Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari masih belia di gurun pasir Nevada, Amerika Serikat. Jarum jam menunjukkan pukul 07.30 ketika para analis komputer Amerika melihat gerakan mencurigakan pada layar komputer mereka. Dari bunker tanpa jendela itu, mereka memperbesar gambar konvoi mobil yang sedang menuju ke wilayah barat Libya.
Pada saat yang sama, sekitar 9.600 kilometer dari Nevada, sebuah pesawat tanpa awak MQ1 milik Negeri Abang Sam terus berputar di langit Sirte, kampung halaman bekas diktator Libya, Muammar Qadhafi. Pesawat ini dilengkapi senjata berat dan dikendalikan satelit. Tak lama kemudian, seorang pengendali pesawat mendapat perintah menyerang konvoi itu.
Tak jauh dari Sirte, sebuah pesawat AWAC milik NATO terbang melintasi Laut Mediterania memperingatkan dua jet tempur Prancis bahwa konvoi mobil para pengikut setia Qadhafi berusaha meninggalkan Sirte. Ketika konvoi melaju ke arah barat, sebuah peluru Hellfire ditembakkan dari MQ1. Peluru menghantam mobil terdepan. Konvoi 20 mobil itu mengubah arah setelah mobil terdepan hancur. Mereka berpencar menjadi rombongan-rombongan kecil.
Tembakan itu baru menyadarkan pasukan Pemerintah Transisi Libya (NTC) bahwa para pengikut Qadhafi sedang melarikan diri. NTC pun mengirim pasukan bersenjata ringan untuk mengejarnya.
Beberapa saat kemudian, jet tempur Prancis mendapatkan izin menyerang. Pilot meluncurkan dua peluru kendali GBU-12. Peluru menghantam bagian tengah konvoi. Lusinan mobil terbakar. Puluhan orang terkapar, salah satunya Qadhafi.
Serangan udara pada 20 Oktober 2011 tersebut pun mengakhiri hidup bekas diktator Libya yang nyentrik itu. Namun kematian Qadhafi masih menyisakan tanda tanya. Bagaimana rencana pelarian itu bisa terbongkar?
Seperti dikutip The Telegraph, badan intelijen Afrika Selatan sedang menyelidiki keterlibatan satu perusahaan jasa keamanan asal Inggris. Perusahaan ini diduga bekerja sama dengan sebuah kelompok asal Afrika Selatan dalam merekrut serdadu bayaran. Misinya membantu Qadhafi melarikan diri.
Penyelidikan ini memicu ketegangan hubungan antara London dan Pretoria. Sudah lama Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma memang berseberangan dengan Barat atas keterlibatan mereka di Libya. Zuma menuding negara-negara Barat memaksakan perubahan rezim secara ilegal di Libya.
Menurut badan intelijen Afrika Selatan, awalnya perusahaan itu disewa Qadhafi untuk membantunya keluar dari Libya. Tapi perusahaan itu diduga bertindak sebagai "agen ganda" dengan menunjukkan posisi konvoi mobil Qadhafi kepada NATO.
Seorang intel senior Afrika Selatan mengatakan pihaknya sedang menyelidiki seorang perempuan di Kenya yang diduga merupakan perekrut serdadu bayaran asal Afrika Selatan.
Tak kurang dari 50 serdadu bayaran—19 di antaranya warga Afrika Selatan—dilaporkan memasuki Libya dengan perintah membawa Qadhafi keluar dari Sirte dan menyeberangkannya ke Niger. Mereka adalah serdadu terlatih yang pernah terlibat dalam sejumlah operasi di Afrika. Beberapa serdadu itu bekas anak buah Simon Mann, mantan perwira pasukan khusus Inggris (SAS) dalam "kudeta Wonga" saat menggulingkan diktator Republik Equatorial Guinea pada 2004.
Danie Odendaal, bekas polisi Afrika Selatan yang ikut dalam misi Libya, mengaku tiba di Sirte sehari sebelum Qadhafi ditangkap. Saat itu ia yakin dapat membawa Qadhafi keluar dari Libya secara diam-diam atas izin NATO. "Kami semua percaya mereka (NATO) menginginkan dia (Qadhafi) keluar dari Libya," ujar Odendaal seperti dikutip surat kabar terbitan Afrika Selatan, Rapport, edisi 4 November 2011.
Ia mengaku menyaksikan percakapan antara perekrutnya dan Qadhafi. Mantan diktator yang berkuasa selama 42 tahun itu mengatakan ingin tinggal di negeri yang hangat, seperti gurun pasir di Afrika Selatan. Tentu saja ia ingin tetap tinggal di dalam tenda seperti di negaranya.
Untuk melancarkan misi itu, sejumlah pesawat telah disiagakan di Bandar Udara Lanseria, Johannesburg, Afrika Selatan, dan di Sharjah, Uni Emirat Arab. Pesawat-pesawat itu menerbangkan para serdadu bayaran Afrika Selatan dan keluarga Qadhafi begitu misi selesai.
Namun misi itu gagal total. Odendaal menduga perusahaan yang menerima kontrak dari Qadhafi itu "menjual" mereka kepada NATO. "Itu pesta-pora yang memalukan," ucap Odendaal tentang perayaan atas kematian Qadhafi.
Seorang praktisi sektor pengamanan pribadi punya pendapat lain. Ia menilai orang-orang yang terlibat dalam misi itu tak cakap. "Formasi konvoi dan cara mereka meninggalkan Sirte jelas sekali dibuat agar gagal. Seseorang dibayar untuk melindungi dia (Qadhafi) dan pada saat yang sama menyerahkan dia," ujarnya.
Ia mengatakan perusahaannya pernah didekati perusahaan Afrika Selatan untuk mendukung dan menyediakan asuransi bagi sekelompok orang Libya dalam misi itu. Tapi mereka menolaknya. "Orang-orang ini melawan sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kami tidak mungkin membantunya."
Chris Greyling dari Asosiasi Keamanan Pan-Afrika mengatakan sanksi bagi mereka yang terbukti terlibat akan sangat mengerikan. "Perusahaan yang terbukti terlibat membantu pemerintah tidak sah untuk menentang NATO akan hancur," kata Greyling.
Namun NATO menyatakan tidak tahu-menahu Qadhafi berada dalam konvoi tersebut. Duta Besar Amerika Serikat untuk NATO, Ivo Daalder, mengatakan, dalam tujuh bulan terakhir, pesawat NATO telah mengawasi mobil-mobil dan unit militer milik Qadhafi serta menyerang mereka begitu bergerak melawan warga sipil. "Orang kami melihat sebuah konvoi bergerak keluar dari Sirte dan menyerangnya," kata Daalder.
Setelah gagal menyelamatkan Qadhafi, kelompok asal Afrika Selatan itu kini melindungi putranya, Saif al-Islam, yang digadang-gadang menjadi penerus Qadhafi. Saif dan saudara lelakinya, Mut'assim, setia mendampingi ayahnya sejak menyingkir dari Tripoli dan sejumlah tempat persembunyian di Sirte. Mut'assim tewas bersama Qadhafi dalam serangan itu.
Hubungan antara kelompok asal Afrika Selatan itu dan Qadhafi sudah terjalin lama. Kelompok ini menyediakan instruktur untuk melatih pasukan pengawal Qadhafi dan menangani pelbagai transaksi keuangan untuk Qadhafi.
Dua bulan silam, mereka dituduh terlibat memindahkan sejumlah besar aset Qadhafi berupa emas, uang dalam pecahan mata uang asing, dan berlian ke sebuah bank di Niamey, Niger. Sekelompok orang asal Afrika Selatan juga terlibat membantu istri Qadhafi, Safia, dan putrinya, Aisha, serta kedua anak Qadhafi, Hannibal dan Mohammed, melarikan diri ketika pemberontak menyerang Tripoli.
Sapto Yunus (Reuters, The Telegraph, Beeld.com)
Menjalin Lobi demi Investasi
Perusahaan-perusahaan asing kini berlomba menanamkan investasinya di Libya selepas rezim Muammar Qadhafi jatuh. Libya membutuhkan dana segar untuk membangun kembali negaranya setelah porak-poranda oleh perang.
Sepekan sebelum Qadhafi tewas, delegasi 80 perusahaan Prancis mendarat di Tripoli untuk bertemu dengan Pemerintah Transisi Libya (NTC). Akhir Oktober lalu, giliran Menteri Pertahanan Inggris Philip Hammond mendesak perusahaan-perusahaan Inggris "menyerbu" Libya.
"Perusahaan-perusahaan Inggris punya komitmen kuat membantu NTC dan pemerintah baru Libya dalam membangun kembali negeri itu," demikian pernyataan dari Departemen Perdagangan dan Investasi Inggris (UKTI).
UKTI memperkirakan nilai kontrak berbagai sektor di Libya—dari sektor minyak, gas, pendidikan, hingga konstruksi—mencapai 200 miliar pound sterling (setara dengan Rp 2.840 triliun) dalam satu dekade ke depan. Namun NTC menyatakan tak akan ada kontrak baru sampai pemilihan umum pada kuartal pertama tahun depan.
Sejumlah perusahaan minyak asing, seperti Shell dan BP, sudah mengadakan pertemuan dengan NTC. Demikian pula dengan perusahaan konstruksi dan energi asal Eropa dan Amerika.
"Libya membutuhkan semuanya: perbankan dan jasa keuangan, rumah sakit dan klinik, jalan raya dan jembatan, serta infrastruktur untuk energi dan industri perminyakan," ujar Presiden dan CEO Kamar Dagang Nasional AS-Arab, David Hamod.
Bahkan perusahaan minyak asal Italia, Eni SpA, telah merundingkan kontraknya dengan NTC. Eni SpA adalah investor asing terbesar di Libya yang beroperasi di negeri itu sejak 1953. Menurut Direktur Eni SpA, Giuseppe Recchi, perusahaannya terus menjalin kontak dengan NTC untuk menjamin proyeknya tidak hilang.
Salah satu pesaing terberat Eni adalah perusahaan minyak asal Prancis, Total, dan ExxonMobil dari Amerika. Sekitar 2,5 persen produksi minyak Total di seluruh dunia berasal dari Libya. Sedangkan ExxonMobil telah menanamkan investasinya senilai US$97 juta pada Februari 2008.
Analis energi dan pertahanan di Institute for International Affairs, Roma, Nicolo Sartori, mengatakan para investor asing tak perlu khawatir kehilangan kontraknya karena dilindungi hukum internasional.
Sapto Yunus (Reuters, Bloomberg, The New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo