Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Prabowo dan Modi Seharusnya Mempromosikan HAM

Meenakshi Ganguly

Meenakshi Ganguly

Wakil Divisi Asia Direktur Human Rights Watch, tinggal di Mumbay.

Perdana Menteri India Narendra Modi dan Presiden Prabowo Subianto seharusnya menunjukkan posisi jelas soal hak asasi manusia.

28 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Prabowo dan Modi memenangkan pemilu pada 2024 yang kental dengan polarisasi di masyarakat.

  • Indonesia dan India sama-sama menghadapi masalah separatisme di wilayah masing-masing, yang berisiko makin memperbanyak kasus pelanggaran HAM.

  • Sebagai pemimpin dua negara demokrasi besar, Prabowo dan Modi semestinya menunjukan posisi tegas di tengah konflik global.

PRESIDEN Prabowo Subianto menjadi tamu utama dalam perayaan Hari Republik India ke-75 pada 26 Januari 2025. Di sana Prabowo juga mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri India Narendra Modi. Pertemuan ini merupakan kesempatan bagi kedua raksasa demokrasi di Asia tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai yang dianut bersama tentang hak asasi manusia di dalam negeri masing-masing maupun di dunia internasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia baru-baru ini bergabung dengan BRICS, kelompok negara-negara yang salah satu anggota pendirinya adalah India, yang mengupayakan kerja sama multilateral, termasuk untuk memajukan kesehatan, pendidikan, serta "memerangi kemiskinan dan kesenjangan sosial". Semua ini merupakan inisiatif penting yang juga semestinya diterjemahkan ke dalam kebijakan dalam negeri di kedua negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Prabowo dan Perdana Menteri Modi memangku jabatan tertinggi di negara masing-masing, menyusul pemilihan umum yang tegang pada 2024. Meski secara politik mereka dapat memenangi suara mayoritas, polarisasi yang muncul dalam pemilu dapat memecah-belah masyarakat, dan sering kali menimbulkan risiko diskriminasi dan kekerasan.

Kedua pemimpin tersebut menjadi kepala negara yang sama-sama memiliki keberagaman tinggi. Karena itu, mereka perlu segera membuat kebijakan yang melindungi kelompok-kelompok rentan, bukan malah memberi ruang bagi ekstremisme agama. Di India, sebagai contoh, beberapa pendukung Modi menginginkan larangan pemakaian jilbab. Sedangkan di Indonesia, banyak pendukung Prabowo yang mendukung aturan wajib jilbab.

Alih-alih membiarkan para ekstremis di kedua belah pihak mendikte dan mengendalikan apa yang semestinya dikenakan perempuan, kedua pemimpin itu sepatutnya secara terbuka membela hak perempuan untuk memilih, dan secara lebih luas berupaya melindungi kelompok minoritas.

Di Indonesia, yang mayoritas warganya beragama Islam Sunni, hukum penodaan agama dan apa yang disebut “peraturan kerukunan beragama” sering digunakan untuk mendiskriminasi kelompok minoritas nonmuslim, seperti Kristen, Hindu. Sedangkan pihak berwenang di India—yang mayoritas penduduknya beragama Hindu—telah membuat aturan-aturan dan kebijakan yang secara sistematis mendiskriminasi kelompok minoritas, khususnya muslim.

Dalam hal lainnya, India dan Indonesia yang masing-masing bekas jajahan Inggris dan Belanda, sama-sama tengah menghadapi keinginan penentuan nasib sendiri dari masyarakat di daerah. Di India, hal ini terjadi di Jammu dan Kashmir. Sedangkan di Indonesia, gejolak muncul dari Papua.

Kondisi ini telah menyebabkan pelanggaran serius hak asasi manusia oleh pasukan keamanan—baik militer maupun polisi—yang jarang dituntut atas kejahatan mereka. Termasuk juga pelanggaran hak asasi manusia oleh kelompok bersenjata yang mendorong pemisahan.

Untuk menghadapi kondisi ini, pemerintah kedua negara seharusnya mengatasi berbagai masalah historis. Pemerintah tak boleh menghukum orang karena menggunakan hak-hak dasar mereka untuk kebebasan berekspresi, berasosiasi, dan berkumpul secara damai.

Peran Modi dan Prabowo di Tingkat Internasional

India dan Indonesia telah lama menganut prinsip nonblok untuk melindungi rakyat mereka dari ketidakpastian perselisihan di antara bangsa-bangsa yang kuat. Namun saat ini kita tak lagi hidup di dunia dengan prinsip-prinsip nonblok diterjemahkan menjadi non-keterlibatan. Pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan konflik, migrasi, penyakit, kemiskinan, atau perubahan iklim belakangan ini cenderung tak lagi mengenal batas wilayah negara.

Ketimbang mengeluh tentang "standar ganda" negara-negara Barat—yang mungkin benar adanya—India dan Indonesia dapat mengambil peran dalam kepemimpinan global di bidang keadilan, kesetaraan, dan akuntabilitas.

Sejak beberapa tahun terakhir, dunia terus bergejolak. Banyak orang terbunuh, terluka, diperkosa, dan disiksa, baik di Timur Tengah, Sudan, Ukraina, maupun di Myanmar. Sayangnya, Modi dan Prabowo tampak menolak untuk menunjukkan keberpihakan mereka, terutama dalam konflik yang melibatkan Amerika Serikat dan Eropa di satu sisi, serta Tiongkok dan Rusia di sisi lain. Mereka seharusnya dapat menunjukkan komitmen universal terhadap hak asasi manusia, demokrasi, dan aksi kemanusiaan.

Di Myanmar, misalnya, junta militer telah meningkatkan taktik "bumi hangus" terhadap daerah oposisi di tengah meningkatnya perlawanan bersenjata dan kerugian teritorial. Keamanan warga sipil di sana makin rentan dengan maraknya serangan udara dan artileri serta penggunaan bom di daerah berpenduduk.

Orang-orang Rohingya terus melarikan diri secara berbondong-bondong, yang sering kali berakhir sebagai pengungsi di India dan Indonesia, karena mereka berusaha menghindari pembunuhan, perekrutan paksa, dan serangan pembakaran oleh pasukan junta maupun kelompok Arakan Army—golongan yang menentang junta militer Myanmar.

Lebih dari 1 juta pengungsi Rohingya tinggal di Bangladesh, tanpa akses yang layak ke pendidikan atau mata pencarian. Akibatnya, mereka menjadi mangsa kekerasan oleh berbagai kelompok bersenjata. Indonesia telah memberikan perlindungan kepada pengungsi Rohingya, tapi itu saja tak cukup. Indonesia harus mampu melindungi para pengungsi dari diskriminasi dan serangan oleh masyarakat tuan rumah. Sedangkan India seharusnya menghentikan penahanan serta deportasi sewenang-wenang terhadap para pengungsi Rohingya.

Prabowo dan Modi seyogianya menyadari bahwa krisis Rohingya membutuhkan solusi yang langgeng di Myanmar. Mereka dapat mendorong pemerintah negara-negara lain, khususnya di Asia Tenggara, untuk melibatkan pihak oposisi. Bukan memprioritaskan perundingan hanya dengan junta, yang bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sedang berlangsung. Pemerintah India dan Indonesia perlu mendesak agar para pelaku kejahatan serius dimintai pertanggungjawaban.

Adapun dalam hal konflik di Palestina, Modi dan Prabowo seharusnya menekan Israel untuk mencabut blokade, mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan dalam skala yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan mendesak, serta memastikan bahwa layanan dasar seperti listrik dan air dipulihkan. Terutama setelah pemerintah Israel dan organisasi Hamas setuju dengan gencatan senjata multifase pada bulan ini.

Mereka juga semestinya meminta berbagai kelompok bersenjata Palestina segera dan tanpa syarat membebaskan semua warga sipil yang disandera. Keduanya semestinya mendukung berbagai upaya untuk meminta pertanggungjawaban sejumlah pihak atas kejahatan keji dan mengatasi akar permasalahannya, termasuk sistem apartheid Israel terhadap warga Palestina.

Sementara itu, dalam konteks keanggotaan India dan Indonesia di BRICS, kedua pemimpin negara ini perlu menyuarakan keprihatinan terhadap mitra mereka di BRICS, Rusia. Sejak terjadi perang di Ukraina, yang telah mengakibatkan penderitaan mengerikan, akhir-akhir ini jarang sekali para pemimpin negara demokrasi besar mengunjungi Rusia. Namun, baik Modi maupun Prabowo telah melakukan perjalanan ke Moskow untuk bertemu dengan Presiden Vladimir Putin.

Rusia sangat ingin membangun hubungan komersial dan militer dengan negara-negara seperti India serta Indonesia untuk menghindari sanksi keuangan dan pembatasan ekspor dari Barat. Seharusnya Prabowo dan Modi tak ragu memanfaatkan kesempatan ini untuk menekan Putin agar mengakhiri pelanggaran yang dilakukan pasukan Rusia terhadap warga Ukraina.

Presiden Prabowo dan Perdana Menteri Modi adalah pemimpin yang populer. Mereka seharusnya menggunakan mandat itu untuk memperjuangkan hak asasi manusia, baik di dalam maupun di luar negeri. Dunia membutuhkan kepemimpinan yang manusiawi untuk melawan perpecahan dan kebencian yang makin meningkat. Jika tidak, kehadiran Prabowo pada hari kemerdekaan India hanya akan menjadi seremonial belaka. 

Opini ini diterbitkan pertama kali dalam bahasa Inggris oleh Scroll.in di India, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Dhika Marcendy, diperiksa oleh Fransiskus Pascaries dan Andreas Harsono dari Human Rights Watch.

Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus