Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Berita Tempo Plus

Retret: Jalan Menuju Sentralisasi Kebijakan Pemerintah

Kegiatan retret tidak memiliki tujuan yang jelas. Upaya militerisasi kepala daerah.

 

24 Februari 2025 | 06.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Kepala daerah bukanlah bawahan hasil penunjukannya, tapi dipilih oleh rakyat.

  • Retret yang diperintahkan Presiden Prabowo Subianto itu contoh nyata pemborosan.

  • Argumentasi bahwa retret ini memiliki landasan hukum juga keliru.

LANGKAH pemerintah mewajibkan kegiatan retret bagi semua kepala daerah baru merupakan upaya mendorong sentralisasi kebijakan pemerintahan. Selain menabrak prinsip dasar dari asas pemilihan kepala daerah langsung, kegiatan yang diperintahkan Presiden Prabowo Subianto itu contoh nyata pemborosan di tengah seretnya anggaran negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kementerian Dalam Negeri menggelar retret kepala daerah di Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah, yang berlangsung pada 21-28 Februari 2025. Retret ini bersifat wajib untuk 503 kepala daerah yang baru saja dilantik pada Kamis, 20 Februari 2025. Mereka yang berhalangan hadir diharuskan memberikan alasan jelas dan mengirim wakilnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kegiatan ini menambah kekacauan pengelolaan pemerintahan. Apalagi Prabowo memerintahkan para kepala daerah berkumpul dan diberi arahan atau orientasi untuk patuh kepada garis komando di Akademi Militer.

Prabowo boleh leluasa mengajak retret para pembantunya di kabinet. Para menteri dan kepala badan serta staf khusus wajar dituntut untuk selalu patuh dan memahami arah langkahnya yang dijabarkan dalam program Asta Cita. Namun kepala daerah bukanlah bawahan hasil penunjukannya, tapi dipilih oleh rakyat.

Menjadi produk pemilihan langsung, para kepala daerah seharusnya hanya berorientasi mendengarkan dan membawa aspirasi daerah untuk, antara lain, diperjuangkan kepada pemerintah pusat (bottom-up). Mereka adalah cerminan supremasi sipil. Bukan sebaliknya, mereka berlatih militer seperti tecermin dalam pelatihan baris-berbaris dan mengenakan seragam Komponen Cadangan.

Retret yang dibungkus dengan tujuan keselarasan dan kekompakan pusat-daerah itu jelas mengabaikan proses demokrasi pilkada langsung dan menabrak semangat otonomi daerah (desentralisasi). Para kepala daerah, diperintahkan ataupun tidak, seharusnya segera kembali ke daerah masing-masing dan memulai pekerjaannya setelah dilantik di Jakarta.

Terlebih dengan adanya kekosongan kepala daerah definitif yang cukup panjang sebelumnya tentu membawa pekerjaan rumah besar di daerah masing-masing. Malah menghabiskan waktu seminggu penuh untuk retret dan seremonial jelas bukan hal yang diharapkan untuk mereka kerjakan setelah dilantik. Jika kepala daerah justru absen dari tugasnya dalam waktu yang cukup panjang pada masa awal ini, ada potensi ia bakal terlambat merespons permasalahan yang berkembang di daerahnya.

Argumentasi bahwa retret ini memiliki landasan hukum juga keliru. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah tak disebutkan kegiatan pembinaan dan pendidikan kepala daerah dengan cara mobilisasi serupa retret. Undang-undang tersebut juga menggariskan pembinaan yang dilakukan pemerintah pusat meliputi pembagian urusan pemerintahan, bukannya kooptasi dan doktrinasi oleh pusat. Selain itu, soal pembagian kelembagaan daerah, kepegawaian, keuangan, pembangunan, pelayanan publik, kerja sama, hingga kebijakan daerah.

Pembinaan berupa fasilitasi, konsultasi, pendidikan, pelatihan, penelitian, serta pengembangan dalam kebijakan terkait dengan otonomi daerah tersebut semestinya pula bersifat berkelanjutan. Bukan dengan membuat kegiatan retret dan dikumpulkan bersama-sama mengenakan seragam militer. Hal ini juga karena permasalahan di setiap daerah tidak sama—kalau memang berorientasi pada problem di daerah.

Di luar urusan kekacauan pengelolaan pemerintahan, salah satu “hasil” nyata dari retret itu adalah pemborosan anggaran negara sebanyak Rp 11 miliar yang dipakai untuk membiayai program tersebut. Dana besar itu terbuang percuma saat pemerintah memangkas anggaran di sebagian kementerian dan lembaga yang mengurus pelayanan publik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus