Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tri Winarno
Peneliti Senior Bank Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam tahun pertama kepemimpinannya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump sering berkeluh-kesah tentang praktik perdagangan yang tidak adil dari mitra dagang utamanya. Tapi dia hampir tidak mengambil langkah yang memadai untuk mengatasinya. Ini karena Trump sangat berharap pada Cina, salah satu mitra dagang terbesar Amerika, untuk menekan Korea Utara dalam perkara nuklir, di samping desakan dari pelaku bisnis Amerika agar Trump tidak mengambil kebijakan perdagangan yang neko-neko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Trump mencoba untuk menahan diri, tapi pada 2018 dia dipastikan tak akan tahan lagi. Perdagangan adalah salah satu kebijakan yang kental dengan muatan ideologinya. Bagi Trump, defisit transaksi perdagangan Amerika merupakan bukti dari praktik perdagangan yang tidak adil oleh mitranya. Itu sebabnya, perlu ada langkah keras dan menentukan terhadap mitra dagang agar neraca perdagangan Amerika menjadi surplus. Trump tidak tahu bahwa defisit transaksi berjalannya adalah defisit pada tabungan terhadap investasinya.
Selain itu, Trump berusaha mempertahankan kepentingan politik konstituen utamanya, yang mayoritas adalah pekerja di sektor industri. Selain Twitter, retorika Trump merupakan senjata utamanya untuk mendulang dukungan politik. Ini bagian yang tak terpisahkan untuk membangun basis dukungan agar ia terpilih kembali pada 2020. Sampai sekarang, Trump masih menahan isu perdagangan sampai reformasi perpajakan yang diajukan Partai Republik di Kongres menjadi undang-undang. Dia tidak ingin partainya mengalami kekalahan lagi di Kongres, seperti saat akan mengubah Obama Care pada awal 2017. Begitu reformasi perpajakan diundangkan, Trump akan segera membuktikan janjinya soal perdagangan yang adil menurut versinya.
Menteri Perdagangan Wilbur Ross, Perwakilan Dagang Robert Lighthizer, dan Direktur Dewan Perdagangan Nasional Peter Navarro sepaham dengan Trump bahwa defisit perdagangan dengan Cina, Jepang, Jerman, dan Meksiko merupakan bukti bahwa selama ini Negeri Abang Sam diperlakukan kurang adil. Mereka percaya bahwa, dengan mengurangi atau bahkan menghapus defisit perdagangan tersebut, mereka akan mampu menciptakan lapangan kerja dengan pendapatan yang lebih baik bagi pekerja Amerika. Trump jelas sekali mengungkapkan hal ini dalam pidatonya pada pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Da Nang, Vietnam, 10 November 2017: "Kami tidak akan membiarkan Amerika Serikat dimanfaatkan lagi."
Langkah-langkah riil apa yang dilakukan Trump untuk mewujudkan politik dagangnya? Pertama, sejauh ini dia telah membatalkan perjanjian kerja sama perdagangan dengan 12 negara yang tergabung dalam Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Trump juga akan melakukan negosiasi ulang dengan Meksiko dan Kanada untuk merevisi Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).
Kedua, mulai 2018, Trump akan menyasar Cina, yang dia tuduh sebagai pengeksploitasi perdagangan terbesar, di antaranya melalui manipulasi nilai tukarnya. Jika tidak ada eskalasi yang signifikan atas Korea Utara, Trump akan menuduh Cina melakukan dumping dalam perdagangannya dengan Amerika, khususnya untuk baja yang dijual di bawah biaya produksi. Dia mungkin pula menyerang soal pelanggaran hak cipta sehingga pembajakan produk Amerika merajalela di pasar Cina. Langkah ini dipastikan akan memprovokasi serangan balik dari Negeri Panda. Di era Trump, Cina justru merasa lebih kuat daripada sebelumnya. Di mata kader Partai Komunis Cina, tidak memberi respons yang memadai terhadap kebijakan Trump adalah tanda-tanda kelemahan.
Ketiga, Trump akan membidik Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Lighthizer berkali-kali menuduh sistem penyelesaian sengketa perdagangan di WTO merugikan negaranya. Amerika telah memblokir penunjukan hakim-hakim baru di panel arbitrase WTO. Kalau AS tetap berkukuh, sistem penyelesaian sengketa perdagangan di WTO akan lumpuh dalam hitungan bulan.
Dengan luruhnya WTO, Amerika akan mengambil inisiatif perjanjian bilateral antarnegara. Pendekatan ini sudah disampaikan Trump dalam pidatonya dalam pertemuan APEC tempo hari. Mengingat Amerika merupakan pasar vital bagi eksportir global, inisiatif tersebut akan sangat berpengaruh terhadap mekanisme perdagangan internasional. Ini akan berdampak signifikan terhadap kinerja pertumbuhan ekonomi negara-negara pengekspor utama ke Amerika.
Implikasinya, negara-negara Asia dan Eropa harus segera mempersiapkan skenario terburuk. Dengan menghidupkan TPP tanpa keterlibatan Amerika, Jepang dan negara-negara Asia-Pasifik lainnya sudah berada pada jalur yang benar. Namun, dengan keganasan tim Trump, mitra dagang Amerika harus melipatgandakan energi, taktik, dan staminanya. Di atas semuanya, mereka harus bersatu membangun aliansi yang lebih solid.
Pangsa ekspor Indonesia ke Amerika pada 2015 saja mencapai 11,6 persen. Amerika menduduki peringkat pertama tujuan ekspor non-migas Indonesia. Untuk itu, menteri koordinator ekonomi bersama departemen terkait harus segera menyusun gugus tugas yang andal untuk menghadapi negosiasi bilateral dengan Amerika.