BAYI kembar, tidak aneh. Tapi koran kembar? Ini sesungguhnya terjadi. Harian Sinar Pagi 31 Agustus terbit dengan dua versi. Wajah koran berusia 20 tahundan bertiras 80.000 itu hampir sama, tapi isinya berbeda. Susunan redaksi di kedua koran kembar itu juga berbeda. Ada redaksi Sinar Pagi (SP) yang dipimpin Bonaparte Siahaan, ada SP dengan redaksi baru yangdipimpin Silahusada A.S. Maka persoalan koran kembar itu pun jelas: ricuh dalam. Terjadi pertikaian antara kubu Bonaparte Siahaan dengan kubu wakil pemimpin redaksi Silahusada. Perselisihan berkobar sejak pemimpin redaksi Charly T.Siahaan (ayah Bonaparte) meninggal Agustus 1988. Selama empat tahun kemelut tak henti menggoyang SP. Pangkal pertikaian: rebutan kursi pemimpin redaksi(pemred) itulah. Sila, menurut orang dalam, sudah lama berambisi menjadi pemred. Tetapi ambisinya mentok karena Charly meninggalkan surat wasiat, mengangkat putranyaRendra Siahaan sebagai pengganti. Karena Rendra sibuk dengan usaha lain, kepemimpinan diserahkan kepada abangnya, Bonaparte Siahaan. Sila sebagai wakil pemred tak bisa menerima penyerahan itu. Tapi ia, yang konon tak disukai karyawan, tak mendapat dukungan. Menurut Redaktur PelaksanaGundar Banjarnahor, tabiat Sila tak terpuji. Ia pernah terlibat pemerasan. Paling akhir ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena penggelapan uang koperasi karyawan. Karena itu, Oktober 1989, ia dipecat dari jabatan wakilpemimpin redaksi/wakil pemimpin umum SP. Namun Sila berhasil mengantongi penunjukan menjadi pemred dari Departemen Penerangan pada 8 Agustus 1992. Dengan truf itulah ia menerbitkan SP kembartadi. Bagaimana ia memperoleh SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang "diperbarui" itu? Dasar pijakannya, putusan pengadilan atas gugatan JailaniSitohang awal tahun silam. Jailani berusaha memperoleh kembali haknya sebagai ketua dewan pendiri Yayasan Pers El Horas, yang menerbitkan SP (ia digeserCharly Siahaan, pada 1974). Gugatan ini dikabulkan pengadilan. Berbekal putusan itu Jailani sebagai ketua yayasan menunjuk Silahusada sebagai pemred, ia sendiri menjadi pemimpin umum. Dengan formasi ini SIUPPdiperbarui. Sementara itu, posisi Bonaparte menjadi lemah. Permohonannya untuk menjadi pemimpin redaksi ditolak Depen. Soalnya antara lain karena ia belumanggota PWI. Berbekal modal Rp 120 juta Sila menyewa kantor baru di kawasan Cipinang dan mendirikan redaksi baru. "Di dalam SIUPP tak tercantum alamat kantor SP kan?" kata Sila. Jadi, lanjutnya lagi, "Merekalah yang harus berbarismengikuti saya," ujarnya tertawa. Setelah ricuh koran kembar itu, Jumat pekan lalu Dirjen PPG memanggil kedua kubu. Pertemuan lima jam ini membuahkan kesepakatan. Silahusada tetap menjadipemimpin redaksi dan jabatan pemimpin umum -- dan pimpinan perusahaan -- diserahkan kepada Nyonya Syamsoeinar, janda almarhum Charly Siahaan. Jaelanitergeser lagi. Namun pertikaian belum selsai. Jajaran redaksi SP tak menerima keputusan itu. Alasan mereka tampaknya cukup jelas. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini