Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penunjukan Hashim Djojohadikusumo sebagai Ketua Delegasi Indonesia di COP29 mengandung konflik kepentingan.
Menyalahi prinsip Konferensi Iklim, Hashim mendagangkan proyek-proyek hijau yang dilakukan perusahaannya.
Promosi perdagangan karbon yang dicegah di pemerintahan sebelumnya.
PENUNJUKAN Hashim Djojohadikusumo sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi oleh Presiden Prabowo Subianto mengundang banyak pertanyaan. Tidak masuk rombongan utusan khusus yang dilantik pada 22 Oktober 2024, tiba-tiba Hashim memimpin delegasi Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-29 (COP29). Apakah itu bisa terjadi karena dia adik Prabowo?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tradisi delegasi COP adalah melibatkan pejabat kementerian yang memiliki keahlian teknis serta pemahaman mendalam tentang isu lingkungan. Namun, dalam COP29 di Baku, Azerbaijan, seorang pengusaha tanpa rekam jejak di bidang perubahan iklim mendadak tampil sebagai representasi wajah Indonesia. Pilihan ini tak hanya menyimpang dari kebiasaan, tapi juga menimbulkan kekhawatiran akan arah kebijakan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Posisi Hashim juga mengungkap konflik kepentingan lantaran dia mengaku hadir sebagai pebisnis. Di Paviliun Indonesia, Hashim memamerkan aktivitas hijau korporasinya, Arsari Group. Salah satu kebanggaannya adalah Pusat Suaka Orangutan di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Langkah ini seperti mengecilkan misi negara. Forum seperti COP adalah tempat negara berbicara tentang aksi kolektif untuk menyelamatkan planet, bukan ruang pameran korporasi.
Berpidato di depan para pemimpin dunia di COP29, Hashim juga lebih terlihat layaknya pedagang. Ia mempromosikan cara mengatasi krisis iklim dengan skema dagang, seperti menyampaikan potensi 557 juta ton kredit karbon serta urgensi pendanaan proyek reforestasi sebesar US$ 235 miliar. Nyaris tak ada penjelasan upaya pemerintah menurunkan emisi karbon dan melindungi rakyat dari dampak krisis iklim.
Pemerintah seolah-olah memperdagangkan krisis iklim demi menghapus jejak kejahatan ekologis korporasi. Alih-alih mendorong pengurangan emisi dari sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, pemerintah justru berfokus pada perdagangan karbon. Realitasnya, bisnis karbon dimiliki grup-grup perusahaan yang selama ini merusak hutan. Dalam konteks ini, Hashim dan Prabowo pun tak lepas dari konflik kepentingan. Pada edisi 23 Juni 2024, majalah ini memotret manuver orang-orang di lingkaran Prabowo dalam bisnis karbon.
Pidato Hashim juga sarat kontradiksi. Ia menyebut pemerintah berkomitmen menuju emisi nol bersih pada 2060, tapi tetap menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen. Faktanya, proyek seperti penghiliran nikel di Sulawesi dan Maluku atau food estate di Papua justru mempercepat deforestasi. Semua itu bertolak belakang dengan FOLU Net Sink 2030—komitmen Indonesia untuk mengurangi deforestasi sebesar 4,22 juta hektare.
Pernyataan Hashim soal inisiatif Prabowo mereforestasi 12,7 juta hektare lahan kritis juga layak dipersoalkan. Apakah lahan tersebut termasuk wilayah perhutanan sosial yang selama ini dikelola masyarakat? Jika iya, kebijakan ini berpotensi mencabut hak kelola rakyat kecil, sementara korporasi besar yang menjadi aktor utama kerusakan lingkungan tetap bebas dari tanggung jawab.
Pemerintah seharusnya menggunakan COP29 sebagai panggung untuk menunjukkan komitmen Indonesia dalam menyelamatkan bumi, bukan forum untuk memperkuat kepentingan segelintir elite atau kroni.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mitigasi Krisis Iklim ala Pedagang"