Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP kali banjir bandang merundung Jakarta, para pengampu pemerintahan memberi kesan seolah-olah ketiban bencana baru. Lalu berhamburanlah pelbagai pidato, dari pesan menjaga lingkungan, nasihat agar "bersahabat dengan banjir", sampai instruksi yang tampaknya serius banget. Masing-masing berusaha memberi citra betapa khusyuknya mereka memikirkan kepentingan Ibu Kota beserta segenap penghuninya.
Di tengah bencana, ada kalanya petuah dan instruksi itu seolah-olah mencerminkan ketanggapan dan kepedulian para pengampu. Tapi selalu ada pertanyaan menggantung: apa sebetulnya yang dikerjakan para pengampu itu setelah banjir berlalu? Ambil contoh "banjir awet" yang melanda kawasan Pluit dalam siklus banjir besar dua pekan lalu. Pada bah Februari 2002, keluasan dan kedalaman air di wilayah itu tak sampai separah yang terjadi sekarang. Artinya, selama sepuluh tahun tidak ada tindakan drastis untuk menghindari bala yang sama di tahun-tahun berikutnya.
Soalnya, seperti pada 1985, 1997, dan 2002, banjir kali ini pun berasal dari Waduk Pluit yang menjadi muara Kali Cideng dan sejumlah sungai kecil di pusat kota. Durasi genangan bergantung pada topografi Kelurahan Pluit, yang luasnya sekitar delapan kilometer persegi serta berada di bawah permukaan laut dan Kali Muara Karang, pecahan Kanal Banjir Barat. Ketika waduk yang selesai dibangun pada 1981 itu melimpas, akibat curahannya sampai ke pusat kota, bahkan mencapai Istana Negara.
Pemerintah bukannya tak memahami fungsi strategis waduk ini. Karena itu, waduk dilengkapi dua kamar pompa, yang masing-masing didukung empat dan tiga unit mesin pompa. Ketika bah meluap, dua pekan lalu, satu rumah pompa dengan empat unit mesin tenggelam dan lumpuh. Di sini sudah terlihat kelayasan pengelola. Sulit diterima akal sehat bahwa kamar pompa yang seharusnya kedap air itu bisa kemasukan air—yang kemudian merendam mesin pompa yang fungsinya sangat penting. Keabaian pengelola makin terasa setelah diketahui bahwa kedalaman waduk yang semula sepuluh meter tinggal empat meter. Keluasannya yang semula 80 hektare kini tinggal 65 hektare.
Banjir tak pernah dipicu penyebab tunggal. Selalu ada "sinergi kebencanaan", yang biasanya melibatkan manusia. Jadi, hujan lebat bukan satu-satunya "kambing hitam" yang bisa dipersalahkan. Ada faktor perubahan iklim, kerusakan lingkungan, pasang-surut air laut, dan perubahan tata guna lahan. Pada kasus Pluit, perubahan ketatagunaan lahan itu sangat mencolok. Mega Mall Pluit—kini berganti nama menjadi Pluit Village—misalnya, berdiri di atas lahan yang dulunya tempat penangkaran buaya dan wisata air.
Beberapa jembatan dibangun serampangan karena lemahnya pengawasan. Sejumlah jalur hijau kini dijejali restoran dan toko. Karena itu, tidak mengherankan jika penurunÂan tanah di kawasan ini mencapai 10-15 sentimeter per tahun. Pertanyaan pertama: siapa yang memberi izin atas perubahan ketatagunaan lahan itu, dan mengapa pengawasannya sangat lemah.
Dari pidato ke pidato pada setiap musim banjir, bukannya tak ada yang dilakukan pemerintah. Tapi langkah itu lebih banyak berhenti di level rencana dan wacana. Setelah banjir 2002, misalnya, terbetik sejumlah rencana apik. Tapi baru satu yang maujud, yakni Kanal Banjir Timur, yang pembangunannya memakan waktu 20 tahun. Biayanya sekitar Rp 5 triliun.
Pembangunan waduk Ciawi, yang mampu menampung 33 juta meter kubik air, sempat mandek dan baru dinyatakan akan diteruskan setelah pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dua pekan lalu. Pelurusan dan normalisasi Ciliwung serta selusin sungai lain yang memintas Ibu Kota pun masih terkatung.
Khusus untuk mengamankan Pluit, tak ada salahnya mengkaji gagasan warisan mantan gubernur Fauzi Bowo, yakni pembangunan tanggul raksasa (great sea wall) di lepas pantai Jakarta Utara. Memang dibutuhkan waktu paling tidak 23 tahun untuk menyelesaikan tanggul raksasa dengan panjang 35 kilometer ini. Karena itu, langkah pertama harus segera diayunkan untuk membuktikan tindakan nyata. Tentu biaya pembangunannya juga "raksasa", yakni sekitar Rp 50 triliun. Tapi, bila dibandingkan dengan taksiran kerugian yang ditimbulkan banjir dua pekan lalu, yang berkisar antara Rp 15 triliun dan Rp 50 triliun, angka itu tetap bisa dibilang setara dengan manfaatnya.
Jika bertindak tedas dan trengginas, pemerintah akan lebih mudah mengajak rakyat terlibat menangkal bencana. Jika rakyat melihat pemerintah berani menyetop pembangunan besar-besaran yang melahap ruang terbuka hijau, akan lebih mudah pula meyakinkan mereka bahwa bantaran sungai adalah milik sungai, bukan milik penghuni. Dari langkah-langkah nyata ini akan terbentuk perilaku sadar lingkungan sebagai basis pencegahan murka alam—termasuk banjir.
berita terkait di halaman 44
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo