OBAHOROK, kepala suku dari lembah Baliem, telah menawan hati
saya. Dengan gagah dia telah tampil di Jakarta, kota
metropolitan yang angkuh itu. Dengan perkasa dia telah menghadap
presidennya, menghadiahkan pusaka-pusakanya dengan ikhlas,
menerimadan menghisap cerutu dari "kepala suku"-nya yang lebih
besar itu dengan gembira tanpa sikap nyrepepeh,
merunduk-runduk. Dengan penuh keyakinan-diri pula dia
mewejang rakyat Jakarta untuk jangan hidup berdesak-desak dan
pindah saja ke lembah Baliemnya yang luas.
Mang Usil dari Kompas menganggap ini sebagai isyarat sederhana
untuk bertransmigrasi. Saya melihatnya sebagai sikap besar dari
seorang pemimpin suku yang penuh welas melihat penderitaan suku
lain. Saya melihatnya sebagai kemurahan hati tanpa satu
keangkuhan dari seorang kepala suku yang tidak keder, tidak
terhardik oleh kemilau lampu neon dan kegarangan pencakar langit
Jakarta.
Dan di hotelnya, di mana dia mestinya bisa memesan nasi goreng
atau bacon and eggs dengan roti-bakar buat sarapan pagi, chicken
escallope atau nasi campur buat makan siang, dan filet mignon
dengan kentang ongklok buat makan malam, Obahorok memilih
menyantap tales. Di tengah kemilau "keindahan plastik" hotel
Marcopolo itu sang kepala suku dengan tenang tanpa rasa kurang
harga diri melahap tales dengan enaknya .....
****
Alangkah segar penampilan yang begitu. Alangkah berlainan dengan
penampilan sementara "pemimpin suku yang Iain" yang sering mesti
ber-raker atau ber-rapim di Jakarta. Begitu penuh dengan
kompleks-rasa yang mengherankan kadang-kadang. Dengan baju
safari yang terbuat dari worsted wool, mereka, "pemimpin suku
yang lain" itu, akan patentengan di lobby hotel-hotel besar yang
"bertaraf internasional" mencoba meyakinkan setiap orang (dan
lebih-lebih lagi: dirinya sendiri) bahwa mereka menginap di
hotel itu.
Kemudian mereka akan makan steak, baik untuk makan siang maupun
untuk makan malam, di restoran hotel yang mahal itu -- yang akan
jauh melebihi jatah pengeluaran uang harian mereka. Atau mungkin
mereka akan bersantap dan bersantai di restoran-restoran Cina
yang mewah dan mahal bersama "relasi" mereka.
Pagi atau sore hari mungkin mereka akan menyempatkan diri untuk
bermain golf. Lengkap dengan accessoriesnya mereka akan
mondar-mandir di lapangan sambil memukul dan berkongkow -- tak
ubahnya seperti Presiden Marcos dengan presiden kita. (Lho, main
golf "pemimpin suku kita yang lain" itu? Kenapa tidak. Saya
pernah melihat sebuah lapangan golf dibangun di satu ibu-kota
kabupaten kecil nun di pedalaman Sulawesi Selatan sana. Pemain
tetapnya konon cuma empat -- sang bupati dan empat orang
camatnya . . . ). Kemudian malam harinya? Mungkin dengan
mengendap-endap agar tidak ketahuan team opstib mereka akan ke
klabmalam untuk ber-ajojing atau mungkin ke pemandian-uap untuk
mengendorkan urat-urat mereka. Maklum, seharian habis raker
untuk suksesnya pembangunan negeri kita. Capek tenan, lho .... !
Kenapa penampilan Obahorok segar, penampilan "pemimpin suku yang
lain" tidak? Karena Obahorok tampil utuh dan wajar, sedang
"pemimpin suku yang lain" itu tampil berkeping-keping dan tidak
wajar. Dalam menghayati peranannya sebagai pemimpin suku,
Obahorok selalu konsisten menafsirkan peranan yang telah
digariskan komunitasnya. Yakni untuk selalu melihat hubungannya
dengan makhluk lain dan lingkungan lain dalam konteks jagad-nya
sendiri di lembah Baliem itu. Maka itu dia bebas menawarkan
undangan kepada rakyat Jakarta untuk pindah ke lembahnya,
bersikap gagah terhadap "pemimpin suku" yang lebih besar, dan
tidak merasa harus menggantikan menunya yang tales itu.
Sebaliknya, para "pemimpin suku yang lain" itu tidak konsisten
dalam menafsirkan peranan mereka karena mereka banting stir
begitu mereka bermain di atas panggung yang lain. Dalam
panggung baru yang bernama Jakarta itu para "pemimpin suku yang
lain" itu tiba-tiba merasa perlu menggeser konteks jagadnya
menjadi jagad Jakarta. Peranan yang digariskan oleh komunitas
mereka, mereka abaikan. Akibatnya, penghayatan peranan mereka
jadi kedodoran dan "over acting". Kena hardik kemilau lampu yang
"bertaraf internasional" mereka jadi grogy, jadi kecut, hingga
perlu penampilan yang berlebihan untuk penyesuaian peranan.
***
Apakah penggambaran begitu, adil? Mengkontraskan seorang
Obahorok dari jagad zaman-batu dengan "pemimpin suku yang lain"
dari jagad zaman-peralihan? Menghadapkan seorang aktor dari
panggung yang terbatas prop-nya dengan aktor dari panggung yang
sudah mulai memiliki kemungkinan prop yang lebih beragam?
Menghadapkan seseorang yang hanya tahu tales sebagai bahan
makanan pokok dengan seseorang yang sedikit-sedikit pernah
mencicipi "buah-khuldi"nya modernitas?
Saya kira persoalannya bukan pada sempit atau luasnya cakrawala
jagad itu. Tapi pada kesetiaan kepada cakrawala jagad itu.
Obahorok mungkin saja belum pernah melihat makanan-pokok selain
tales, tapi yang lebih penting adalah kesetiaannya kepada tales.
Hingga ia tidak melihat kepentingannya menggantikan dengan
makanan lain. Cakrawala komunitasnya adalah cakrawala tales.
Komunitasnya menggariskan peranan pemimpin-sukunya pada proporsi
dan konteks yang demikian. Kesetiaan Obahorok kepada tales
adalah kesetiaan kepada komunitas.
Sedang pada para "pemimpin suku yang lain" itu kesetiaan mereka
kepada cakrawala jagad mereka luntur begitu mereka menginjak
jagad Jakarta. Cakrawala komunitas mereka yang nasi gudeg, ikan
bakar, rendang dan soto-ayam itu ditarik tidak hanya pada steak,
tapi hingga jauh merembet pada embel-embel yang lain. Pada
accessores, uba-rampe gaya hidup hotel kosmopolitan yang jauh
di atas kemampuannya menampung ....
***
Jadi, lain kali ke rumah-makan Padang, warung Jawa Timur atau
gudeg bu Tjitro saja? Kenapa tidak. Format komunitas kita juga
format yang begituan saja 'kan? Untuk sementara, setidaknya!
Hidup Obahorok!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini