Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengapa Membaca Tempo Harus Bayar

Bagja Hidayat

Bagja Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Alumni IPB University dan Binus Business School. Mendapat penghargaan Mochtar Loebis Award untuk beberapa liputan investigasi. Bukunya yang terbit pada 2014: #kelaSelasa: Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita.

Tempo menempuh cara tak populer dalam menyebarkan informasi: platform berbayar dengan berlangganan. Mengapa?

31 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tempo sudah lama tak menjual produk majalah dalam bentuk PDF.

  • Tempo bermimpi suatu saat kerja-kerja jurnalisme sepenuhnya dibiayai oleh pembaca.

  • Publik atau pembaca adalah harapan media bisa terus independen.

ADA teman bertanya dengan masygul setengah meledek: mengapa hampir setiap pekan—terutama jika isinya sensitif—konten majalah Tempo selalu bocor? Sebagai pelanggan yang membayar, dia masygul karena isi majalah ia terima di grup WhatsApp secara gratis. Sebagai teman yang kritis, ia heran mengapa Tempo tak bisa mengatasi problem ini selama bertahun-tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jawabannya: isi Tempo tidak bocor. Yang terjadi adalah konten Tempo dibocorkan. Oleh siapa? Oleh pelanggan berbayar seperti teman saya itu, yang merasa liputan yang ia baca begitu penting sehingga seluruh dunia harus tahu. Sharing is caring.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan teknologi membaca di gawai, pelanggan itu bisa menyalin konten majalah Tempo di situs web, memindahkannya ke Microsoft Word, kemudian mengubahnya menjadi dokumen portable document format (PDF). Atau, ini paling absurd, pelanggan memotret versi cetak, memindahkan dokumennya ke dalam bentuk PDF, kemudian menyebarkannya di media sosial.

Dokumen itu lalu berstatus “forwarded many times” karena beredar di grup-grup WhatsApp. Peristiwa itu terjadi hampir tiap pekan, tiap kali ada liputan-liputan menghebohkan.

Tiap kali ada “PDF Tempo” beredar, redaksi acap mendapat pertanyaan serupa: apakah dokumen tersebut dari Tempo? Jawaban: tidak! Tempo tidak lagi menjual majalah versi PDF. Distribusi majalah dalam bentuk PDF sudah berhenti lama sekali. Sebelumnya manajemen menjual majalah Tempo PDF lewat Gramedia Digital. Kini konten majalah hanya tersedia di aplikasi Tempo Media, situs web Tempo.co, dan dalam versi cetak.

Atau dalam versi lain: beberapa situs web menyalin dan merangkum isi majalah Tempo, lalu menyiarkannya. Para pengurus situs web ini mendapat limpahan pembaca dan mungkin iklan Google atau AdSense.

Mengapa Tempo menyediakan berita dengan cara berbayar yang ribet seperti itu? Karena Tempo ingin mempertahankan independensi.

Sebagai wartawan, saya senang jika liputan saya dibaca banyak orang dan berdampak pada perubahan yang lebih baik. Meski tugas wartawan hanya menulis dan melaporkan fakta, diam-diam kami ingin juga hasilnya berdampak luas. Setidaknya membuat orang lain menjadi tahu, bahkan menjadi pintar setelah membaca berita.

Karena itu, jika ada “PDF Tempo” beredar, dalam hati kecil saya senang. Itu berarti liputan saya, liputan kami, liputan para wartawan Tempo, dibaca banyak orang. Siapa tahu sampai juga kepada pejabat yang punya kewenangan membuat kebijakan tapi tak berlangganan Tempo, lalu ia insaf setelah membacanya. Siapa yang tahu.

Tapi dalam hati besar dongkol juga. Rasanya seperti habis menyusun lego robot berpekan-pekan atau berbulan-bulan sampai bergadang dan kurang makan, lalu seseorang menyenggolnya setelah robot itu siap dinilai juri. Setelah itu, penyenggolnya menyusun kembali lego tersebut ala kadarnya. Pokoknya terlihat seperti robot.

“PDF Tempo” yang beredar itu gratis. Siapa saja bisa membacanya di gawai. Padahal untuk mengakses Tempo harus bayar. Paket paling murah Rp 62.500 sebulan, hampir setara dengan harga segelas kopi cappuccino. Bandingkan jika Anda membeli edisi cetak Rp 60 ribu per edisi setiap pekan. Artinya, dalam sebulan biayanya Rp 240-300 ribu. Kenapa versi cetak lebih mahal? Sebab, versi cetak membutuhkan investasi mesin, kertas, pegawai yang melipatnya, orang yang menjaga kualitas tinta, hingga tim di luar redaksi.

Mengapa, sekali lagi, membaca Tempo harus bayar? Bukankah Tempo ingin Indonesia lebih baik sehingga jika makin banyak orang membaca liputan para wartawannya, makin besar pula dampaknya? Mengapa berita Tempo tidak digratiskan saja? Sekali lagi, secara personal, saya setuju terhadap pendapat ini. Jika kita ingin melawan hoaks yang gratis, informasi kredibel juga harus sama gratisnya, bukan?

Sayangnya, jurnalisme tidak berada di ruang kosong. Berita tidak ujug-ujug ada di gawai Anda tanpa melewati proses yang rumit dan berbelit. Di belakang sebuah liputan, ada tim yang kurang tidur, kepala desk yang senewen, editor yang misuh-misuh karena kurang data, reporter yang kena damprat, dan mungkin ada juga suami, istri, atau anak yang kurang kasih sayang karena ayah dan ibunya sibuk memelototi angka dan dokumen serta memilah informasi untuk diverifikasi.

Setelah liputan komplet pun, ceritanya masih harus ditulis dengan rapi, diperiksa koherensi fakta-faktanya, ditimbang apakah liputan itu akan mengirim penulisnya ke penjara atau tidak, diperiksa aspek bahasanya, kemudian ditata letaknya oleh para desainer, dibubuhi gambar-gambar, serta dipoles dengan infografik agar berita enak dilihat dan dibaca sehingga informasi menjadi tak membosankan.

Desain yang bagus itu kemudian dicetak dan didistribusikan ke agen dan toko buku. Majalah naik pesawat agar sampai ke tangan pembaca tepat waktu di banyak daerah. Manajemen Tempo menganggap proses panjang serta kerja keras para wartawan dan semua divisi di perusahaan ini cukup ditebus dengan segelas cappuccino. Setiap bulan.

Tempo bermimpi suatu saat kerja-kerja jurnalisme sepenuhnya hanya dibiayai oleh pembaca, tak lagi mengandalkan iklan. Sebab, iklan yang kian intrusif gampang menggelincirkan independensi. Di Tempo ada “garis api” yang memisahkan kerja pencari iklan dengan wartawan yang menulis berita. Maka tak satu-dua kali dalam edisi yang sama, liputan tentang penyelewengan sebuah proyek bersanding dengan artikel iklan yang memuji-muji proyek itu.

Dalam kasus seperti itu, biasanya manajemen mencabut iklan tersebut karena melanggar kode etik periklanan: temuan fakta jurnalistik tak boleh dibantah dengan fakta lain yang berbayar. Sebab, dalam jurnalistik, narasumber punya hak yang sama untuk menjelaskan fakta berdasarkan versi masing-masing. Wartawan mengujinya dengan liputan ke lapangan dan menyandingkannya dengan data-data yang mereka dapatkan.

Iklan, meski datang secara terpisah dari kerja wartawan, tetap saja membuat media menjadi ketergantungan dan gampang menjadi alat tunggangan mereka yang punya kepentingan. Uang iklan itu diolah menjadi upah untuk wartawan agar tenang bekerja menyelisik sebuah perkara yang merugikan publik. Jika iklan itu tidak ada, para wartawan tak punya ongkos naik ojek untuk mengejar-ngejar para narasumber.

Namun, sekali lagi, iklan bisa membuat independensi pers melenceng. Iklan akan menumbuhkan bias dalam kerja wartawan sehingga bisa muncul kesungkanan menuliskan sebuah berita yang menyangkut para pengiklan. Karena itu, sebaik-baiknya tulang punggung bisnis media adalah pembaca.

Publik atau pembaca adalah harapan media bisa terus independen. Sebab, independensi adalah nyawa sebuah media. Tanpa independensi, berita tak akan lagi dipercaya pembaca. Informasi akan selalu dianggap pesanan si ini dan si itu. Kerja wartawan harus bebas dari kepentingan, bahkan bebas dari kecemasan pada diri sendiri karena bisa melahirkan self-censorship. Sekali seorang wartawan cemas karena memikirkan periuk nasi, misalnya, dia akan bias dalam mencari, memilah, dan menyajikan informasi.

Janet Steele, profesor jurnalisme dari George Washington University, menemukan gejala unik ketika menyusun riset untuk biografi Tempo “Wars Within” pada akhir 1990-an. Ia menemukan cara wartawan Tempo menulis sebuah konflik sosial yang berpihak kepada orang miskin dan tertindas memudar seiring dengan kesejahteraan yang meningkat. Bias memang tidak datang terang-terangan.

Di Jerman, ada koran Taz atau Die Tageszeitung yang hampir bangkrut, lalu ditolong oleh pembaca dengan patungan membiayai kerja-kerja para wartawannya. Koran kiri-liberal pendukung Partai Hijau dan antimiliterisme ini kembali terbit dengan uang patungan itu yang diganti menjadi saham. Jadilah pemegang saham koran ini adalah para pembacanya.

Indonesia mungkin masih jauh untuk bisa seperti itu, yakni tumbuhnya kesadaran para pembaca berita mendukung kerja-kerja media. Tempo memulainya dengan menyediakan berita lewat platform berbayar. Belum berhasil, tapi ini adalah ikhtiar menjaga independensi yang menjadi prinsip dasar dalam jurnalisme. 

Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus