Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aris Setiawan*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAHLAN Iskan mencoba membuat gebrakan baru dalam berbahasa Indonesia. Lewat kanal media sosial miliknya bernama disway.id, ia mengusulkan penggunaan kata “nya” dan “nyi” yang merujuk pada jenis kelamin. Dalam unggahan berjudul “Oktober You”, 25 Oktober 2019, Dahlan berujar, “Kalau saya menulis ‘katanya’ berarti yang mengatakan adalah laki-laki. Sebaliknya, kalau saya menulis ‘katanyi’, berarti yang mengatakan adalah perempuan.” Hal tersebut berimplikasi pada kasus sejenis, misalnya “miliknya” untuk menyebutkan barang terkait adalah milik seorang laki-laki dan “miliknyi” untuk menyebut milik perempuan. Di samping itu, Dahlan merasa perlu membedakan kata “ia” dan “dia”. “Ia” merujuk pada keterangan laki-laki, sedangkan “dia” untuk perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlu diketahui bahwa disway.id saban hari dikunjungi-diakses lebih dari seribu orang, dibagikan di kanal-kanal media sosial lain, dan ditampilkan ulang di banyak koran lokal. Otomatis usul Dahlan itu menyedot perhatian publik secara luas dan mendapat respons beragam.
Apa yang dilakukan Dahlan timbul karena rasa prihatin saat bahasa Indonesia harus diterjemahkan ke dalam bahasa lain, terutama bahasa Inggris, yang sangat ketat memberikan batas keterangan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan. Karena itu, Dahlan menjelaskan bahwa langkahnya tersebut dilakukan demi masa depan bahasa Indonesia, agar karya-karya tulis Indonesia bisa mendunia, terutama lewat Google Translate, dengan terjemahan yang lebih akurat.
Harus diakui, seiring dengan waktu, penerjemahan bahasa Indonesia ke bahasa lain (terutama Inggris) lewat Google Translate kian baik kualitasnya, tapi masih ada beberapa masalah, terutama yang berkaitan dengan keterangan jenis kelamin. Dahlan mencontohkan, “Saya menulis ‘katanya’, diterjemahkan menjadi ‘he said’, padahal yang mengatakannya adalah perempuan.” Memang, selama ini, Google Translate masih dominan menggunakan kata “he” yang berarti laki-laki untuk menunjuk kata ganti orang ketiga, tidak peduli apakah sebetulnya yang dimaksud benar laki-laki atau perempuan.
Berawal dari hal tersebut, usul Dahlan tampak masuk akal, agar mesin penerjemah lebih presisi-akurat dalam melakukan pekerjaannya. Hanya, memang pengucapannya masih terdengar asing atau aneh, terutama menyangkut aksentuasi kata “nyi”. Walau demikian, sejak saat itu, Dahlan secara konsisten menggunakan kata “nya” dan “nyi” dalam setiap tulisan yang diunggah di kanalnya.
Lihatlah artikel berjudul “Tidak Pulang”, 30 Oktober 2019. Artikel tersebut berkisah tentang pertemuan Dahlan dengan beberapa tenaga kerja wanita Indonesia di Hong Kong. Dalam bahasannya, Dahlan menulis, “Umur sang juragan kini sudah 93 tahun. Kesibukan utamanyi main mahyong. Bandannyi segar. Ingatannyi sangat baik.” Kalimat itu hadir untuk menerangkan sosok majikan salah satu pekerja yang ditemuinya. Dahlan sama sekali tidak menyebutkan apakah majikan itu perempuan atau laki-laki. Namun, lewat penggunaan kata “nyi”, pembaca tahu bahwa majikan yang dimaksud adalah perempuan.
Apa yang dilakukan Dahlan bukan tanpa kritik. Kata “nya” dan “dia” selama ini juga digunakan sebagai kata pengganti untuk Tuhan atau Allah. Jamak dijumpai: “kepada-Nya kita berserah”, “sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu” (terjemahan Al-Mulk: 19), juga “Dia tidak beranak dan diperanakkan” (terjemahan Al-Ikhlas: 1-4). Apakah dengan demikian Tuhan memiliki jenis kelamin? Sebab, “nya” merujuk pada laki-laki, sementara “dia” merujuk ke perempuan. Lalu apakah Tuhan laki-laki atau perempuan? Apa jadinya jika kalimat itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris lewat mesin penerjemah? Apabila gagasan Dahlan secara serampangan diterapkan, bagaimana nasib penerjemahan Al-Quran yang selama ini masif menggunakan kata-kata itu? Masih perlukah menuliskan “nya” dan “Dia” untuk mengganti kata Tuhan atau Allah?
Hal ini menunjukkan bahwa persoalan bahasa Indonesia cukup kompleks, tidak cukup dengan sekadar memberikan penekanan--kebaruan--pada satu kata. Namun apa yang dilakukan Dahlan menunjukkan kepada kita bahwa bahasa memiliki jarak antara satu dan yang lain. Upaya memangkas jarak itu terus dilakukan untuk mempermudah pemahaman dan menjembatani kesetaraan arti. Kerja yang demikian bukan tanpa risiko. Hal itu harus dilakukan dengan banyak pertimbangan.
*) ESAIS, TINGGAL DI SOLO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo