Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Mansur Suryanegara
Sejarawan
N-Sebelas atau N-11 adalah sebuah nama sandi untuk mengesankan kelanjutan dari NIINegara Islam Indonesiayang dibangun oleh S.M. Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949. N-11 baru muncul pada masa pemerintahan Orde Baru. N-11 adalah gerakan yang diametrikal dengan NII, sebagai gerakan rahasia dan membentuk organisasi sel. Setiap anggotanya terlindungi oleh tameng yang tidak saling mengenal. Tetapi, pada setiap anggotanya ditumbuhkan kesadaran de-individualizingmeniadakan sifat keindividuan. Syekh atau top leader-nya tetap majhulterahasiakan.
Sasaran gerakannya adalah siswa dan mahasiswa dari SMU favorit dan perguruan tinggi negeri atau swasta yang memiliki fakultas teknik atau eksakta, yang dijaring untuk dijadikan anggotanya. Mereka ditugasi sebagai money collector dari orang tua dan saudaranya, dengan target menjadikan N-11 sebagai organisasi superkaya. Menurut Galamedia Bandung, saat ini N-11 sudah menjaring sekitar 68 ribu anggota mantan pelajar dan mahasiswa. Bila seorang anggota diwajibkan membayar Rp 1 juta, akan terkumpul Rp 68 miliar. Dengan dana ini pula N-11 bermotivasi merontokkan Islam dari generasi mudanya. Padahal, aktivisnya atau ulul amri banyak berasal dari keluarga yang tadinya tidak punya perhatian pada Islam. Orang tua dijadikan sasaran sumber dana yang diutamakan untuk dikuras hartanya. Bila orang tua menolak, disadarkan bahwa orang tua mereka kafir. Dibenarkan jika orang tuanya dirampok atau dibunuh. Ditanamkan kesadaran rasa tanggung jawabnya: "Jangan salahkan saya. Salahkan orang tua saya." Tidakkah tindakan demikian mempunyai kemiripan dengan ajaran komunis? Lalu, siapa sebenarnya yang punya N-11? Sampai hari ini masih tetap misterius. Jelas, N-11 bukan organisasi yang digerakkan dan dibiayai oleh mantan NII. Target gerakannya jauh lebih luas, tidak hanya akan menodai NII, tapi juga untuk menghancurkan Islam di tengah semaraknya partai politik Islam menyiapkan kampanye pemilu mendatang. Mungkin juga untuk menggoyahkan MPR, DPR, dan pemerintah, yang dipimpin oleh tokoh Islam. Sejak Soeharto lengser, 21 Mei 1998, muncul kembali peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada sekitar 1950 dan 1962-1964. Gerakan federalis yang pondasinya diletakkan oleh Letnan Gubernur Jendral van Mook hidup kembali pada era reformasi. Reformasi Yogyakarta memelopori disuarakannya pembaharuan politik untuk diubah menjadi negara federal. Gerakan separatis van Mook yang muncul dari "daerah pinggir"rim landterulang kembali: Gerakan Aceh Merdeka, Riau merdeka, gerakan kontraetnis Dayak lawan Madura di Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan merdeka, gerakan separatis Maluku. Papua pun, dengan bendera Bintang Kejora, mengejawantahkan gerakan separatismenya. Selain gerakan separatis, muncul pula demo dengan berbagai tuntutan, antara lain yang menyuarakan tuntutan komunis, pada 1962-1964. Ada tuntutan pembubaran dwifungsi ABRI dan kembali ke asrama seperti yang pernah dilancarkan oleh PKI. Diikuti pula oleh tersebarnya isu adanya kudeta TNI, mirip isu kudeta Dewan Jenderal saat Presiden Sukarno sakit. Satu-satu jenderal TNI yang berlatar belakang penumpas komunis mulai menjadi berita hak asasi manusia. Di tengah ramainya gerakan separatis dan federalis serta komunis di atas, muncullah N-11 meningkatkan aktivitasnya. Mereka merekrut sebanyak-banyaknya siswa dan mahasiswa untuk menjadi anggotanya serta mengajak mereka meninggalkan sekolah atau kuliahnya. Tidaklah mengherankan bila N-11 sebagai gerakan di bawah tanah tiba-tiba menjadi topik berita media massa. Masjid Salman ITB pun mengadakan acara bedah N-11. Bertolak dari pengalaman sejarah, setiap gerakan federalis dan separatis selalu mendapatkan dukungan dari CIA. Apakah Indonesia akan bernasib sama seperti Yugoslavia, yang dirontokkan akibat program kedirgantaraannya dinilai mengancam AS? Mungkinkah N-250, pesawat produksi IPTN yang memiliki kecepatan tertinggi di dunia pada kelasnya, dinilai sebagai ancaman terhadap kedirgantaraan AS? Apalagi, terjadi Islamo-phobia sesuai dengan teori Samuel Huntington: sesudah komunis, Islam merupakan ancaman bagi Barat. Jatuhnya Presiden Sukarno (11 Maret 1966) bukanlah karena ia prokomunis, melainkan akibat digelarnya The Champion of Freedom and Islam dari Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) 14 Maret 1965. Gelar ini bisa membahayakan pengaruh AS di Timur Tengah. Akibatnya, setahun kemudian Presiden Sukarno dirontokkan. Demikian pula lengsernya Presiden Soeharto sepulangnya dari umrah dan masuk ke Ka'bah. Sebelumnya, Presiden Soeharto sudah menampakkan kecenderungan kepada Islam yang sangat tinggi. Ia tidak hanya menciptakan kondisi tumbuhnya tempat ibadah dari lima agama, tetapi juga berusaha membangun Masjid Soeharto di Bosnia. Pemindahan kekuasaannya ke Presiden B.J. Habibie menjadikan Indonesia memiliki satu-satunya presiden di dunia yang mampu menciptakan pesawat terbang. Walaupun AS punya 41 presiden, tak seorang pun mampu menciptakan pesawat yang tercepat di dunia di kelasnya. Kehadiran B.J. Habibie, yang kental kemuslimannya, apakah tidak merepotkan AS? Ternyata Islamo-phobia AS terhadap Indonesia menjadikan AS lemah dalam menghadapi kemajuan komunis RRC. Pada 30 September 1999, Menteri Pertahanan AS William Cohen datang ke Indonesia. Anehnya, sepulangnya, terciptalah keputusan MPR dengan "tiga A, satu M": Amien Rais Ketua MPR, Akbar Tandjung Ketua DPR, Abdurrahman Wahid Presiden, dan Megawati Wakil Presiden. Keempat tokoh tersebut beragama Islam. Apakah karena ini lalu timbul gerakan imbangan dengan melemahkan Islam di tingkat bawah atau generasi muda? Apakah bukan secara kebetulan aktivitas N-11 dengan segenap dampaknya terhadap generasi muda Islam memiliki kesejalanan dengan kepentingan gerakan Islamo-phobia AS? Wallahualam. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |