Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi masalah yang muncul saat itu tak dilatari kenaikan harga. Pemicunya adalah persaingan tak sehat antarmaskapai yang berusaha menjaring konsumen dengan cara menjajakan tarif supermurah. Ini dianggap membahayakan keberlangsungan bisnis maskapai. Majalah Tempo edisi 24 Juli 1993 mengulas gejolak tersebut lewat artikel berjudul “Perang Tarif Diakhiri”.
Adalah Menteri Perhubungan Haryanto Dhanutirto yang maju sebagai wasit ketika perang tarif antarperusahaan penerbangan domestik mencapai titik yang mengkhawatirkan. “Perusahaan penerbangan sepakat menghentikan iklan penurunan tarif atau pemberian diskon,’’ katanya dalam seminar “The Implications of Domestic Airline- Competition and Open Sky Issues’’.
Keputusan itu lahir dalam pertemuan antara Departemen Perhubungan dan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional (INACA) di Bali. Menurut Haryanto, tarif yang berlaku sekarang ini pun masih jauh di bawah ketentuan yang direkomendasikan Asosiasi Angkutan Udara Internasional (IATA). Jika masih ada maskapai penerbangan yang menawarkan diskon untuk tarif yang rendah ini, itulah isyarat ke arah tindakan bunuh diri alias saling menghancurkan. Jadi patut dicegah.
Tapi penghentian perang tarif bukan berarti tak ada lagi kompetisi. Yang namanya persaingan akan tetap marak, cuma bergeser ke sektor pelayanan bagi penumpang. Hal ini dikemukakan Direktur Utama Garuda Wage Mulyono, yang menambahkan bahwa maskapainya telah memesan sembilan pesawat baru yang terdiri atas 2 Boeing- 747-400 dan 7 Boeing 737-400. Semuanya akan mulai beroperasi tahun depan.
Adapun pesawat berbadan lebar Boeing- 747-400, yang bisa mengangkut 450 penumpang, akan melayani jalur Eropa, menggantikan Boeing 747-200. Maksudnya adalah pesawat tak usah turun di Abu Dhabi untuk mengisi bahan bakar. “Penumpang eksekutif tidak menyukai hal ini. Mereka maunya serba cepat,’’ ujar Wage tanpa menjelaskan berapa biaya yang disediakan untuk itu.
Garuda juga berusaha membuat penumpangnya lebih nyaman dengan konsep pre/in/post, yakni layanan bagi penumpang dari pemesanan tiket sampai sesudah tiba di kota tujuan.
Salah satu layanan terbaru Garuda adalah penyediaan bus limusin bagi penumpang ekonomi untuk rute Bandar Udara Soekarno-Hatta ke hotel-hotel di kawasan Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin, Jakarta. Hanya, angkutan gratis itu terbatas untuk penumpang dari Balikpapan dan Surabaya—dua jalur yang merupakan ajang persaingan ketat antara Garuda dan Sempati.
Anak perusahaan Garuda, Merpati, juga berbenah. Menurut Direktur Pemasaran Merpati Amirudin Rozali, bagi maskapainya, kompetisi baru terasa sedikit menggigit di rute Banjarmasin-Jakarta, yang juga diterbangi oleh Sempati dan Bouraq. ‘’Tapi pengaruhnya masih kecil,’’ ujar Rozali, yakin.
Sekalipun begitu, Merpati bersiap-siap sejak dini. Untuk itu, Merpati meremajakan armadanya dengan membeli delapan pesawat F 27-500 pada 1992. Tahun ini, dibeli lagi tiga pesawat F-100, sementara maskapai itu juga menyewa pesawat DC 9 dari Garuda. Tak mau kalah, Merpati juga menerapkan layanan pre/in/post.
Kini bagian reservasi Merpati siap melayani pemesanan tiket 24 jam sehari. Selain itu, dipasang alat komunikasi very small aperture terminal di tiap cabang yang belum memiliki saluran telepon sehingga kantor itu bisa memesan tiket ke kantor pusat.
Kualitas pelayanan di kabin juga ditingkatkan. Pergantian menu ditingkatkan dari tiga kali menjadi enam kali sebulan. Kini tinggal masalah ketepatan waktu. Target Merpati adalah rata- rata keterlambatan 10 persen untuk semua penerbangan, dan ini belum tercapai. “Sekarang ini upaya mengurangi keterlambatan pesawat menjadi prioritas kami,’’ begitu janji Rozali.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 24 Juli 1993. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo