Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Messiah

Berkali-kali riwayat manusia mengisahkan, dalam sebuah masa krisis yang meluas, ketika ketidakadilan dirasakan akut oleh seantero masyarakat, ketika tak tampak jalan keluar, selalu terbentuk percakapan tentang Keadilan (dengan “K”).

21 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Messiah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI yang ajaib itu 19 Mei 1824, atau 21 Ramadan 1751. Dalam otobiografinya Pangeran Diponegoro menulis bahwa di hari itu ia diminta datang ke Gunung Rasamuni oleh seseorang yang tak berumah tak beralamat. Ia perlu menghadap Ratu Adil. Orang itu siap menemaninya pergi.

Diponegoro pun berangkat. Sesampai di kaki gunung, pengantarnya tiba-tiba menghilang. Tapi di puncak Rasamuni ia lihat wajah yang bercahaya. Konon cahaya itu beradu terang dengan sinar matahari. Matahari meredup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Dan Diponegoro tak mampu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengenali atau melihat

Raut wajah Ratu Adil

yang bercahaya

mengalahkan matahari

 

Kisah ini mungkin tak benar-benar terjadi. Tapi siapa tahu. Saya lebih baik melihat sisi lain: di baliknya ada yang membayang, yakni sebuah krisis.

Berkali-kali riwayat manusia mengisahkan, dalam sebuah masa krisis yang meluas, ketika ketidakadilan dirasakan akut oleh seantero masyarakat, ketika tak tampak jalan keluar, selalu terbentuk percakapan tentang Keadilan (dengan “K”). Tapi selamanya tak pernah jelas.

Dengan kata lain, ketidakadilan adalah cerita yang amat panjang—dan di tengahnya Keadilan diseru, dicoba ditegakkan, acap dengan dendam, atau kalau tidak, dengan hasrat yang intens, bergejolak, dan kacau.

Dari sana datang imajinasi tentang Ratu Adil. Dalam tradisi Yahudi “Mashiach”, dari mana dikenal kata “Messiah”; dalam kepercayaan Buddhisme “Maitreya”; dalam Taoisme “Li Hong”.

Diponegoro, yang tak dapat mencerap wajah Ratu Adil yang bercahaya terlalu terang, akhirnya memainkan sendiri peran “Messiah” itu. Penulis sejarahnya, Peter Carey, mengatakan bahwa aristokrat yang memimpin pemberontakan hingga meletus Perang Jawa itu ”terpanggil menjadi ratu adil ketika menyaksikan Jawa yang semakin kehilangan harga diri” di bawah kekuasaan VOC. "Diponegoro tidak ditakdirkan menjadi ratu adil,” kata Carey dalam satu ceramah, “melainkan zaman yang memaksanya.”

Riwayat Diponegoro, seperti semua cerita Ratu Adil, heroik dan sekaligus tragik. Ia produk dari gagasan yang tak selesai tapi tak bisa menunggu. ”Keadilan, betapapun tak mungkinnya direpresentasikan, tak dapat menunggu,” tulis Derrida dalam Force de Loi (1994). “Keadilan adalah yang mesti tak menunggu.”

Yang jadi pertanyaan: apa yang terjadi jika Keadilan dirasakan tak bisa menunggu? Apa yang dilakukan jika sebuah masyarakat tak menunggu? Dari pemberontakan Diponegoro di abad ke-19 sampai dengan perlawanan terhadap kediktatoran di abad-abad berikutnya, kita menyaksikan serangkaian paradoks.

Lahirnya hasrat akan Ratu Adil menunjukkan itu. Di masyarakat yang amat tertekan “tak menunggu” berarti revolusi atau pemberontakan besar. Perjuangan perubahan itu selalu mengandung semacam messianisme—janji yang diberi nama “Kemerdekaan”, “Kebenaran”, “Keadilan”—yang dibayangkan akan melintasi waktu dan tempat. Tapi dalam aksi massa yang dipicu keadaan mendesak, selalu ada yang tak jelas. Cahaya sang Ratu Adil terlampau menyilaukan hingga rautnya tak bisa dilihat. Sang penunjuk jalan sudah menghilang di kaki gunung. Tak ada arah yang mudah. Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ditulis dengan urgen hingga tak menguraikan apa yang dimaksudkannya dengan “d.l.l.”. “Dan lain-lain” dalam teks itu tak spesifik. Tak ada program yang tersusun tentang yang akan dilakukan bangsa Indonesia setelah “pemindahan kekuasaan” ke tangan republik yang baru.

Derrida benar ketika ia berbicara tentang “ketergesa-gesaan” dalam menafsirkan janji messianik, terutama dalam revolusi. Keadilan diperlukan langsung, di lapangan, katanya, “seperti kegilaan yang merobek waktu dan tak peduli dialektika”. Tak ada jaminan, tak ada peraturan, tak ada institusi. Keadilan memanggil, dan panggilannya selalu melahirkan tindakan yang di luar ukuran, bak arus yang melimpah deras, débordement.

Sebab itu, dalam tiap perubahan sosial dan politik ada yang belum diringkas, belum ditata benar tentang bagaimana Keadilan diwujudkan. Tak dengan sendirinya itu melumpuhkan. Justru karena itu Keadilan, kata Derrida, selalu mengacu ke keadaan yang belum tercapai namun senantiasa melambai untuk dicapai—di kemudian hari. Keadilan selalu di masa depan, avenir, selalu akan datang, a venir. Ia tak pernah tampak berwujud pasti. “Kita harus mengatakan ‘mungkin’ tentang keadilan,” kata Derrida.

Juga tentang masa depan. Termaktub dalam kehadiran sang Ratu Adil adalah janji, dan janji selalu mengarah ke “kelak”. Umumnya kita mencoba menaklukkan kelak. Kita membuat sebuah garis batas di cakrawala dan mengganti “harapan” dengan prediksi.

Dengan demikian kita sebenarnya meletakkan masa depan sebagai penopang masa kini. Janji messianik pun tak lagi dianggap hanya janji. Ia—dan masa depan—diringkas sedemikian rupa hingga seakan-akan sudah terpenuhi dalam desain kita.

Tapi mustahil.

Derrida membedakan “masa depan” dengan l’avenir atau “kelak” yang sama sekali tak bisa kita duga, yang sama sekali tak bisa jadi proyeksi diri kita kini. Pembedaan ini perlu tapi berlebihan. Bagi saya, masa-yang-akan-datang, “kelak”, tak bisa kita kuasai karena ia tak pernah jernih; ia selalu mengandung hasrat masa kini, sebagaimana masa kini mengandung ingatan tentang masa lalu.

Itu sebabnya sejarah ketidakadilan bisa kita lihat sebagai cerita lama yang seakan-akan berlanjut dalam variasi yang besar. Itu sebabnya kita tiap kali seperti mengenali kembali sengsara Ayub: manusia yang disiksa Tuhan meskipun tak berdosa. Itu sebabnya kini kita mengikuti dengan asyik Game of Thrones (kisah tidak pastinya Keadilan di masa lalu yang fiktif) dan Justice League (kisah para pahlawan Keadilan di masa depan yang dibayangkan canggih tapi mencemaskan).

Dan kita dengarkan percakapan dua tokoh Justice League:

Diana Prince: Orang bilang tak akan pernah datang lagi zaman para pahlawan.

Bruce Wayne: Harus tetap datang.

Fantasi atau bukan, Messiah di masa lalu dan superhero Hollywood di masa kini mungkin bagian kehendak kita bertahan, dengan harap-harap cemas, karena ketidakadilan.

Goenawan Mohamad

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus