KENYATAAN bahwa makin banyak pengusaha Indonesia menanam modal di bidang manufaktur di Cina mungkin membuat Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi kita menjadi gusar. Di Shenzen, sebuah export processing zone dekat Hong Kong dan Guangzhou, kabarnya, konsentrasi modal terbesar datang dari pengusaha Indonesia. Susah-susah Pak Sanyoto merayu pemodal asing datang ke Indonesia, eh, pemilik modal Indonesia malah membawa uangnya ke luar negeri. Pak Abdul Latief mungkin juga bingung mencari kalkulator yang lebih canggih untuk mencari jawab: apakah ongkos membuat sepatu di Shenzen lebih murah daripada di Tangerang? Bukankah pekerja Indonesia lebih punya dexterity (keterampilan tangan) yang lebih baik, dan juga lebih mudah diatur? Oke, sekarang mari kita dengar cerita dari Cina. Baru-baru ini pabrik kamera Canon di Zhuhai, Cina (dekat Macao) terpaksa mengalami penutupan sementara karena unjuk rasa yang dilakukan 1.000 karyawannya. Karyawan menuntut kenaikan upah yang tak kepalang tanggung: 30-50% dari upah dasar. Padahal, mereka yang unjuk rasa itu adalah orang yang tiga tahun sebelumnya berdesakan di depan pintu pabrik untuk memperoleh kerja. Reformasi ekonomi di Cina mulai menampakkan wajah buruknya. Tingkat inflasi di kota besar Cina per tahun melampaui 10%.] Dengan tingkat inflasi sebesar itu, gaji yang dianggap mencukupi oleh karyawan tiga tahun lalu sudah menjadi tekor pada saat ini. Kejar-kejaran antara nilai tukar yuan dan valuta asing pun kian menyeramkan. Dari 5,7 yuan per dolar pada awal tahun ini, kini sudah melampaui angka 8. ''Dengan makin matangnya pasar tenaga kerja di Cina, gejala yang pasti bakal menyertai adalah meningkatnya gerakan kaum pekerja,'' kata seorang analis penanaman modal, seperti dikutip The Asia Wall Street Journal Weekly. Analis itu juga menambahkan bahwa dengan makin banyaknya penanam modal membuka pabrik di Cina, kaum pekerja Cina akan makin pilih-pilih dan makin menuntut. Mobilitas tenaga kerja juga pasti akan menjadi gejala baru di Cina. Transisi dari sosialisme ke sistem yang lebih berorientasi pasar di Cina rupanya baru menyadarkan kelas pekerja bahwa jaminan negara ''sejak dari ayunan ke kuburan'' telah menjadi masa silam. Tahun lalu pemerintah Cina membayar sekitar US$ 7,5 miliar untuk menanggung beban perusahaan milik negara yang merugi. Bagaimana tidak merugi? Selama ini perusahaan-perusahaan negara itu menjamin perumahan, kesehatan, pensiun, dan berbagai fringe benefits bagi karyawannya. Mana mungkin hal yang sama akan bisa dipenuhi oleh perusahaan baru yang sepenuhnya didikte oleh mekanisme pasar? Ambil contoh gaji karyawan Canon di Zhuhai itu. Upah dasar mereka adalah 600 yuan sebulan. Kalau kita pakai nilai tukar awal 1993, artinya upah dasar mereka sekitar US$ 100 sebulan. Sebuah angka yang jelas membuat karyawan Indonesia cemburu. Dengan sewa kamar yang rata-rata 350 yuan sebulan, karyawan yang membawa pulang 600 yuan hanya punya 250 yuan untuk dihemat guna keperluan makan, pakaian, dan sedikit hiburan. Tak ada lagi yang tinggal untuk ditabung. Pada saat yang sama, perusahaan milik negara baru saja meningkatkan gaji karyawannya dengan tambahan 100 sampai 200 yuan sebulan untuk menolong karyawannya hidup dalam tingkat inflasi tinggi. Rata-rata gaji karyawan di perusahaan negara kini mencapai 1.000 yuan. Kenyataan ini memberi tekanan tambahan bagi pabrik swasta yang baru berdiri. Akankah pemodal asing menyerah terhadap tuntutan kaum pekerja Cina? Ini kemungkinan yang sungguh kecil. Soalnya, mereka datang ke Cina dengan iming-iming upah tenaga kerja yang rendah. Perubahan sebesar 30-50% terhadap elemen biaya karyawan bukanlah suatu hal yang remeh-temeh terhadap bisnis secara keseluruhan. Beberapa pemodal asing sudah mulai menerapkan suatu cara baru untuk menghadapi keadaan ini. Yaitu, merekrut buruh dari daerah pedalaman. Orang dari pedalaman tidak terlalu pilih-pilih, dan tidak terlalu menuntut. Tetapi, ini pun bukannya tanpa masalah. Pertama, karena mereka harus disediakan semacam asrama. Kedua, mereka memerlukan kurva belajar untuk bisa terampil dalam pekerjaan yang diberikan. Ketiga, segera setelah terampil, mereka mulai tidak sungkan menuntut. Cina memang tidak lagi menarik sebagai tempat investasi untuk industri manufaktur. Kecuali bila proyek itu untuk mengolah bahan baku yang memang adanya di situ. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini