Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Kenaikan Gaji PNS

27 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEDIH juga mendengar ucapan Ketua Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) bahwa gaji pegawai negeri sipil (PNS) saat ini hanya cukup dimakan sepuluh hari (mungkin yang dimaksud golongan I sampai III—tanpa KKN). Bagi mereka yang seumur saya, hal ini tidak mengagetkan karena pada 1964-1966 kondisinya lebih-kurang sama. Gaji PNS saat itu juga hanya cukup dimakan seminggu sampai 10 hari. Perbedaannya, pada zaman itu kekayaan bumi Indonesia relatif masih utuh dan model KKN belum begitu marak. Pegawai terendah sampai tertinggi sama melaratnya. Sekarang, zamannya sudah berbeda: kekayaan negeri ini nyaris habis dan kita dapat melihat, di balik PNS yang amat miskin, bisa dijumpai PNS yang memiliki rumah mewah di lokasi mahal, mobil mewah, deposito miliaran, serta berbagai jenis simbol kemewahan lain yang jelas bukan bersumber dari gajinya.

Karena itu, pada zaman ini, rasa ketidakadilan sangat menggigit, kecemburuan sosial merebak, dengan dampak jiwa korsa melonggar bahkan sirna, friksi horizontal ataupun vertikal mudah terjadi, dan pada akhimya administrasi negara menjadi rusak. Tapi penyelesaian masalah tersebut tidak bisa ditempuh dengan cara tunggal seperti menaikkan gaji secara integral. Diperlukan pembenahan-pembenahan tertentu agar kenaikan gaji tersebut benar-benar bisa menyehatkan administrasi negara.

Hal yang perlu dipikirkan dan dibenahi antara lain:

  1. Jumlah dan formasi PNS dirasionalkan. Apakah jumlah PNS saat ini tidak berlebihan? Apakah susunannya sudah betul? Likuidasi beberapa departemen yang lalu (Penerangan, Sosial, Pekerjaan Umum, Koperasi, dan Transmigrasi) bisa dikatakan semacam tes apakah dengan dilikuidasinya departemen-departemen tersebut administrasi negara menjadi kacau atau kolaps. Mestinya, buat negeri miskin seperti Indonesia, memutar roda pemerintahan mungkin cukup dengan 15 departemen saja.

  2. Sebelum diberikan kenaikan gaji integral, perlu diadakan sweeping untuk memilah antara PNS jawara KKN dan mereka yang bersih KKN, sehingga gelar ejekan PGP—pinter goblok podho wae (pintar bodoh sama saja)—harus ditiadakan. Tidak adil kalau pelaku KKN puluhan tahun masih pula dinaikkan gajinya. Dengan kata lain, penegakan hukum di kalangan PNS harus dijalankan sebelum kenaikan gaji diberikan. Mestinya, sejak zaman awal republik dulu, sudah dibudayakan pemberian reward and punishment secara berimbang. Di kalangan PNS, yang di-record sangat cermat hanya punishment-nya, sementara penghargaan terhadap prestasi tidak tercatat—atau dicatat secara kagetan (di kalangan TNI, kalau nakal, masuk sel, tapi kalau berjasa, diberi tanda jasa tertempel di dadanya).

  3. Betul yang dikatakan Dr. Sjahrir dalam suatu wawancara di SCTV bahwa di awal republik ini ada semacam komitmen bahwa gaji terendah dan tertinggi perbedaannya sekitar 1 : 40 (kalau tidak salah bisa dilihat pada skala gaji yang disebut PGP-1948). Perbandingan tersebut rasanya yang paling rasional. Perbandingan lebih dari itu, dengan alasan apa pun, tidak rasional.

  4. Mengenai pernyataan bahwa gaji yang lebih besar akan membuat orang terhindar dari KKN, kenyataan di lapangan memberikan bukti sebaliknya. Contohnya, gaji karyawan BUMN jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PNS, tapi cobalah sebutkan apakah ada BUMN yang bersih KKN. Sejak 1970-an, sudah ada lelucon, ketika gajinya masih Rp 100 ribu per bulan, diberi upeti Rp 10 ribu terima kasihnya sudah bukan main, tapi ketika gajinya naik menjadi Rp 500 ribu per bulan, diberi upeti senilai Rp 100 ribu masih ditertawakan. Lelucon tadi mengisyaratkan bahwa makin tinggi gaji PNS, akan semakin besar nafsu KKN-nya. Sebab, seleranya langsung berubah.

  5. Kenaikan gaji yang sifatnya kagetan hendaknya dihindarkan. PNS mengenal kenaikan gaji karena kenaikan jabatan, kenaikan gaji karena kenaikan golongan, dan kenaikan gaji berkala. Sementara itu, kenaikan gaji integral karena inflasi, idealnya, di-adjust otomatis setiap tahun setinggi angka inflasi. Cara ini memang tidak mungkin dalam kondisi ekonomi runtuh seperti pukulan krisis moneter (krismon) pada 1997 lalu. Tapi, dalam situasi normal, cara itulah yang terbaik, sehingga tidak terjadi kenaikan harga-harga umum mendahului kenaikan gaji PNS dan PNS hanya kebagian penderitaan melulu.

  6. Tentang cukup atau tidak cukup dan kaya atau tidak kaya bagi seorang PNS, sudah ada ujar-ujar kuno sebagai berikut: ”Pegawai negeri yang baik tidak akan kaya. Jika seorang pegawai negeri kaya, hampir dapat dipastikan ia bukan pegawai negeri yang baik.” Maksudnya sederhana saja: kalau sudah berniat menjadi PNS, dengan alasan apa pun, jangan menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri. Bukannya PNS dilarang untuk kaya. Bukankah sudah didalilkan bahwa di negara Pancasila tidak ada larangan orang menjadi kaya, termasuk PNS, asalkan saja tidak memperdagangkan jabatan?

  7. Untuk para pejabat negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tirulah cara orang Amerika Serikat. Mereka kaya dulu, baru terjun ke dunia politik demi negara dan bangsanya. Tidak seperti di Indonesia: berjuang di bidang politik bermodal dengkul, kemudian baru berniat hendak kaya setelah menjadi pejabat negara. Apalagi, bekerja belum apa-apa, sudah ribut soal gaji.

  8. Sumber kebocoran dana pemerintah adalah model proyek-proyekan. Segala jenis pekerjaan diproyekkan. Proyek-proyekan tersebut menyebabkan administrasi negara biaya tinggi. Kembali saja ke sistem dulu. Semua jenis pekerjaan, sepanjang masih dapat dilakukan secara swakelola oleh instansi yang bersangkutan, tidak memerlukan model tender, mark-up biaya, sistem upeti, dan sebagainya.

  9. Menaikkan gaji PNS dengan belanja negara yang ada saat ini masih memungkinkan, asalkan ada kesediaan memangkas pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu, meniadakan perjalanan dinas di dalam negeri ataupun ke luar negeri yang tidak perlu, memaksimalkan efisiensi di segala bidang, meniadakan upacara hura-hura, mengurangi kegemaran membangun tugu, patung, gapura, dan lain-lain, mengganti kendaraan dinas mewah dengan kendaraan komersial, mengurangi kegiatan rapat di hotel mewah, dan membasmi habis penilap pajak. Dan masih ada ribuan tindakan yang bisa dilakukan.

Pada prinsipnya, menaikkan gaji PNS itu wajib hukumnya. Dan jika beberapa hal di atas dilakukan, kenaikan gaji tadi akan produktif.

MARTONO MODJO
Kota Madya Depok

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus