Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia dan Komite Pendayagunaan Pertanian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ramadan telah berjalan sepekan lebih. Umat Islam tentu bergembira menyambut bulan suci itu. Sayangnya pada tahun ini “ritual” kenaikan harga pangan, yang biasanya terjadi satu-dua minggu menjelang Ramadan, kali ini datang lebih awal. Kala daya beli belum sepenuhnya pulih, kenaikan harga pangan berubah menjadi prahara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi ini muncul karena gejolak harga tidak hanya terjadi pada satu-dua komoditas. Dari beras, minyak goreng, cabai (rawit dan merah), bawang merah, telur dan daging ayam, gula, hingga daging sapi, harganya meroket.
Rutinitas ini seperti penyakit menahun: timbul-tenggelam mengikuti momentum dan dinamika kebijakan publik. Tak terhitung sumber daya yang tergerus. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya amat besar untuk mengatasi hal-hal rutin yang semestinya bisa diselesaikan dengan cara-cara cerdas.
Penyebab kenaikan harga pangan sebetulnya sudah dikenali dengan baik oleh pemerintah: penyerahan harga komoditas pangan ke mekanisme pasar. Ditambah kapasitas (negara) dalam menstabilkan harga pangan yang rendah, pasar pangan akhirnya menjadi ajang unjuk gigi kelompok dominan.
Turbulensi harga pangan terus berulang karena pemerintah tak mau menyentuh akar persoalan. Solusi yang ditempuh hanya di level permukaan. Contohnya, pemerintah amat sibuk mengurusi pasokan. Pemerintah yakin, saat pasokan memadai, harga akan stabil.
Namun pemerintah lupa bahwa pasokan yang memadai tak berarti apa-apa bila distribusi macet serta ada pelaku dominan dan pemburu rente nakal. Contoh lainnya, minyak goreng berbasis sawit. Meskipun Indonesia produsen sawit nomor 1 dunia, harga minyak goreng tetap naik tinggi karena pabrik minyak goreng tak terintegrasi dengan kebun.
Inflasi Ramadan Selalu Tinggi
Sukacita masyarakat menyambut Ramadan, kerap tak disadari, sering kali disertai kecemasan akibat lompatan harga barang dan jasa, terutama pangan, yang tak terkendali. Inflasi Ramadan 2019, 2018, 2017, dan 2016 yang jatuh pada Juni masing-masing sebesar 0,68 persen, 0,59 persen, 0,69 persen, dan 0,66 persen. Sedangkan inflasi Ramadan 2020-2023 yang jatuh pada April masing-masing sebesar 0,08 persen (2020), 0,13 persen (2021), 0,95 persen (2022), dan 0,33 persen (2023).
Jika dilihat lagi lebih jauh ke belakang, tingkat inflasi Ramadan pada periode 2005-2015 selalu tinggi: tidak pernah di bawah 0,7 persen. Pada 2005, inflasi Ramadan bahkan mencapai rekor: 8,7 persen. Hanya pada 2020, 2021, dan 2023 inflasi Ramadan rendah.
Dari tahun ke tahun, pengendalian inflasi Ramadan masih menjadi pekerjaan rumah yang jauh dari selesai. Inflasi Ramadan sebagian besar bersumber dari harga pangan (volatile food). Mengapa? Pada saat Ramadan biasanya ada kenaikan permintaan pangan sekitar 20 persen. Sesuai dengan hukum supply-demand, saat ada tekanan di sisi permintaan dengan pasokan tetap, harga bakal terpantik tinggi dan bergerak bagai roller coaster. Mengacu pada data historis 2020-2023, daging ayam, minyak goreng, beras, ayam hidup, daging sapi, telur ayam, dan gula pasir menjadi penyumbang inflasi. Kondisi ini perlu diwaspadai.
Dalam jangka pendek, tak banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah. Idealnya, antisipasi dan mitigasi dilakukan sejak jauh hari. Namun setidaknya ada beberapa hal yang bisa dioptimalkan. Pertama, untuk pangan yang sepenuhnya atau sebagian besar impor, realisasinya harus dipastikan lancar sehingga stok saat Ramadan dan Idul Fitri memadai. Jika ada kendala impor, apa pun bentuknya, harus segera dicarikan solusinya. Kedua, untuk pangan yang sebagian atau bahkan seluruhnya diproduksi dalam negeri, distribusi dari sentra produksi ke sentra-sentra konsumsi harus dipastikan tidak ada kendala.
Di luar itu, agar harga daging ayam, telur ayam, dan ayam hidup tidak bergejolak atau naik tinggi, harus dipastikan pasokan jagung memadai, baik untuk peternak layer, petelur, maupun industri pakan. Dalam industri perunggasan, pengeluaran terbesar ada pada komponen pakan yang porsinya mencapai 70 persen dari seluruh ongkos produksi. Dari semua komponen pakan, jagung merupakan unsur utama dengan mengambil porsi 50-55 persen. Tinggi-rendahnya harga jagung menentukan harga akhir daging ayam dan telur ayam. Kabar baiknya, pada Maret ini diperkirakan ada panen jagung cukup besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Untuk beras, pada Maret dan April tahun ini diperkirakan ada surplus pasokan sebanyak 0,97 juta ton dan 2,4 juta ton. Selain itu, harga gabah di sejumlah daerah cenderung menurun. Namun penurunan harga gabah belum ditransmisikan ke harga beras. Harapannya, harga beras baru mulai mengendur seiring dengan surplus produksi.
Fokus pemerintah lewat Perum Bulog adalah mempersempit disparitas harga beras di pasar dengan harga beras program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP). Sepanjang disparitas harga masih tinggi, atau di atas Rp 3.000 per kilogram, antrean warga saat operasi pasar/gelar pangan murah masih akan terus terjadi.
Adapun soal gula, pemerintah harus memastikan stoknya memadai sampai April, bahkan hingga Mei mendatang, ketika awal musim giling dimulai. Saat ini gula hasil musim giling tahun lalu sudah sepenuhnya di tangan pedagang. Mereka inilah yang mengendalikan harga di pasar—yang saat ini sudah melampaui harga acuan di konsumen. Jika harga masih naik tinggi, pemerintah bisa mengintervensi agar harga tidak makin liar. Hal serupa bisa dilakukan pada komoditas minyak goreng.
Terakhir, untuk daging sapi, kuota dan persetujuan impor yang sudah diterbitkan mesti diawasi realisasinya. Dengan langkah-langkah simultan dan terkoordinasi, inflasi harga pangan pada Ramadan seharusnya tak menyiksa warga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo