TAMBAH hari akan tambah jelas mana pungli, mana setengah pungli,
mana pungli (pungutan jinak), nana behas pungli. Akan lebih
jelas mana pungutan berlandaskan gotong royong murni, mana
pungutan berkedok gotong royong dan musyawarah.
Opstib telah menjebak pelaku pungli di jembatan timbangan, di
kantor imigrasi, di terminal bis. Di kantor imigrasi Jakarta
surat kabar memuatnya lengkap dengan foto wanita yang membayar
Rp 4.500 di atas tarip resmi untuk paspor di terminal bis,
dimuat foto seorang ibu yang serta merta mendapat cuti hamil.
Kasus-kasus akan susul menyusul dari propinsi ke propinsi.
Suasana baru ini menyegarkan.
Juga menyegarkan bahwa surat berkelakuan baik dan surat jalan
akan dihilangkan, lenyap dari peredaran. Bijasana sekali. Tokh
pemerintah tidak pernah mengeluarkan Surat Berkelakuan Buruk.
Orang yang memerlukan akhirnya mendapat melalui pengorbanan
waktu, uang dan membungkuk-bungkuk. Surat jalan juga demikian.
Malah tanpa masalah pungli, surat-surat demikian seyogyanya
tidak diperlukan. Perihal surat berkelakuan baik, apakah kita
mempunyai asumsi dasar bahwa manusia Indonesia itu pada
hakekatnya buruk dan jahat, sehingga tiap kali perlu dibuktikan
dengan stempel bahwa dia itu baik? Sebagai warga negara,
seyogyanya orang mempunyai hak yang penuh untuk bepergian dari
satu propinsi ke propinsi lainnya. Mengapa diperlukan belas
kasihan pejabat untuk bepergian? Partisipasi pejabat terlalu
besar.
Dengan tidak disadari, dalam praktek berlangsung diskriminasi.
Slamet, umur 16 tahun, pekerjaan buruh tani di desa Sumber
Rejo, mengurus keberangkatannya ke Banjarmasin. Maksudnya di
sana menjadi pembantu rumah tangga. Ongkos perjalanan sudah ada.
Tetapi mengurus surat pindah, surat jalan dan surat berkelakuan
baik, setengah mati. Banyaknya makan waktu di luar dugaan. Dia
mcrunduk-runduk menglladap Pak Dukuh, membungkuk-ungkuk di
Kantor Kelurahan, di Kantor Kecamatan, di Kantor Koramil, di
Kantor Polisi.
Ongkos psikhis yang perlu dibayar Slamet besar sekali. Ada
kalanya dia takut. Ada kalanya menunggu dan menunggu. Untung dia
sudah belajar sabar, walaupun habis pula ratusan rupiah untuk
sumbangan administrasi dan pcngisi perut sekedarnya. Apa boleh
buat. Waktu dia membeli karcis kapal di Surabaya, surat jalan
itu memang diperlukan.
Berbeda dengan elite. Drs. Rajab, seorang dosen di Surabaya,
pergi ke Banjannasin memberi ceramah. Untuk membeli tiket
Garuda, Surat jalan tidak diperluhan. Tidak perlu menghadap Pak
RT, Pak Camat dan ke Kantor Polisi. Untuk hotel, surat ijin
mengendara sudah cukup sebagai pengenal.
Pada bulan Agustus 1977, ketika pungli tiap hari muncul di
koran, Sutarso mengurus paspor. Diperlukan surat berkelakuan
baik dan surat jalan dari Kelurahan, ditanda-tangani oleh
kalangan Kecamatan, Korarnil dan Komsek. Tapi punya ekstra,
sifatnya non-pungli: perlu diisi keanggotaan parpol. aka
terjadi tanya jawab.
- Pak, saya tidak anggota parpol.
- Baik, tapi ini harus diisi. Pemilihan umum yang lalu, pilih
apa?
- Wah, itu kan rahasia Pak.
- Betul, tapi harus dicantumkan di sini.
- Tapi kan jelas Pak, saya kan anak pegawai.
- Ya, tapi perlu dicantumkan.
Akhirnya Sutarso sadar betul bahwa dialog tidak berguna. Ruginya
saja yang ada.
- Saya memilih X.
- Betul memilih X?
- Betul Pak.
Urusan Sutarso selesai pada tahap ini. Nanti mengurus fiskal.
Dia tidak habis pikir. Tiga bulan yang lalu dia mencoblos secara
bebas dan rahasia di pedukuhan. Sekarang, -ntuk keperluan
paspor, yang dipilihnya harus diterangkan. Rahasia rupanya hanya
untuk sementara. Pikir Sutarso: mudahmudahan lain kali surat
jalan tidak diperlukan lagi. Mudah-mudahan apa yang dicoblos
tidak diperiksa lagi. Ini tidak kalah parah dari pungli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini