Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Moderat

Paham moderat di Arab justru membawa pertentangan. Adu senjata, kekuatan, banyak makan korban. Mempertahankan hidup terus dengan membasmi yang lain. Sekarang moderasi adalah suatu resiko besar. (ctp)

28 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI padang pasir, suhu bisa dahsyat di udara kering, dan kita tak yakin mungkin tersediakah, di sini, satu tempat untuk jadi moderat. Kita ingat panorama yang membentang ngilu dalam film Lawrence of Araby: T.E. Lawrence, mayor Inggris dalam jubah dan kafiyeh putih, menyeberangi dataran yang pucat berkaki langit maut itu. Sang albion telah menempuh hal-hal yang ekstrem. Ia kemudian menulis, setelah menyaksikan kafilah-kafilah perang yang gagah dan ribut: "Orang Semit tak punya nada setengah dalam menyampaikan pandangan mereka .... Mereka tak pernah berkompromi." Kompromi, bagi seorang Inggris yang menulis Seven Pillars of Wisdom, mungkin bukan cuma satu keniscayaan dalam hidup. Kompromi mungkin juga satu kebajikan. Tapi bagi orang Arab dan Yahudi, bagi orang-orang Semit yang tak putus-putusnya saling membunuh dan membenci itu, kompromi mungkin sebuah langkah ke arah mala petaka. Dari peperangan yang kini sedang berkecamuk di bumi, saya kira kekerasan di Timur Tengah-lah yang paling mendekatkan kita pada semua nubuat tentang Kiamat. Di sini, sejarah dan kitab suci bisa dikutik dan dikutip lagi, agar kebencian lama jadi lebih sah, agar dendam jadi suci, dan semuanya bisa disebarluaskan. Masa lalu membenarkan masa kini, juga masa depan, termasuk membenarkan ketidakadilannya. From Time Immemorial, "dari suatu masa di zaman dahulu", kata sebuah judul buku di tahun 1985 tentang permusuhan Arab versus Yahudi. Buku ini pun, dengan tebal 600 halaman, dengan segudang data sejarah, dengan nada polemis yang membela Israel, pada dasarnya meneruskan permusuhan itu ke babak baru. Dari suatu masa di zaman dahulu .... Kapan semua ini akan berakhir? Mungkin tak akan pernah berakhir. Senjata paling mengerikan telah dipakai dan dihimpun. Perlombaan sampai habis telah disiapkan, termasuk konon satu arsenal nuklir di gurun Israel. Cara paling nekat (dan paling berani) telah dipraktekkan. Kita pun tak tahu apa berikutnya, setelah seorang anak gadis menaiki truk yang penuh bom dan menabrakkan dirinya, sampai meledak, ke tempat musuh. Kita juga tak tahu apa yang akan menyusul, setelah kekejaman di Sabra dan Shatila, setelah seorang kakek yang sakit dibunuh di sebuah kapal turis, dengan begitu saja. Banyak hal yang tak kita mengerti lagi. Mungkin karena semuanya dengan penjelasan, semuanya dengan alasan. Mungkin karena semuanya dengan cita-cita. Siapa yang berdiri di tepi, akan semakin sulit ke gelanggang. Siapa yang tak punya beban sejarah di pundaknya dalam tempaan negeri-negeri tua ini, hanya akan bingung untuk menerjunkan diri di sana. Seperti Charlie, seperti tokoh Le Carre dalam Little Drummer Girl, gadis Inggris yang bersemangat dan malang: ia berperan dengan sepenuh hati untuk pro-PLO dalam sebuah sandiwara yang diatur oleh dinas rahasia Israel. Gadis itu sinting akhirnya. Charlie pada dasarnya adalah sebuah kasus tentang sikap mendua. Ia jadi ambivalen karena ia ingin, dengan jantung berdegup, memihak kepada mereka yang memikat hatinya dan perjuangannya adil - satu hal yang ia temukan, ternyata, di kedua pihak. Tapi di situlah mungkin salahnya. Senjata-senjata yang beradu, kekuatan-kekuatan yang berebut tempat, pada akhirnya tak menganggap relevan untuk menemukan secara persis mana yang adil dan mana yang lalim. Yang perlu hanyalah bagaimana bisa hidup terus, kalau perlu dengan meniadakan yang lain. Bagaimana seseorang, di sana, bisa memilih untuk tidak 100% memihak? Menjadi moderat telah jadi suatu keanehan, justru di sebuah wilayah yang pertama kali mendengar kata-kata Nabi Muhammad bahwa sebaik-baiknya perkara ialah di tengah-tengah. Di bagian bumi lain, mungkin soalnya lain. Tapi di sini, hari ini, moderasi adalah suatu risiko. Di daerah Tepi Barat Sungai Yordan yang diduduki Israel, ada beberapa wali kota yang dipilih rakyat Arab: para pemimpin Palestina yang umumnya dinilai "moderat". Artinya, mereka bersimpati kepada cita-cita Palestina yang merdeka, mereka bahkan menyokong PLO, tapi mereka tak menggunakan bom. Di situasi lain, di negeri lain, mereka mungkin orang-orang yang dianggap arif dan tak berbahaya. Tapi di Tepi Barat itu tidak: seorang dari mereka, Karim Khalif, mati dibunuh teroris Yahudi. Satu lagi, Fahd Qawasma, mati dibunuh teroris Arab. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus