Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Di Indonesia, angka 4 dan 13 tak menjadi nomor lantai di bangunan bertingkat.
Mitos membuat kepraktisan dan pemahaman akan arsitektur menjauh.
Banyak negara punya mitos angka tertentu yang dianggap keramat atau membawa sial.
BANYAK orang tidak suka kerumitan, meski yang rumit bukan berarti tidak punya makna dan tak memiliki penjelasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di banyak gedung tinggi di Tokyo atau Singapura, lantai dinomori dengan angka 1 untuk lantai terbawah hingga belasan atau puluhan untuk lantai tertinggi. Lantai di bawah level 1 ditulis dengan B (basement). B1 artinya satu lantai di bawah lantai 1. B2 berada di bawah B1. Dengan penomoran ini, kita bisa membayangkan tinggi sebuah bangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Amalfi, Italia, hotel dan bangunan didirikan di sisi tebing: menjulang dari pantai di tapak terbawah, merayap sepanjang dinding tebing hingga beberapa lantai di atas puncak bukit batu. Pengunjung mula-mula akan masuk ke lobi hotel di lantai 0. Lalu, jika naik lantai di atasnya, mereka akan menemukan lantai 1, 2, 3, 4, dan seterusnya. Ke bawah nomor menggunakan tanda minus. Satu lantai di bawah lobi adalah lantai -1. Di bawahnya -2, -3, dan seterusnya.
Penomoran ini memudahkan pengunjung membayangkan posisi mereka di ketinggian atau kerendahan bangunan itu. Lokasi pusat kebugaran di lantai -4 artinya dari lobi kita akan turun empat lantai. Tempat makan di lantai 3 artinya naik tujuh lantai dari pusat kebugaran.
Di Jakarta, saya menyaksikan yang rumit terjadi. Di banyak pusat belanja, lantai lobi diberi tanda G (ground). Di atasnya ada UG (upper ground) dan di bawahnya LG (lower ground). Di banyak mal di Amerika Serikat, dipakai kata lobby sebagai pengganti ground. Lower lobby (LL) dan upper lobby (UL) dipakai menggantikan LG dan UG.
Hotel-hotel di Nusa Dua, Bali, juga dinomori dengan urutan yang mengernyitkan dahi. Ada UG, LG, dan kode-kode yang tak selalu kita pahami saat masuk elevator. Yang sedikit mudah: nomor diurutkan dari angka 1 untuk tapak terendah (sejajar dengan pantai). Lalu tambah tinggi sebuah lantai bangunan tambah banyak nomor diterakan. Maka, boleh jadi, di lobi hotel kita berada di lantai 5. Artinya ada empat lantai ke bawah dari lantai lobi.
Saya pernah membaca penjelasan Realestat Indonesia, organisasi yang menghimpun para pengembang. Kata salah satu pemimpin organisasi itu, kode-kode lantai di pusat belanja dipakai agar gedung tak terkesan tinggi. Idealnya, mal tak lebih dari enam lantai—mungkin agar orang tak capek berkeliling. Jadi urutannya: LG, GF, UG, 1, 2, 3. Di bawahnya masih ada B1, B2, B3.
Gedung yang menjulang menambah kerumitan dengan menghindari angka 3, 4, dan 13. Jadi, jika ada bangunan yang mengklaim dirinya 15 lantai, percayalah itu cuma 12. Jika tak sudi dibilang berbohong, mereka bisa menambal tiga lantai yang hilang dengan menambah kode baru: mezzanine, LG, UG, atau RT (rooftop). Yang lebih celaka: lantai 3 diganti 2A dan 13 diganti 12A. Adapun lantai 4 tidak pernah diganti 3A—karena mengganti angka sial yang satu dengan angka sial lain sama artinya dengan lepas dari mulut harimau, masuk mulut buaya.
Angka 3 dipercaya di banyak tempat sebagai angka pembawa sial. Angka 4 dihindari karena berdasarkan fengsui tampak seperti kursi dengan satu kaki: guyah dan tidak seimbang. Angka 4 dalam aksara Cina disebut “si” yang punya makna kematian.
Angka 13 tak dipakai bukan cuma karena ada istilah “celaka 13”—ungkapan untuk sesuatu yang buruk tengah terjadi—tapi, dalam pelbagai kisah, angka itu memang menyiratkan keburukan.
Dalam teologi kristiani, orang yang berkhianat kepada Yesus, Yudas Iskariot, adalah tamu ke-13 pada Perjamuan Malam Terakhir. Di Prancis, Jumat tanggal 13 (Friday the 13th) adalah hari terjadinya pembunuhan para kesatria oleh Raja Phillip IV. Dalam mitologi Nordik, dewa yang licik bernama Loki adalah tamu ke-13 dalam perjamuan makan malam para dewa. Saking seramnya tanggal itu, dalam ilmu psikologi ada istilah triskaidekafobia, yakni ketakutan akan sesuatu yang buruk terjadi pada tanggal 13.
Pembawa sial dihindari, pembawa untung tak selalu dipakai. Angka 12 yang dianggap sempurna—sesuatu yang genap sebagaimana jumlah bulan dalam setahun dan jumlah jam dalam sehari—tak diulang-ulang dalam penomoran lantai gedung. Angka 8 juga tak dimanfaatkan lebih jauh. Padahal angka ini sering diasosiasikan dengan keberuntungan. Garisnya yang tak putus membuat 8 dianggap sempurna. Dalam bahasa Mandarin, 8 atau “ba” memiliki pelafalan yang sama dengan kesuksesan.
Lain ladang, lain belalang. Di Italia, angka 17 yang dianggap sial. Dalam aksara Romawi, 17 ditulis sebagai XVII, yang bisa diatur ulang menjadi VIXI. Angka ini bisa memiliki arti “aku sekarang mati” atau “hidupku telah usai”. Di Jepang, angka 9 bernasib buruk. Jika dilafalkan, angka ini mirip dengan kata yang berarti penyiksaan atau penderitaan.
Memiliki banyak mitos dalam kebudayaannya, pengembang di Jepang konsisten memberi angka Latin untuk menandai lantai gedung. Prinsipnya: jika bisa mudah, kenapa harus sulit? “Less is more”, kata arsitek Ludwig Mies van der Rohe. Di Indonesia, hidup makin sulit. Anehnya, yang berlaku: jika bisa sulit, mengapa harus mudah? ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo