Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HASIL audit forensik atas Pertamina Energy Trading Limited (Petral) menegaskan keberadaan sosok "mafia minyak" yang selalu menjadi bahan pergunjingan politik. Cengkeraman kelompok ini dalam jual-beli minyak mentah oleh anak usaha Pertamina itu memang luar biasa: dari mempengaruhi proses tender, memanjangkan rantai pengadaan untuk menangguk keuntungan, hingga menentukan sendiri laba jauh di atas normal.
Investigasi oleh auditor yang ditunjuk pemerintah Presiden Joko Widodo atas kegiatan operasional Petral pada 2012-2014 menunjuk pemain terpenting bisnis ini: Muhammad Riza Chalid. Ia memimpin Global Energy Resources, yang berkantor di Singapura dan memiliki induk di wilayah surga pajak, British Virgin Islands. Tentakel Global ditengarai menguasai petinggi Petral dan anak usahanya yang ditugasi menyelenggarakan tender pembelian minyak mentah, yaitu Pertamina Energy Services.
Pengaruh Riza, yang memiliki koneksi politik dan bisnis tingkat tinggi, dan Global pada Petral tercantum dalam hasil audit. Di situ disebutkan, para petinggi Pertamina Energy Services sering melakukan perjalanan ke luar negeri bersama perwakilan Global. Korespondensi melalui surat elektronik di antara kedua perusahaan selalu dilakukan untuk menyampaikan informasi rahasia dalam proses tender.
Jaringan Riza juga mencengkeram empat rekanan Petral. Antara lain mengatur agar pasokan minyak oleh perusahaan-perusahaan itu dilakukan melalui Global, yang semestinya bisa langsung ke Pertamina Energy Services. Global bahkan mengatur besar-kecil laba yang bisa didapatkan perusahaan rekanan itu. Pelbagai perselingkuhan ini membuat perusahaan Riza mengikat transaksi superjumbo selama periode yang diaudit. Nilainya hampir Rp 200 triliun.
Cengkeraman gurita perusahaan yang terhubung dengan Riza di Pertamina sebenarnya telah banyak disebut. Investigasi Tempo pada Maret 2008, misalnya, mengungkap permainan pada impor 600 ribu barel minyak mentah campuran—diberi nama Zatapi—oleh Pertamina melalui Global dan Gold Manor International, perusahaan yang juga terafiliasi dengan Riza. Permainan bawah meja membuat Pertamina tekor Rp 65 miliar hanya pada satu transaksi.
Perselingkuhan pemain dan elite pemerintahan membuat perkara itu tak pernah tuntas diselesaikan. Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI pernah menetapkan empat orang Pertamina dan Gold Manor sebagai tersangka kasus Zatapi. Namun mereka tak pernah diajukan ke pengadilan. Kesempatan memotong lengan gurita mafia minyak pun segera terkubur.
Tangan yang menguasai Petral bahkan semakin kuat, membuat apa pun usaha mengurangi kekuasaannya selalu tumbang. Sebut saja Ari Soemarno, yang terpental dari kursi Direktur Utama Pertamina pada 2008 setelah ia membekukan Petral dan menggantinya dengan divisi Integrated Supply Chain. Riza—yang kini juga ramai dipercakapkan karena diduga terlibat usaha permintaan saham PT Freeport Indonesia bersama Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto—tetap berperan penting dalam bisnis "emas hitam" ini.
Kesempatan membongkar sarang mafia minyak datang lagi melalui hasil audit, yang dimulai segera setelah pemerintah memutuskan membubarkan Petral pada Mei lalu. Komisi Pemberantasan Korupsi sepatutnya segera ikut menangani perkara ini. Lembaga ini pasti memerlukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk melacak aliran dana di antara rekening para pemain impor minyak.
Walau tidak dalam kondisi ideal karena Dewan terus menunda pemilihan pemimpinnya, komisi antikorupsi tetap merupakan lembaga yang memiliki kemungkinan terbesar berhasil membongkar mafia minyak. Badan Reserse Kriminal dan Kejaksaan Agung terbukti tidak berhasil mengungkap dugaan korupsi pada perkara impor minyak Zatapi.
Penyelidikan hukum patut segera dilakukan terutama karena sejumlah petinggi Pertamina Energy Services menolak bekerja sama dengan auditor independen yang disewa pemerintah. Dalam laporan hasil audit disebutkan, terdapat grup surat elektronik yang dipakai untuk menyampaikan data konfidensial, termasuk harga perkiraan sendiri. Kebocoran ini membuat tender impor minyak tidak pernah kompetitif dan diduga menguntungkan perusahaan kelompok Riza. Pada saat investigasi forensik, orang-orang Pertamina Energy menolak membuka grup surat elektronik itu dengan alasan "lupa password".
Hasil audit itu seharusnya digunakan sebagai awal perang total melawan mafia. Langkah hukum perlu diarahkan agar negara juga bisa menarik kembali kebocoran bertahun-tahun di Pertamina. Tak ada salahnya melibatkan investigator profesional guna melacak aset para pemain yang diuntungkan bisnis gelap ini. Tak ada kesempatan sebagus kali ini buat memotong lengan gurita yang sekian lama menjerat bisnis minyak negara kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo