Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Vonis Ajaib Kasus Surat Pembaca

Penulis surat pembaca divonis Rp 1 miliar. Banyak keanehan. Hakim pemutus kasasi semestinya diperiksa.

27 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir keadilan patut dipertanyakan. Putusan denda Rp 1 miliar atas Khoe Seng Seng alias Aseng salah satu bukti. Putusan ini, selain tak masuk akal, sangat melukai keadilan. Denda begitu besar membuat kita bertanya-tanya: jika mengeluh lewat surat pembaca saja bisa dihukum begitu berat, di mana lagi orang mengabarkan ketidakpuasan yang menimpanya?

Kasus Aseng sudah bergulir lama. Pada 2006, Aseng membeli satu kios di ITC Mangga Dua, Jakarta. Belakangan dia dan beberapa pembeli lain kecewa. Pasalnya, status tanah kios ternyata bukan hak guna bangunan murni, seperti janji pengembang. Artinya, Aseng membayar kios lebih mahal dari yang seharusnya. Bersama tiga pembeli lain, dia menulis surat pembaca di beberapa koran. Inilah yang membuat pengembang PT Duta Pertiwi tersinggung, lalu menggugat pidana dan perdata. Tuduhannya, pencemaran nama baik.

Keadilan tak berpihak pada Aseng. Di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dia dipidana enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Hingga kasus ini naik ke pengadilan tinggi sampai Mahkamah Agung, nasibnya tak berubah. Begitu pula dalam tuntutan perdata. Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis Aseng denda Rp 1 miliar. Meski putusan ini sempat dibatalkan Pengadilan Tinggi Jakarta, di Mahkamah Agung kasasi yang diajukan PT Duta Pertiwi dikabulkan. Aseng tetap harus membayar denda seperti putusan pengadilan negeri. Putusan ini sebenarnya sudah turun tahun silam, tapi baru tersiar resmi pekan lalu akibat birokrasi di Mahkamah.

Putusan itu aneh karena setahun sebelumnya Mahkamah dengan majelis hakim agung berbeda justru membebaskan Kwee Meng Luan alias Winny. Perkaranya sama persis, yaitu gugatan oleh PT Duta Pertiwi gara-gara Winny menulis surat pembaca. Semestinya putusan itu dijadikan yurisprudensi untuk membebaskan Aseng.

Majelis hakim juga sama sekali tidak mempertimbangkan dalil pembebasan dari Pengadilan Tinggi Jakarta. Saat di tingkat banding, Pengadilan Tinggi mempersoalkan tidak dilibatkannya koran Kompas dan Suara Pembaruan, media tempat Aseng menulis surat pembaca, di pengadilan. Mahkamah mengabaikan bahwa surat pembaca adalah produk pers.

Seharusnya Aceng diadili menggunakan Undang-Undang Pers, bukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Perdata. Majelis hakim bahkan mengabaikan Surat Edaran Mahkamah Agung yang berlaku sejak 2008. Edaran itu berisi anjuran kepada para ketua pengadilan agar meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers dalam memproses delik pers. Prosedur ini sama sekali tidak dilakukan pada sidang pengadilan pertama.

Ada pula soal lain, yaitu rekam jejak majelis hakim pemutus kasasi. Ketiga hakim—Imron Anwari (ketua) dan Suwardi serta Timur P. Manurung (anggota)—pernah disorot serius ketika mendiskon hukuman mati Hillary Chimezie, gembong narkoba asal Nigeria, dari vonis mati menjadi 12 tahun penjara. Bahkan sebelumnya hakim Imron memberi diskon serupa kepada Hanky Gunawan, terpidana mati kasus narkoba asal Surabaya. Sampai sekarang ketiga hakim itu belum pernah diperiksa.

Melihat keanehan putusan majelis atas Aseng ini, semestinya Komisi Yudisial turun tangan. Ketiga anggota majelis hakim harus diperiksa untuk putusan bermasalah itu. Aseng pun mesti terus berjuang dengan mengajukan permohonan peninjauan kembali. Dia berhak mendapat keadilan karena hanya menulis keluhan di media, bukan seorang penjahat.

berita terkait di halaman 92

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus