Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah DKI Jakarta mulai menerapkan sistem permukiman yang tertata. Begitu kebijakan Gubernur Sutiyoso yang harus dilaksanakan para wali kota.Terjemahannya adalah para pemukim liar hengkang dari tanahyang kini ditempatinya. Tak peduli apakah itu tanah negara,tanah milik pengembang, atau tanah milik perorangan. Siapapun yang punya bukti-bukti sah atas sebidang tanah akandilindungi haknya, dan siapa pun yang menempati tanah tanpaada bukti kepemilikan akan digusur.
Ini melahirkan musim gusur di Ibu Kota. Di KampungBaru, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, Perum Perumnasmeminta bantuan Pemda DKI untuk mengamankan lahannyayang diserobot penghuni liar. Penggusuran ini menimbulkanbentrok yang menyebabkan 44 orang luka. Pekan lalu, pemiliklahan 12,4 hektare di Kampung Sawah, Kelurahan TanjungDuren, Jakarta Barat, juga meminta bantuan Pemda DKI untukmengusir penyerobot tanah itu. Bentrokan pun terjadi.Penggusuran berlanjut ke Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Kinibanyak warga yang ketar-ketir, kapan alat-alat berat—danpreman-preman—datang menggusur kampung mereka.
Apa rujukan Pemda DKI tentang "permukiman yangtertata"? Wali Kota Jakarta Barat Sarimun Hadisaputramenyebutkan setidaknya ada dua bukti utama: surat yang sahtentang kepemilikan tanah dan surat izin mendirikan bangunan (IMB).
Memang banyak pemukim liar yang begitu sajamenyerobot lahan kosong. Mula-mula dibangun gubuk, lalumeningkat menjadi semipermanen, lalu bangunan agak permanen.Mereka bisa melaksanakan "pembangunan bertahap" itu karenatidak ada pencegahan dari pemerintah daerah secara dini.
Namun lebih banyak lagi warga kota yang merasasah-sah saja tinggal di permukiman yang dianggap liar itu karenamereka mendapatkannya dengan cara-cara "tidak liar".Misalnya membeli dari penghuni sebelumnya dengan buktijual-beli autentik, data kependudukannya tertata rapi, dan listrikmendapat sambungan resmi dari PLN atas nama sendiri.Bahkan banyak yang membayar pajak pembangunan—entah sahentah palsu, itu tak begitu dipusingkan warga. Yang pentingada surat-suratnya.
Lalu siapa yang harus disalahkan? Tak sepenuhnyakesalahan itu ada pada warga yang bermukim di sana. Logikasederhana sering diucapkan warga: kalau dianggap penghuni liar,kenapa diberi KTP, dikenai pajak ini-itu, kenapa pula PLNmemberikan sambungan listrik pada rumahnya.
Pernyataan ini ada benarnya. Pemda DKI harus menindakpejabat-pejabat di tingkat lurah karena telah mengenakanpungutan yang bermacam-macam kepada warga yang menghunilahan tak sah itu. Lalu koordinasi antara Pemda DKI dan PLNtak ada. PLN memberikan sambungan listrik kepada setiappemohon tanpa peduli ada IMB atau tidak, pemohon menempatitanah bermasalah atau tidak. Yang penting membayar biayasambungan dan tagihan listrik setiap bulan. Nah, bagi warga,semua fasilitas itu dianggap cukup sebagai bukti bahwamereka bukanlah penghuni liar. Belum lagi kalau urusan politikdibawa-bawa. Dengarkan kata seorang warga: "Kalau pemilu, kitadisebut penduduk sah dan disuruh nyoblos. Kalau lewatpemilu, kita disebut penduduk liar dan digusur. Mana yang benar?"
Yang benar adalah menjadi wong cilik selalu dianggap salah. Karena itu, sekali-sekali mari kita balik menyalahkan Pemda DKI, yakni tidak konsisten dengan aturan menerapkan permukiman tertata. Kalau sejak awal tanah itu milik negara atau milik perorangan, jangan biarkan orang tak berhak bermukim di sana. Harus sejak dini dicegah, jangan dibiarkan warga sampai membuat bangunan permanen. Aparat Pemda DKI justru bermain di sini dengan melegalisasi jual-beli di bawah tangan atau memungut "uang keamanan". Kebijakan lahan tidur juga harus diatur secara jelas, kapan batasnya, dan apa syarat-syarat lahan tidur boleh dimanfaatkan warga. Penggusuran di Cengkareng bermula dari pemanfaatan lahan tidur yang tak jelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo