PEMBANGUNAN EKONOMI DI DUNIA KETIGA I DAN II
Oleh: Michael P. Todaro
Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, 494 halaman dan 368
halaman.
SEJAK lahirnya ilmu ekonomi, yakni sejak sarjana Adam Smith
menulis buku An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth
of Nations pada tahun 1759, mulai saat itu kemajuan kehidupan
ekonomi suatu bangsa diperlakukan sebagai suatu hal yang
dihasilkan dari upaya bersama golongan masyarakat bangsa
bersangkutan. Adalah pemikiran jenius dari sarjana Inggris ini
bahwa di setiap masyarakat terdapat dua golongan yang berbeda
tingkah laku ekonominya: golongan masyarakat yang produktif, dan
golongan masyarakat yang tidak produktif. Pembangunan ekonomi
terletak nasibnya kepada golongan masyarakat yang pertama,
khususnya kepada kemampuan golongan ini untuk melakukan
akumulasi modal serta menghasilkan sejumlah surplus, yang pada
tahapan berikutnya ditanamkan kembali sebagai penanaman modal.
Berabad-abad sesudah itu, melalui perkembangan pemikiran yang
berliku-liku serta kompleks, yang tidak jarang melibatkan
berbagai golongan politik serta cendekiawan di dalam perdebatan,
bahkan pertentangan, muncullah kecenderungan ke arah abstraksi
dari pemikiran Smith. Melalui rute pemikiran kaum Neo Klasik,
Keynesian, kemudian Neo-Keynesian, pemikiran Smith yang
dibasiskan atas peranan "golongan masyarakat" kemudian
ditransformasikan ke dalam pemikiran yang menggunakan model
ekonomi, di mana parameter, variable independent, dan variable
dependent menggantikan peranan "golongan masyarakat."
Dan kemudian yang jadi fokus dalam pembicaraan tentang proses
pembangunan ekonomi suatu negara adalah sederetan parameter dan
variabel seperti tingkat bunga, ICOR, marginal efficiency of
capital, PDB, konsumsi, tabungan, investasi, ekspor impor, dan
sebagainya. Kecenderungan ini kemudian diperkeras dengan
masuknya metode statistik dan matematik -- atau ekonometri -- ke
dalam pembahasan masalah tersebut. Terakhir, merasuknya teknik
komputerisasi dalam pengolahan data serta informasi, telah
semakin membuat masalah pembangunan ekonomi menjadi masalah yang
kompleks, sangat teknis, dan tak dimengerti lagi oleh masyarakat
awam. Boleh dikata abstraksi yang terjadi dewasa ini sudah
mencapai tingkatan versi Star Wars.
Lucunya, keadaan nyata di banyak negara Dunia Ketiga
memperlihatkan betapa "jauh panggang dari api". Betapa tak
mampunya teori-teori muluk, yang berserakan dengan simbol-simbol
Yunani Purba itu, menghadapi masalah-masalah nyata di lapangan.
Para ahli ekonomi Barat menunjukkan betapa sedikitnya negara
Dunia Ketiga "lulus" dari ujian proses pembangunan ekonomi yang
mereka hadapi. Kemudian, betapa sedikitnya dari mereka yang
"lulus" itu, sesudah diuji dengan menggunakan metode analisa
mutakhir, menunjukkan bahwa mereka betul-betul secara klop
mengikuti "skenario" yang dirumuskan para perancang ekonomi
mereka.
Dari berbagai studi muncul bahwa pembangunan ekonomi lebih
merupakan hasil penerapan "seni" (art) daripada "teknik".
Studi-studi itu memperlihatkan: Pertama begitu banyak faktor
yang ikut menggelindingkan roda perekonomian ke arah pembangunan
-- lebih banyak dari jumlah yang diidentifikasikan oleh
model-model ekonomi yang dibatasi oleh apologia ceteris paribus.
Kedua, sebagian dari faktor-faktor tersebut ternyata adalah
faktor-faktor "nonekonomi" yang sayangnya sulit
dikuantifikasikan. Dan ketiga, faktor-faktor itu tidak hadir
begitu saja di medan nyata -- sebagian mempunyai latar belakang
historis, sebagian diciptakan secara sadar oleh pemerintah, dan
sebagian lagi merupakan hasil interaksi nyata pada waktu proses
pembangunan berlangsung. Merangkumkan ke semua itu sehingga
menimbulkan "gerak" ternyata ada seninya. Tapi ini justru tidak
dibahas oleh banyak teori ekonomi pembangunan.
Pengalaman-pengalaman di banyak negara Dunia Ketiga, pada
dasawarsa 1960-an dan awal 1970-an, memperlihatkan betapa upaya
untuk memobilisasikan faktor-faktor produksi sering kali
dihambat oleh struktur perekonomian yang ada -- baik interen
maupun ekstern.
Dalam situasi skeptis tentang teori pembangunan, yang sering
menjurus kepada sinisme dan serangan tajam terhadap GDP-ism,
muncul buku Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga karangan Michael
P. Todaro. Buku ini berpaling secara tegas dari model Barat yang
naif, antara lain, dengan secara tegas mengemukakan bahwa
masalah struktural yang dihadapi Dunia Ketiga, baik di dalam
maupun di luar, adalah masalah utama pembangunan yang terlebih
dahulu harus dipecahkan sebelum proses pembangunan bisa
digerakkan. Lebih jauh Todaro secara tegas mengemukakan bahwa
pembangunan ekonomi bukan hanya sekadar pertumbuhan (growth),
apalagi dari PDB dan variabel-variabel penjabarannya.
Pembangunan, katanya, adalah pertumbuhan plus perubahan
(development = growth + changes). Dalam perubahan, Todaro
memasukkan bukan hanya sekadar perubahan struktur ekonomi, juga
perubahan politik, perubahan institusional, bahkan perubahan
kultural seperti tercermin dalam sikap dan pola tingkah laku
masyarakat. Seolah-olah Todaro menyatakan persetujuan kepada
slogan pembangunan: Pembangunan = Membangun Manusia Seutuhnya.
Tak cuma itu kelebihannya. Buku Todaro juga digunakan untuk
membahas secara terperinci dengan mengerahkan data mutakhir, apa
yang dimaksudkan dengan permasalahan struktural intern dan
permasalahan struktural ekstern. Pada bagian lain, Todaro
melukiskan prospek yang dihadapi Dunia Ketiga dalam usaha
memecahkan permasalahan stuktural tersebut dan membebaskan
masyarakat Dunia Ketiga dari belenggu keterbelakangan dan
ketidakadilan yang mencekam sekian lama.
Buku Todaro ini lebih memberi inspirasi dan semangat kepada
negara Dunia Ketiga. Tidak heran bila buku ini sekarang merebut
pasaran di banyak negara Dunia Ketiga untuk buku pegangan
ekonomi pembangunan. Todaro memang berhasil mengungkapkan betapa
penguasaan teknik bukan jamu yang serba cespleng -- apalagi
dalam menghadapi penyakit menahun underdevelopment yang diderita
banyak negara Dunia Ketiga.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini