Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Kesehatan harus menjamin ketersediaan obat antiretroviral setelah gagal mengadakan lelang tahun lalu. Obat yang mengandung tenofovir, lamivudine, dan efavirenz (TLE) ini merupakan penyambung nyawa bagi pengidap HIV ataupun penderita AIDS. Lelang pengadaan antiretroviral perlu dipercepat tahun ini demi menyelamatkan para pengidap virus yang mematikan itu.
Pengadaan obat antiretroviral pada tahun lalu kandas setelah Kementerian Kesehatan tidak sepakat dengan Kimia Farma dan Indofarma dalam soal harga. Urusan ini memang cukup pelik. Jika tender obat terlalu mahal, pemerintah akan disalahkan. Menurut lembaga nirlaba Koalisi AIDS Indonesia, kedua perusahaan pelat merah tersebut selama ini menjual obat TLE dengan harga cukup mahal, sekitar Rp 400 ribu per botol.
Angka itu tidak wajar karena harga impor obat bikinan India tersebut hanya Rp 105 ribu per botol. Dalam hitungan Koalisi AIDS, jika ditambah dengan bea masuk, pajak, dan biaya distribusi, harga jual yang masuk akal hanya Rp 175 ribu per botol.
Pemerintah sudah mengupayakan solusi: membeli obat antiretroviral TLE langsung dari India sebanyak 220 ribu botol dengan dana bantuan dari Global Fund. Namun obat sebanyak itu hanya cukup hingga Maret nanti. Kini pun sejumlah rumah sakit sudah kehabisan persediaan obat antiretroviral, yang selama ini dikenal ampuh menekan angka kematian akibat HIV/AIDS. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan obat ini berhasil menurunkan angka kematian akibat virus berbahaya itu dari 1,5 juta pada 2010 menjadi 1,1 juta pada 2015.
Menipisnya stok antiretroviral kini mengancam sekitar 65 ribu orang pengidap HIV/AIDS yang sedang menjalani terapi. Mereka wajib minum obat itu setiap hari seumur hidup untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh. Jika pasien berhenti minum obat itu, virus berisiko resistan terhadap pengobatan yang akhirnya berakibat pada kematian. Obat kombinasi TLE itu amat praktis karena sudah mengandung tiga antiretrovirus sekaligus. Tanpa obat ini, penderita mesti mengkonsumsi tablet lepasan yang masing-masing mengandung tenofovir, lamivudine, dan efavirenz.
Kementerian Kesehatan harus memastikan para pengidap HIV/AIDS mendapatkan pasokan obat antiretroviral TLE. Jangan sampai program pemberian obat bersubsidi yang dimulai pada 2004 ini tersendat hanya gara-gara urusan tender. Apalagi negara sudah menganggarkan sekitar Rp 1,1 triliun per tahun untuk membeli obat antiretroviral TLE. Anggaran ini pun sebetulnya baru menyentuh sebagian kecil dari total jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia saat ini, yang diperkirakan mencapai 640 ribu jiwa.
Gagalnya pengadaan antiretroviral TLE harus menjadi pelajaran bagi Kementerian Kesehatan agar tak tersandera dua perusahaan farmasi tersebut. Pemerintah harus membuat terobosan dengan melibatkan perusahaan farmasi lain dalam lelang. Sistem pengadaannya juga perlu dibenahi agar lebih transparan. Untuk mengatasi keadaan darurat sekarang, Kementerian Kesehatan bisa memaksimalkan penggunaan obat lepasan jenis efavirenz produksi dalam negeri.
Pemerintah harus serius mengatasi kelangkaan obat antiretroviral karena Indonesia memiliki pengidap HIV/AIDS terbesar ketiga di kawasan Asia-Pasifik, setelah India dan Cina. Tanpa persediaan obat yang cukup, nyawa para pengidap HIV/AIDS akan terancam. Program mencegah penularan virus mematikan itu pun bakal terhambat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo