Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Setelah Kita Kehilangan Chandra Asri

Chandra Asri, yang dicita-citakan sebagai perusahaan petrokimia kebanggaan Indonesia, oleh BPPN dijual murah kepada investor asing. Banyak yang menyesali. Tapi, mengapa hal itu bisa terjadi?

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keganjilan selalu menyertai megaproyek petrokimia Chandra Asri, sejak berdiri tahun 1990 sampai dijual Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kepada Glazer& Putnam Investment pekan lalu. Dalam 13 tahunusianya, banyak misteri yang tidak tersingkap dan, seiring denganitu, Rp 10 triliun uang pemerintah direlakan lenyap.

Bermodalkan dana US$ 1,67 miliar—US$ 218 juta diantaranya berupa pinjaman dari Bank Dagang Negara dan BankBumi Daya (sekarang Bank Mandiri)—proyek ini pada 1991diubah statusnya menjadi 100 persen PMA (penanaman modalasing). Chandra Asri pun dirancang untuk mulai beroperasi pada1995 dan diproyeksikan balik modal pada 2002 atau 2003.

Perubahan status ke PMA dilakukan karena megaproyekini dikhawatirkan akan membebani neraca pembayaran,sedangkan pemerintah (baca: Tim PKLN atau Tim PinjamanKomersial Luar Negeri) tidak mau ambil risiko. Masalah timbulkarena dana pemerintah sebesar US$ 218 juta masih tersangkut disana. Pemilik Chandra Asri, Prajogo Pangestu, pernahmenjanjikan bahwa pinjaman itu akan segera dibayar. Ternyata, sampaidiambil-alih BPPN, pinjaman itu belum terbayar juga.Status 100 persen PMA tidak menutup fakta bahwa Chandra Asridibiayai sebagian oleh negara. Ganjilkah ini? Tentu saja,apalagi waktu itu Tim PKLN dan Bank Indonesia bersikap sepertitidak terjadi apa-apa.

Pembengkakan nilai proyek adalah satu keganjilanlain. Chandra Asri, yang sudah memiliki 11 pabrik, diperluaslagi sehingga perlu dana lebih banyak. Alhasil, investasi yangsemula US$ 1,67 miliar menggelembung jadi US$ 2,08miliar. Biaya ini terlalu besar dibanding biaya proyek yang samadi negara lain, sehingga banyak pihak berkesimpulanbahwa harganya terlalu mahal. Dugaanmark-up sulit dibantah. Tapi, menghadapi hal itu, pemerintah Soeharto dan Habibiebersikap biasa-biasa saja.

Orde Baru kandas, tapi Chandra Asri terus sajamengharu-biru. Bahkan Presiden Abdurrahman Wahid dan PresidenMegawati Soekarnoputri—yang mewarisi kasus megaproyekini—tidak bisa berbuat banyak. Peran Marubeni sebagaiinvestor asing terbesar, dengan pemerintah Jepang di belakangnya,konon sangat dominan. Dua kekeliruan terjadi berturut-turut:pertama, keputusan pemerintah Gus Dur merestrukturisasi utangChandra Asri; kedua, keputusan BPPN melepas Chandra Asri padaharga Rp 602 miliar—padahal asetnya mencapai Rp 11 triliun.

Jelaslah, restrukturisasi utang dengan tujuanmemperoleh harga jual yang tinggi telah ditelikung sendiri olehkeputusan BPPN melepas Chandra Asri pada harga rendah. Dari sini,recovery rate yang diperoleh hanya sekitar 6 persen.Padahal, dengan restrukturisasi utang, seharusnya tingkatpemulihan bisa dua setengah kali lebih besar. Bahkan ada yangmenilai, aksi "obral" BPPN itu sama saja dengan memberipotongan utang kepada Chandra Asri sampai kira-kira 94 persen.Ini bukan lagi ganjil, tapi mahaganjil. Moralhazard, yang selama ini diperangi, rasa-rasanya bertiwikrama di Chandra Asridan hadir dalam bentuk yang jauh lebih mengerikan.

Adapun restrukturisasi utang sebenarnya tidak perludilakukan, mengingat produk Chandra Asri tidak berdaya saing,malah kabarnya memerlukan proteksi dari pemerintah.Mungkin proyek ini masih memiliki banyak potensi. Tapi, sejaktahun 2000, dari sejumlah investor asing yang berminat, tidaksatu pun menawar dengan harga lumayan. Malah sebaliknya,harga yang mereka ajukan kian lama kian rendah.

Dari hiruk-pikuk Chandra Asri, ada dua hal yang bisa dicatat. Pertama, masalah bisnis seharusnya tidak ditangani secara politis, sehingga memungkinkan mark-up dan moral hazard. Kedua, perlu dicari sebab-musabab mengapa BPPN terlihat begitu leluasa, padahal ada KKSK yang membawahkannya dan Komite Pengawas BPPN yang menyorot tindak-tanduknya. Hal ini sungguh sangat ganjil, apalagi masih ada Menteri Negara BUMN yang bertindak sebagai penanggung jawab utama aset negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus