Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Tentara kembali mendominasi urusan negara dalam 100 hari kabinet Prabowo.
Kembalinya dwifungsi TNI makin melemahkan supremasi sipil sebagai prasyarat demokrasi.
Otokrasi kembali menguat dengan wujud baru berupa otoritarianisme kompetitif.
DARI 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto, kita bisa memperkirakan apa yang akan terjadi pada tahun-tahun mendatang: militerisme menguat, supremasi sipil melemah, dan demokrasi di tubir jurang. Tanda-tanda ke arah sana terlihat bukan saja karena pemerintahan Prabowo telah menghamparkan karpet merah kepada militer, melainkan juga dia mewarisi demokrasi yang sudah dilemahkan oleh pemerintahan Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama tiga bulan pertama pemerintahannya, Prabowo mengerahkan kembali tentara ke dalam banyak urusan negara. Pengerahan militer untuk menggarap lumbung pangan adalah salah satunya. Contoh lain: penertiban kawasan hutan, makan bergizi gratis, dan penyelenggaraan haji. Tugas-tugas tersebut tak termasuk dalam operasi militer selain perang sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam lima tahun ke depan, militer akan makin mencengkeram. Kementerian Pertahanan berencana menambah komando daerah militer dari 15 menjadi 37 hingga 2029. Tiap tahun selama lima tahun, pemerintah juga akan menambah 100 batalion infanteri teritorial untuk mempercepat pembangunan. Tiap batalion akan punya kompi yang mengurusi peternakan, perikanan, pertanian, dan kesehatan. Seolah-olah masih kurang, batalion yang akan berada di bawah komando distrik militer ini bakal mendapat bala bantuan dari dua batalion komponen cadangan yang direkrut dari masyarakat sipil.
Menguatnya militerisme makin tak bisa dibendung jika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mengamendemen Undang-Undang TNI, yang draf revisinya sudah masuk daftar program legislasi nasional. Dengan tentara aktif leluasa merambah jabatan sipil, militer kian menancapkan pengaruhnya dalam berbagai bidang dan, sebaliknya, masyarakat sipil berdiri di pinggir. Dominasi militer ini berisiko membuka kembali pendekatan militeristik dalam penyelesaian masalah bernegara.
Runtuhnya supremasi sipil akan melapangkan jalan bagi terciptanya otoritarianisme dalam wujud yang baru. Bukan otoritarianisme konvensional yang melenyapkan demokrasi dan meneror warga negara, melainkan demokrasi pura-pura. Ilmuwan politik Steven Levitsky dan Lucan Way menyebutnya otoritarianisme kompetitif.
Inilah yang terjadi di sejumlah negara Balkan: pemilihan umum diselenggarakan tapi lapangan bermainnya dimiringkan guna menguntungkan salah satu kandidat. Masyarakat pun memiliki hak pilih, tapi calon yang berlaga tak sesuai dengan aspirasi mereka. Media yang kritis tak dibredel, tapi tak dibiarkan besar. Rezim berkuasa menguasai opini publik dengan mengkooptasi media yang memiliki jangkauan luas.
Gejala otoritarianisme kompetitif sebenarnya muncul sejak pemilihan presiden 2024. Faktanya begitu vulgar: Jokowi menjadikan anaknya wakil presiden dengan melakukan akrobat hukum dan menggunakan sumber daya negara, dari pengerahan aparat hingga pemberian bantuan sosial. Di bilik suara dan saat penghitungan hasil pemilihan, kecurangan seakan-akan tak terjadi. Namun sesungguhnya hasil pemilihan telah “dikondisikan” sebelum pencoblosan.
Dalam pemilihan kepala daerah, fenomena yang sama terjadi—meski skenarionya tak berjalan sempurna karena dibuyarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah aturan main beberapa saat sebelum penutupan pendaftaran kandidat. Pengganjalan kandidat kuat untuk maju dan pengerahan aparat untuk memenangkan calon yang dikehendaki menunjukkan bagaimana otoritarianisme kompetitif bekerja. Peristiwa politik satu setengah tahun terakhir menunjukkan bahwa kemunculan otoritarianisme itu bukan lagi nubuat, melainkan sudah nyata di tengah-tengah kita.
Dengan demokrasi yang sudah babak-belur, yang jauh lebih lemah ketimbang pertama kali Jokowi menjadi presiden, Prabowo langsung mengkonsolidasikan kekuasaannya menghimpun partai-partai dan elite politik untuk mendukung pemerintahannya saat ia dilantik menjadi presiden.
Tanpa kekuatan oposisi, otoritarianisme kompetitif tak akan bisa direm lagi. Bahkan yang terjadi barangkali lebih buruk: seiring dengan makin dominannya militer, kita bisa sungguh-sungguh jatuh ke kubangan otoritarianisme penuh. ●