ke Jawa bila saluran air mereka sudah rampung.
Tahun 1979, Kasim menerima gelar insinyur dari IPB dengan
jasa-jasanya di Waimital sebagai skripsinya. Dan laki-laki
kelahiran Aceh, 18 April 1938, pun meninggalkan Waimital untuk
selamanya (?). Ia sekarang menjadi pengelola Kuliah Kerja Nyata
di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Mengapa? Sikapnya tak berubah. Tapi kesabaran Kasim rupanya yang
sudah sampai pada batasnya. Salah satu contoh diceritakan Hanna
Rambe: Kasim yang selalu mengisi bak mandinya dan membolehkan
siapa saja mandi di sana, setelah bertahun-tahun akhirnya
jengkel juga. Karena orang-orang selalu mandi seenak perutnya,
tanpa mau bertanggung jawab mengisi bak mandi itu kembali.
Buku ini ditulis Hanna Rambe dengan lebih banyak menampilkan
dirinya daripada tokoh yang diceritakan. "Salah teknik" ini,
juga tak ada perkenalan awal mengapa Kasim pantas ditulis,
menurut saya, telah menjadikan Seorang Lelaki Di Waimital
terasa tidak penting. Sayang memang. Padahal Hanna Rambe, yang
mengikuti liku-liku hidup Kasim di Waimital sampai ke Banda Aceh
sesungguhnya telah berhasil mengumpulkan bahan yang sangat
menarik.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini