Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Simalakama Dirgantara Indonesia

Jakarta dilanda gelombang unjuk rasa karyawan PT Dirgantara Indonesia. Warisan masa lampau yang tak bisa diremehkan.

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANDUNG selalu punya cara khusus mengungkapkan sesuatu—termasuk berunjuk rasa. Pekan-pekan terakhir ini, misalnya, Ibu Kota kedatangan tamu berombonganbesar dari Parijs van Java itu, tak ubahnya karnavalantarkota dengan berbagai kendaraan, sebagian besar sepeda motor.Pesertanya juga rame, meliputi ibu-ibu dan anak kecil,hingga mirip acara wisata keluarga. Apalagi, selama di Jakarta,rombongan bermalam di Asrama Haji Pondok Gede, seakanhendak bermusyawarah nasional luar biasa. Saking semaraknya,tidak sedikit stasiun radio niaga yang melaporkan perjalanan"kafilah" itu dalam format siaran pandangan mata, etape demi etape.

Di luar "kesemarakan" itu, sesungguhnyalah rombongan karyawan dan keluarga PT Dirgantara Indonesia inimengusung masalah yang sangat serius untuk dipikirkan bersama.Intinya, mereka mendesak pencabutan surat keputusan DirekturUtama Dirgantara Indonesia, yang merumahkan sekitar 6.000karyawan badan usaha milik negara itu. Mereka juga menuntuttanggung jawab Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi,atas kemelut yang melanda Dirgantara Indonesia. Melihat jumlah peserta dan rapinya perencanaan unjuk rasa ini, kedua tuntutan tersebut tentulah tak selayaknya ditanggapi enteng.

Demo semakin meriah ketika kemudian sekitar 200 teknisi PT Garuda Indonesia menggabungkan diri dengantuntutan yang kurang lebih sama: menolak pemutusan hubungankerja. Ditambah ribuan karyawan PT Texmaco, yangmempersoalkan keterkatungan nasib 20 ribu teman sekerjanya, Jakartamenyaksikan gelombang demo yang lumayan kolosal, dansyukurlah tak berbuntut aksi kekerasan. Cuma, malang tak dapatditolak, seorang karyawan Dirgantara Indonesia dari DivisiFlight Test Center, Sukri, 42 tahun, melepas nyawa di tengahhari-hari unjuk rasa. Rumah sakit menyatakan almarhumterserang stroke, tapi rekan-rekannya merujuk efek psikologis yangditanggungkan korban akibat kemelut perusahaan tempatnyabekerja.

Apa pun kembangannya, inti masalah yang mencuatsesungguhnya adalah masalah ketenagakerjaan.Memutuskan hubungan kerja dalam skala ribuan orang, pada zamanekonomi belum menentu ini, tentulah tak semudah mengobatikepala pusing. Apalagi untuk Dirgantara Indonesia, yang dimasa lampau pernah dikibarkan sebagai industri unggulanuntuk "lepas landas" ke masa depan. Pemerintah MegawatiSoekarnoputri bak dihadapkan pada buah simalakama. Di satupihak, jika dirunut ke akar pokoknya, kemelut DirgantaraIndonesia merupakan warisan rezim yang lalu. Tapi, di pihak lain,adalah kewajiban pemerintah yang sekarang untuk mengurustuntas masalah ini, karena menyangkut nasib ribuan orangbeserta keluarganya.

Menyimak tuntutan para karyawan Dirgantara Indonesiaitu, yang terutama terasa adalah kegelisahan merekaterhadap lambannya para pengambil keputusan, terutamaMenteri Negara BUMN, menjatuhkan pilihan solusi. Pilihan-pilihanitu sendiri memang tak mudah. Dengan volume produksi danpenjualan seperti saat ini, jumlah sekitar 9.000 karyawanuntuk Dirgantara Indonesia tentulah kurang masuk akal.Seorang pimpinan Dirgantara Indonesia pernah menyatakan,jumlah itu harus dikurangi seperempatnya. Kalau pemutusanhubungankerja merupakan tuntutan obyektif, persoalan yangtersisa tentulah bagaimana pemutusan hubungan kerja ituberjalan dengan adil dan memuaskan pihak yang harusmengalami pemutusan.

Sampai di sini, persoalannya pindah pada ketersediaan dana—untuk pesangon yang layak, misalnya. Padahal, untuk mengatasi pengangguran saja, kata Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah tak mampu jika hanya mengandalkan anggaran. Tapi, menunda pilihan juga sama dengan membiarkan masalah bergulir makin besar. Ribuan pengunjuk rasa itu, bagaimanapun, hanyalah korban dari kebijakan di masa lampau yang, mau tak mau, harus diterima ke dalam keranga kebijakan masa kini yang lebih bertanggung jawab dan transparan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus