Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah lebih dari setengah abad Indonesia jadi negara merdeka, baru sekarang sempat merancang undang-undang hukum pidana sendiri.Soalnya bukan lagi tentang terlambat atautidaknya. Penekanan masalahnya sekarang ialah pada cocok tidaknya rancangan itu bagikepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, banyakyang minta supaya setiap pasal rancangan ituditeliti lagi dengan lebih berhati-hati.
Menyusun hukum pidana bukan pekerjaan kecil. Isinya akan mempengaruhi segala segikehidupan bermasyarakat, menentukan batas antara yang boleh dan dilarang dalamperilaku setiap orang. Karena akan menyangkut cara hidup semua orang, hampir setiap orangpula ingin ikut berpendapat mengenai rumusan yang mesti dibuat dalam undang-undang itu.Kesempatan harus dibuka, bukan saja karena itu memang hak masyarakat, tapi juga karenaundang-undang hanya absah kalau mengikutsertakan publik dalam prosespembuatannya. Jadi, walaupun sudah berlarut, waktu masihtetap perlu disediakan, dan tidak perlu terburu-buru.
Sebetulnya rancangan Kitab Undang-Undang HukumPidana (KUHP) yang disiapkan pemerintah tak bisa dikatakanterburu-buru atau tidak menampung pendapat umumdalam penyusunannya. Bahwa adanya rancangan itudikemukakan secara terbuka, itu berarti mengundang semua pihakuntuk memberikan komentarnya. Rancangan yang sekarangsudah di tangan pun prosesnya sudah mulai dipersiapkan duapuluh tahun lalu, sejak 1982. Panitia Penyusunan RancanganKUHP yang dibentuk pemerintahterdiri atas banyak sarjanahukum pidanatelah melakukan kegiatannya selama sepuluhtahun, sampai 1992.
Draf yang ada sekarang, memang, masih berupa hasilyang disusun terakhir pada tahun 1992 itu, di saat rezimotoriter Orde Baru masih berkuasa. Tak heran jika pasal-pasalyang memasung kebebasan berpendapat, berekspresi, dankemerdekaan pers malah bertambah banyak ketimbang yangdibuat rezim penjajah Belanda.
Ajaibnya, sekarang setelah lima tahun reformasibergulir, tidak banyak perubahan dilakukan terhadap draf itu.Maka banyak orang menganggap perlu dibubuhkan banyakpenyesuaian dalam rumusan pasal-pasal yang ada. Dengansuasana yang lebih terbuka, saluran komunikasi lebih baik, makalebih banyak yang minta kesempatan untuk berpartisipasi.Biarpun itu berarti akan memakan waktu lebih banyak lagi, tidakjadi soal. Lebih rela agak terlambat sedikit lagi daripadatidak selamat merumuskan hukum yang baik. Di negara demokratis, pemerintah hanya menjalankan hukum yang telahdisepakati rakyatnya.
Di Indonesia, hukum pidana yang dijadikan peganganmasih berasal dari warisan kolonial, yang dibuat berdasarkankepentingan penjajah Belanda. Keadaan ini agak ironissebenarnya. Karena belum sempat menyusun sendiri, AturanPeralihan dalam konstitusi menetapkan bahwa undang-undangyang sudah ada masih berlaku, termasuk"Wetboek van Strafrecht voorNederlandsch-Indie". Dengan Undang-Undang No. 1 Tahun1946, judul kitab undang-undang itu diubah menjadi "Wetboek van Strafrecht" saja, ataudapat disebut "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana". Isinya pun merupakan terjemahanbelaka, dengan beberapa penyesuaian, dari rumusan bahasa Belanda aslinya. Karena tidak adayang disahkan resmi, selama ini ada beberapa versi terjemahan yang diterbitkan dan beredar.Ada yang berpendapat bahwa dengan demikian yang sebetulnya harus dianggap sahhanya versi bahasa Belanda, karena itulah yangasli. Walaupun dalam praktek tidak terlalu mengganggu, masalah ini termasuk yang harusdiatasi. Ternyata waktu lima puluh tahun belum cukup bagi kita untuk menghasilkansendiri buku undang-undang hukum pidana tertulis yang berlaku secara nasional.
Membuat undang-undang baru bukan cuma karenaperlu memiliki peraturan dalam bahasa sendiri. Yang lebihpenting dari sekadar menerjemahkan ialah maksud untukmemenuhi kebutuhan hukum masyarakat zaman ini. Menyusunperaturan hukum pidana berarti menetapkan lebih dulu apa yangdianggap adil bagi semua dan apa yang dianggap perludijalankan untuk menjaga keseimbangan dalam masyarakat.Hukum pidana adalah hukum publik, mengatur hubunganseseorang dengan masyarakat atau negara, dan penegakan peraturandijaga dan dijalankan dengan kekuasaan negara. Sekalidiundangkan, peraturan harus ditegakkan, dan di lainpihak harus ditaati. Adanya konsekuensi wajib mematuhiberbagai keharusan itu membuat semua pihak yang akan terikatmerasa perlu untuk sangat berhati-hati sebelum memberikanpersetujuan pada undang-undang yang akan dibuat. Tidakmengherankan, bahkan wajar, kalau banyak yang jadi cerewetdalam menyambut rancangan KUHP baru ini.
Draf KUHP yang ada telah menampung beberapa halbaru. Belum semua pihak bisa menerima, dan banyak rumusannorma yang masih menimbulkan pertanyaan. Soal santet,misalnya, yang telah diulas pekan lalu di rubrik ini. Yang jugamenjadi masalah ialah lingkup dan cakupan pengaturan hukumpidana: bisakah disetujui bila hukum publik ini menyusupmasuk sampai mengatur kehidupan pribadi warga? Mungkinkahmoral perseorangan dinilai dan diberi sanksi pidana oleh kaidahhukum publik? Jawabannya akan tecermin dalam rumusantentang tindak pidana kesusilaan, dalam batasan pasalmengenai permukahan atau perzinaan, misalnya.
Rancangan KUHP ini masih dalam taraf sosialisasi ke masyarakat, baru kemudian disampaikan ke DPR. Sebaiknya sementara itu Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia membantu memperbanyak sarana dan peluang agar rancangan itu bisa dipelajari kembali oleh sebanyak mungkin pihak yang berminat. Dengan begitu, masih ada beberapa ronde lagi kesempatan untuk meninjau dan meneliti, sebelum masyarakat bersedia membeli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo