Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang dipertontonkan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat sepanjang pekan lalu kian menegaskan tidak adanya iktikad baik dari politikus Senayan untuk menyokong pemberantasan korupsi. Ketika orang banyak menanti pemimpin baru Komisi Pemberantasan Korupsi yang berintegritas dan bernyali tinggi, mereka malah mengulur jadwal pemilihan calon pemimpin lembaga ini.
Alasan menunda uji kelayakan dan kepatutan itu sungguh tidak masuk akal. Sejumlah anggota Dewan, misalnya, sibuk mencari kesalahan Panitia Seleksi KPK, dari perpanjangan masa pendaftaran hingga soal tidak lengkapnya dokumen para kandidat. Belakangan, mereka mempersoalkan tidak adanya wakil kejaksaan dari delapan nama yang disodorkan Presiden Joko Widodo sejak pertengahan September lalu.
Di tengah keterbatasan waktu, DPR bersilat lidah, mencari-cari alasan. Padahal tidak ada keharusan posisi pemimpin KPK diisi wakil kejaksaan. Hal itu jelas tertulis dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Siapa saja bisa menjadi pemimpin Komisi asalkan memiliki kompetensi dan rekam jejak bersih.
Salah satu cara menelisik rekam jejak dan kompetensi adalah melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan. Keraguan akan kemampuan calon pemimpin komisi antikorupsi—dengan dalih sejumlah nama tidak berijazah sarjana hukum serta minim pengalaman di bidang hukum, ekonomi, keuangan, dan perbankan—harus dibuktikan melalui uji kelayakan. Itulah hakikat utama dari proses uji kelayakan dan kepatutan.
Sebaliknya, dengan menggantung jadwal uji kelayakan, kesempatan menggali kredibilitas para calon pemimpin KPK tidak bisa optimal. Harus diingat, waktu yang tersisa kurang dari satu bulan. Pasal 30 ayat 10 Undang-Undang KPK menyebutkan DPR wajib menetapkan pemimpin Komisi paling lambat tiga bulan setelah nama-nama itu masuk. Tidak ada celah bagi DPR untuk mengembalikan nama kepada Presiden. Bila hingga 16 Desember tenggat tak terpenuhi, kekosongan posisi pemimpin komisi antikorupsi tidak terelakkan karena masa tugas Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain berakhir.
Bila hal itu terjadi, komisi antirasuah bisa semakin loyo. Sebab, kinerja Taufiequrachman Ruki dan Indriyanto Seno Adji sebagai pelaksana tugas pemimpin KPK sulit diharapkan. Sederet kasus korupsi jumbo yang tengah ditangani bisa mandek di tengah jalan. Berlarut-larutnya proses pemilihan juga akan menyurutkan minat orang-orang terbaik mendaftar menjadi pemimpin KPK di masa depan. Yang diuntungkan dari situasi semacam ini siapa lagi kalau bukan para koruptor dan pengusaha hitam.
Perdebatan berlarut-larut di parlemen tak perlu terjadi bila anggota Dewan sejak awal punya niat baik memperkuat KPK. Sayangnya, sulit menemukan tekad seperti ini di kalangan politikus Senayan. Kuat dugaan, mereka tak ingin Komisi kuat, karena sejak lembaga ini dibentuk 12 tahun silam, sudah 82 politikus dijerat KPK.
Maka tak perlu heran jika politikus Senayan berkali-kali berniat melemahkan komisi antikorupsi. Parlemen, misalnya, berusaha merombak Undang-Undang KPK dengan mempreteli sejumlah kewenangan menyangkut penyadapan dan penuntutan.
Berkaca pada pengalaman itu, Presiden Jokowi tidak perlu tersandera oleh siasat politik anggota Dewan. Jokowi harus menolak bila tarik-ulur pemilihan pemimpin Komisi menjadi daya tawar parlemen untuk memasukkan Rancangan Undang-Undang KPK ke program legislasi nasional prioritas 2016. Jokowi juga harus membela sembilan Srikandi yang ia pilih sebagai anggota Panitia Seleksi, yang sempat menjadi bulan-bulanan politikus Senayan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo