BAGAIMANA kita mengukur suksesnya KTT Nonblok? Jumlah delegasi yang datang, persidangan yang tertib, keamanan yang baik, resolusi yang dikeluarkan dengan nama Jakarta Message, memang dapat dinilai sebagai indikator-indikator sukses. Namun, apa yang mesti dikerjakan tiga tahun mendatang di mana Indonesia menjadi pimpinan gerakan? Atau lebih tajam lagi, apakah ada hubungan KTT Nonblok dan gerakan Nonblok dengan dunia nyata tempat umat manusia hidup? Jawabannya untuk sebagian mungkin bisa didapat dari pemahaman tentang bagaimana politik dan ekonomi dunia berlangsung. Para ahli hubungan internasional suka menyederhanakan pemahaman itu dengan sebuah penamaan, World Order atau Orde Dunia. Namun, Stanley Hoffmann, ahli politik internasional, bergegas mempertanyakan konsep itu, yang menurut dirinya lebih merupakan delusions atau kepercayaan yang keliru. Ia menyatakan bahwa yang terjadi dalam politik dan ekonomi dunia setelah runtuhnya komunisme dan sosialisme di mantan Uni Soviet dan Eropa Timur adalah kini setiap negara harus memperhitungkan pengaruh dari dua faktor. Yang pertama adalah berlangsungnya perekonomian kapitalis dunia. Ekonomi kapitalis dunia ini membatasi kebebasan domestik dan eksternal bagi manuver negara-negara, atau nation state. Bila suplai energi terganggu, berbagai dislokasi akan terjadi pada alokasi sumber-sumber "nation state". Karena itu pula terjadi perbedaan reaksi dunia dalam intervensi terhadap Irak yang menduduki Kuwait (suplai energi) dengan intervensi yang amat terbatas terhadap Yugoslavia dalam agresi atau kekejaman terhadap Bosnia dan Hercegovina. Hal kedua adalah fenomena dunia yang menyaksikan rakyat yang jauh lebih bergejolak. Apakah Aljazair atau Uzbekistan, maupun Brasil dan Korea, rakyat menuntut hal-hal seperti partisipasi dalam public affair, redistribusi kekayaan dan pendapatan. Dua fenomena itu agaknya sulit diabaikan, betapapun idealnya "Jakarta Message". Tuntutan Nonblok di bidang ekonomi yang mencakup utang luar negeri, tuntutan politik tentang tidak adilnya susunan Dewan Keamanan PBB, concern dan sikap ingin bekerja sama memberantas kemiskinan dan kemelaratan, kesemuanya tidak muncul dalam ruangan hampa udara. Ia harus berhadapan dengan fakta bahwa akumulasi kapital membagi-bagi dunia, tidak sesederhana pengertian nation state, bahkan superpower sekalipun. Bobby Fischer, si pecatur eksentrik, punya alasan untuk mencemooh ancaman Amerika Serikat atas ekshibisi catur yang diselenggarakan dengan Boris Spassky di Yugoslavia. Pandangannya tidak bisa dilihat sebagai anti Bosnia-Hercegovina. Ia mempermasalahkan kemunafikan PBB dan Amerika Serikat dalam melihat berbagai persoalan di muka bumi. Lain ancaman terhadap Yugoslavia, lain pula keengganan mematuhi resolusi Dewan Keamanan tentang Palestina. Kapitalisme Dunia dengan demikian harus memperhitungkan fenomena-fenomena MNC (Multi National Corporation) dan Konglomerasi di negara-negara maju dan negara-negara sedang berkembang berikut kompetisi dan koordinasi serta konflik dan aliansi di antara mereka. Pemahaman tentang MNC dan Konglomerat yang jitu akan mampu mendorong kita untuk memahami keunggulan militer Amerika Serikat, blok-blok ekonomi regional, dan keengganan Jerman dan Jepang untuk mengambil tanggung jawab politik dunia yang lebih besar. Barangkali persoalan pokok dalam menilai suksesnya KTT Jakarta bukan terdapat pada dokumen politik yang menunjukkan besarnya nilai ideal serta tingginya diplomatic craftsmanship sepanjang itu diukur dari kertas dokumen. Yang penting justru dataran operasional tempat gerakan ini mencoba untuk berfungsi. Basis hubungan dalam kapitalisme internasional adalah terbuka luasnya lalu lintas perdagangan, jasa-jasa dan modal di antara semua nation state dan antar-MNC dan konglomerasi, begitu rupa sehingga berlaku pemeo capital has no flag. Tepat bagi KTT Nonblok untuk mengadopsi hak-hak asasi manusia (HAM) dan demokratisasi. Resolusi KTT Nonblok yang ingin menggarisbawahi pengertian HAM itu sehingga tidak sekadar didikte dari "Barat" adalah hal yang wajar. Yang mesti diketahui adalah nilai-nilai HAM dan demokrasi bersifat universal dan tidak mengenal konsep "Barat" versus "Timur", atau "Nonblok" versus "G-7" atau Amerika Serikat. Pers yang bebas hanya punya satu makna. Kebebasan berekspresi cuma ada satu pengertian. Perlindungan terhadap warga negara terhadap otoriterisme "negara" bersifat sama dan sebangun, apakah di negara dengan pendapatan per capita US$ 570 ataukah negara dengan pendapatan per kepala US$ 10.000. Dunia menyaksikan perubahan-perubahan yang amat cepat. Third Move-nya Toffler ataupun Megatrend-nya Naisbitt berupaya menjelaskan itu. Tetapi pemahaman tentang hak seseorang atau kelompok orang, apakah di Yugoslavia atau Afrika Selatan, pengertiannya sama bagi setiap umat manusia. Di sini barangkali dirasakan keterbatasannya pengaruh KTT Nonblok. Karena, apakah kita mempersoalkan state souvereignty ataupun doktrin soft determination, turbulensi rakyat tampaknya akan semakin meningkat, menghantam setiap upaya mempertahankan situasi status quo yang hanya punya satu tujuan: mempertahankan kekuasaan politik dalam arti terbatas. Barangkali bila kita berbicara tentang constitutional government kita tidak cukup semata-mata mengacu pada berfungsinya lembaga-lembaga konstitusi secara formal belaka. Kita telah menyaksikan perubahan-perubahan drastis di berbagai penjuru dunia yang berlangsung di negara-negara yang puluhan tahun menjalankan pemerintahan konstitusional secara formal. Kita semua negara anggota Nonblok, pendek kata, membutuhkan proses integrasi terus-menerus yang hanya bisa berlangsung melalui peningkatan kesejahteraan, pemberantasan kemiskinan, penyelenggaraan demokrasi dan hak-hak asasi. Mampukah kita? Terpulang pada Anda, Warga Dunia!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini