Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Debat calon presiden pekan lalu diikuti dua kandidat dengan modal pas-pasan. Dari lima tema sawala yang dirancang Komisi Pemilihan Umum, topik debat putaran pertama ini justru merupakan titik terlemah keduanya: hak asasi manusia, korupsi, dan pemberantasan terorisme.
Prabowo Subianto, kita tahu, punya masa silam yang kelam. Ia terlibat penculikan aktivis 1998. Sebagian dari mereka memang telah kembali—dari drama penculikan dan penyiksaan yang menggidikkan bulu kuduk. Sebagian lain hilang tak tentu rimba. Anggota Tim Mawar—terdiri atas perwira Komando Pasukan Khusus pelaku penculikan—telah diadili dan menerima hukuman. Adapun Prabowo diberhentikan dari dinas militer.
Luka sejarah tentu tak mudah disembuhkan. Dua dasawarsa berlalu, keluarga korban tetap menunggu pulang sanak keluarganya. Tiap Kamis, hari yang sama dengan debat pertama, sekelompok perempuan setia melakukan aksi diam di depan Istana Negara menuntut pengusutan perkara. Sebagai pelaku pelanggaran hak asasi berat, Prabowo tak memiliki hak moral untuk maju (lagi) sebagai calon presiden.
Di layar televisi, pada jajaran pendukung Prabowo, kita saksikan pemandangan yang menyesakkan: sebagian Keluarga Cendana duduk sebagai pendukung. Mereka tersenyum, bertepuk, dan mengacung-acungkan dua jari—simbol kemenangan dan nomor urut Prabowo. Malam itu, yang terang dan gelap bercampur aduk: cahaya lampu dan sisa-sisa rezim yang telah membuat Indonesia terpuruk lebih dari 30 tahun.
Calon inkumben Joko Widodo sebetulnya punya kesempatan memperbaiki keadaan. Tapi, empat tahun memerintah, ia tak melakukan langkah signifikan. Jangankan menyelesaikan pelanggaran hak asasi masa silam, pelanggaran hak asasi masa kini pun terkatung-katung. Pengusutan atas penganiayaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, tak ada kemajuan. Desakan agar Presiden membentuk tim independen tak digubrisnya. Jokowi, yang semula menjadi harapan, mendadak linglung disergap kecemasan akan gaduh: pejabat negara yang diduga tahu atau terlibat perkara ini tak akan menerima keberadaan tim independen.
Kegamangan serupa muncul dalam menangani peristiwa 1965. Di awal memerintah, ia pernah menggagas seminar rekonsiliasi: mempertemukan korban dengan mereka yang dituding melakukan pembunuhan massal. Tapi ide mulia itu dengan mudah kuncup setelah sejumlah purnawirawan Tentara Nasional Indonesia menggelar seminar tandingan. Jokowi belakangan ikut-ikutan mengeluarkan pernyataan tentang bahaya hantu Partai Komunis Indonesia.
Tak berhenti di situ, fenomena persekusi terhadap kelompok minoritas lesbian, gay, biseksual, dan transgender serta Syiah dan Ahmadiyah terus berlangsung di era Jokowi seiring dengan meningkatnya konservatisme agama. Terhadap pemberantasan terorisme, Jokowi patut dipuji meski di sana-sini dengan catatan gelap pelanggaran hak asasi manusia.
Tak ada bukti Jokowi memperkaya diri sendiri. Tapi pelemahan komisi antikorupsi juga terjadi pada era pemerintahannya. Itulah saat kriminalisasi terjadi terhadap dua komisioner KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, sebagai buntut penetapan tersangka atas Komisaris Jenderal Budi Gunawan dalam kasus suap. Budi tak tersentuh, bahkan akhirnya menjadi Kepala Badan Intelijen Negara. Samad dan Bambang tersingkir dari KPK akibat menyandang status tersangka.
Sadar menggendong banyak beban, kedua kandidat menolak masuk ke inti persoalan. Prabowo dan pasangannya, Sandiaga Uno, membelokkan isu korupsi dan hak asasi menjadi isu ekonomi dan harga bahan kebutuhan pokok. Jokowi dan Ma’ruf Amin menyampaikan gagasan-gagasan mengambang. Seperti sadar, kedua pasangan tak melempar gugatan yang bisa menjadi bumerang.
Orang ramai tentulah yang paling dirugikan. Debat calon presiden semestinya menjadi ajang pendidikan politik. Pengungkapan kembali penculikan 1998 dapat mengingatkan pemilih tentang latar belakang kandidat. Mempersoalkan penelantaran perkara Novel Baswedan dapat membantu pemilih menakar komitmen inkumben pada perkara hak asasi manusia.
Patut disayangkan, KPU membiarkan drama tak lucu itu terjadi. Dengan alasan tidak ingin mempermalukan calon, sebagian pertanyaan dibocorkan kepada kedua pasangan sebelum debat. Pemilih dengan demikian tak memiliki kesempatan melihat reaksi calon presiden dalam keadaan terdesak ketika didera pertanyaan-pertanyaan tajam. Panelis debat pun dipilih dengan mempertimbangkan “aspirasi” tim sukses.
Walhasil, debat putaran pertama telah menjadi ajang “ngobrol-ngobrol” yang kehilangan substansi. KPU selayaknya mengubah metode debat putaran kedua, Februari nanti. Mengulang “petai hampa” dalam debat putaran kedua hanya akan menambah banyak mereka yang apatis terhadap pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo