DI Boston, seorang rekan berbelanja sepatu buatan Indonesia di sebuah supermarket Lechmere. Ketika sang penjaga toko tahu bahwa sang pembeli datang dari Indonesia, ia berkomentar, ''Pemerintah Anda sangat keterlaluan memperbolehkan pengusaha membayar buruh tidak lebih dari satu dolar untuk produk mahal seperti yang Anda pegang.'' Komentar spontan itu entah bergurau atau sinis membuat saya trenyuh. Nasib buruh adalah nasib Sumarah dari Jawa Tengah. Dari keluarga miskin, orang tuanya hanya seorang buruh tani, yang tak memiliki sejengkal tanah pun. Daripada tidak bekerja di desa, ia pun hijrah ke Jakarta untuk bekerja. Dan akhirnya ia terdampar di sebuah pabrik sepatu di Tangerang. Bersama delapan kawan buruh wanita lainnya, ia tidur berdesak di sebuah bilik kecil yang pengap berukuran hanya 3 x 4 meter. Maksud hati ingin membantu orang tua dan adik-adik yang ada di desa, tetapi Sumarah berjuang habis-habisan hanya untuk mempertahankan hidupnya sendiri secara fisik. Ia harus bekerja ekstrakeras tetapi upahnya tetap tidak mencukupi kebutuhannya yang paling dasar. Sumarah akhirnya hidup dan tenggelam di belantara Jakarta dan terkepung ''air bah'' yang sudah menenggelamkannya sebatas leher. Di pabrik yang sama, Pak Broto, profesional setengah umur, mendapatkan gaji 250 kali lebih besar dari dirinya. Tetapi Sumarah tidak tahu hal itu. Yang dipikirkannya hanyalah bagaimana dari hari ke hari harus mempertahankan hidup dan harus memilih makanan paling hemat, murah, dan sesuai dengan upahnya. Sekali salah memilih, ia harus siap tidak makan esok harinya. *** Ketika menetapkan KUM (ketentuan upah minimum), Pemerintah membuka peluang perkecualian bagi pengusaha yang belum mampu membayar sesuai dengan standar upah yang sebenarnya sangat rendah. Banyak pengusaha yang berusaha mendapatkan perkecualian dari Pemerintah, tetapi naif sekali mereka datang dengan mobil mewah BMW, Mercedes, atau Volvo. Pengusaha-pengusaha ini berusaha memelas karena merasa tidak dapat membayar standar KUM yang hanya Rp 2.500 tersebut. Fantastis sekaligus naif, pengusaha-pengusaha sangat kaya dengan gaji ratusan kali gaji buruhnya tidak mampu membayar upah sebatas KUM yang sebenarnya sangat rendah. Ini terjadi karena posisi tawar buruh sangat lemah dan reprentasi yang selama ini bisa memperjuangkan secara terbatas berada di pundak Pemerintah. Meskipun eksistensi SPSI sangat diakui, dalam formatnya sebagai wadah tunggal masih berada dalam posisi ''terkooptasi'', sehingga perkembangan upah sangat tersendat. Bahkan, secara relatif jika dibandingkan dengan perkembangan indeks harga-harga upah riil buruh di berbagai sektor dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini terus mengalami penurunan. Sistem ekonomi, khususnya sektor industri, secara terselubung sebenarnya disubsidi oleh buruh. Kaum pekerja ini membayar mahal dengan pengorbanan upahnya yang rendah. Buktinya, industri kita tumbuh dalam desimal dua digit, suatu pertumbuhan yang dianggap sangat pesat. Tetapi upah buruh nominal paling- paling tumbuh hanya 25 persen, sehingga upah riilnya menurun. Paradoks buruh dengan pengusahanya tidak saja terlihat secara stereotipikal dari gaya hidup yang sangat senjang. Di pabrik- pabrik yang bonafide sekalipun, rasio gaji tertinggi dan terendah luar biasa senjangnya, bahkan mencapai 200 : 1. Temuan studi peneliti Akatiga Bandung ini mengesankan bahwa Pemerintah kurang bisa mengendalikan keadaan dan kurang memperhatikan nasib buruh secara lebih realistis. Polarisasi di lapangan sudah di luar batas kemanusiaan, sehingga mengesankan banyak pengusaha berperilaku sebagai economic animal. Pada tahun 1992 ini Pemerintah berusaha menaikkan upah minimum berdasarkan KHM (kebutuhan harian minimum) karena standar berdasarkan KFM (kebutuhan fisik minimum) sudah dianggap tidak layak lagi. Jika dibuka prioritas, pasti banyak pengusaha yang datang untuk minta perkecualian. *** Mohammad Hatta sudah puluhan tahun yang lalu berbicara tentang perlunya membatasi rasio gaji yang tidak terlalu senjang antara manajemen tertinggi dan pekerja terendah di suatu organisasi pemerintah. Pembatasan ini penting untuk disimak kembali tidak hanya dalam organisasi pemerintah, tetapi juga dalam perusahaan swasta, yang menggaji para buruhnya begitu rendah. Upaya normatif seperti ini sering dianggap bertentangan dengan usaha untuk meningkatkan produktivitas, khususnya dari kalangan pengusaha. Bahkan jika para buruh protes karena upahnya dinilai terlalu rendah, tudingan subversif pun tertuju kepada mereka karena dianggap mengancam ekonomi nasional. Jika pengusaha mempunyai niat baik, pasti didapatkan titik temu, di mana produktivitas optimal tercapai tetapi kehidupan buruh bisa lebih sejahtera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini