Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Obahorok

Pemimpin suku Lembah Baliyem, Obahorok, menghadap Presiden dengan gagah, ikhlas & penuh keyakinan diri. Di hotel, ia tetap makan tales kesukaannya. Penampilannnya jauh berbeda dengan para "kepala suku" lain.

9 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OBAHOROK, kepala suku dari lembah Baliem, telah menawan hati saya. Dengan gagah dia telah tampil di Jakarta, kota metropolitan yang angkuh itu. Dengan perkasa dia telah menghadap presidennya, menghadiahkan pusaka-pusakanya dengan ikhlas, menerimadan menghisap cerutu dari "kepala suku"-nya yang lebih besar itu dengan gembira tanpa sikap nyrepepeh, merunduk-runduk. Dengan penuh keyakinan-diri pula dia mewejang rakyat Jakarta untuk jangan hidup berdesak-desak dan pindah saja ke lembah Baliemnya yang luas. Mang Usil dari Kompas menganggap ini sebagai isyarat sederhana untuk bertransmigrasi. Saya melihatnya sebagai sikap besar dari seorang pemimpin suku yang penuh welas melihat penderitaan suku lain. Saya melihatnya sebagai kemurahan hati tanpa satu keangkuhan dari seorang kepala suku yang tidak keder, tidak terhardik oleh kemilau lampu neon dan kegarangan pencakar langit Jakarta. Dan di hotelnya, di mana dia mestinya bisa memesan nasi goreng atau bacon and eggs dengan roti-bakar buat sarapan pagi, chicken escallope atau nasi campur buat makan siang, dan filet mignon dengan kentang ongklok buat makan malam, Obahorok memilih menyantap tales. Di tengah kemilau "keindahan plastik" hotel Marcopolo itu sang kepala suku dengan tenang tanpa rasa kurang harga diri melahap tales dengan enaknya ..... **** Alangkah segar penampilan yang begitu. Alangkah berlainan dengan penampilan sementara "pemimpin suku yang Iain" yang sering mesti ber-raker atau ber-rapim di Jakarta. Begitu penuh dengan kompleks-rasa yang mengherankan kadang-kadang. Dengan baju safari yang terbuat dari worsted wool, mereka, "pemimpin suku yang lain" itu, akan patentengan di lobby hotel-hotel besar yang "bertaraf internasional" mencoba meyakinkan setiap orang (dan lebih-lebih lagi: dirinya sendiri) bahwa mereka menginap di hotel itu. Kemudian mereka akan makan steak, baik untuk makan siang maupun untuk makan malam, di restoran hotel yang mahal itu -- yang akan jauh melebihi jatah pengeluaran uang harian mereka. Atau mungkin mereka akan bersantap dan bersantai di restoran-restoran Cina yang mewah dan mahal bersama "relasi" mereka. Pagi atau sore hari mungkin mereka akan menyempatkan diri untuk bermain golf. Lengkap dengan accessoriesnya mereka akan mondar-mandir di lapangan sambil memukul dan berkongkow -- tak ubahnya seperti Presiden Marcos dengan presiden kita. (Lho, main golf "pemimpin suku kita yang lain" itu? Kenapa tidak. Saya pernah melihat sebuah lapangan golf dibangun di satu ibu-kota kabupaten kecil nun di pedalaman Sulawesi Selatan sana. Pemain tetapnya konon cuma empat -- sang bupati dan empat orang camatnya . . . ). Kemudian malam harinya? Mungkin dengan mengendap-endap agar tidak ketahuan team opstib mereka akan ke klabmalam untuk ber-ajojing atau mungkin ke pemandian-uap untuk mengendorkan urat-urat mereka. Maklum, seharian habis raker untuk suksesnya pembangunan negeri kita. Capek tenan, lho .... ! Kenapa penampilan Obahorok segar, penampilan "pemimpin suku yang lain" tidak? Karena Obahorok tampil utuh dan wajar, sedang "pemimpin suku yang lain" itu tampil berkeping-keping dan tidak wajar. Dalam menghayati peranannya sebagai pemimpin suku, Obahorok selalu konsisten menafsirkan peranan yang telah digariskan komunitasnya. Yakni untuk selalu melihat hubungannya dengan makhluk lain dan lingkungan lain dalam konteks jagad-nya sendiri di lembah Baliem itu. Maka itu dia bebas menawarkan undangan kepada rakyat Jakarta untuk pindah ke lembahnya, bersikap gagah terhadap "pemimpin suku" yang lebih besar, dan tidak merasa harus menggantikan menunya yang tales itu. Sebaliknya, para "pemimpin suku yang lain" itu tidak konsisten dalam menafsirkan peranan mereka karena mereka banting stir begitu mereka bermain di atas panggung yang lain. Dalam panggung baru yang bernama Jakarta itu para "pemimpin suku yang lain" itu tiba-tiba merasa perlu menggeser konteks jagadnya menjadi jagad Jakarta. Peranan yang digariskan oleh komunitas mereka, mereka abaikan. Akibatnya, penghayatan peranan mereka jadi kedodoran dan "over acting". Kena hardik kemilau lampu yang "bertaraf internasional" mereka jadi grogy, jadi kecut, hingga perlu penampilan yang berlebihan untuk penyesuaian peranan. *** Apakah penggambaran begitu, adil? Mengkontraskan seorang Obahorok dari jagad zaman-batu dengan "pemimpin suku yang lain" dari jagad zaman-peralihan? Menghadapkan seorang aktor dari panggung yang terbatas prop-nya dengan aktor dari panggung yang sudah mulai memiliki kemungkinan prop yang lebih beragam? Menghadapkan seseorang yang hanya tahu tales sebagai bahan makanan pokok dengan seseorang yang sedikit-sedikit pernah mencicipi "buah-khuldi"nya modernitas? Saya kira persoalannya bukan pada sempit atau luasnya cakrawala jagad itu. Tapi pada kesetiaan kepada cakrawala jagad itu. Obahorok mungkin saja belum pernah melihat makanan-pokok selain tales, tapi yang lebih penting adalah kesetiaannya kepada tales. Hingga ia tidak melihat kepentingannya menggantikan dengan makanan lain. Cakrawala komunitasnya adalah cakrawala tales. Komunitasnya menggariskan peranan pemimpin-sukunya pada proporsi dan konteks yang demikian. Kesetiaan Obahorok kepada tales adalah kesetiaan kepada komunitas. Sedang pada para "pemimpin suku yang lain" itu kesetiaan mereka kepada cakrawala jagad mereka luntur begitu mereka menginjak jagad Jakarta. Cakrawala komunitas mereka yang nasi gudeg, ikan bakar, rendang dan soto-ayam itu ditarik tidak hanya pada steak, tapi hingga jauh merembet pada embel-embel yang lain. Pada accessores, uba-rampe gaya hidup hotel kosmopolitan yang jauh di atas kemampuannya menampung .... *** Jadi, lain kali ke rumah-makan Padang, warung Jawa Timur atau gudeg bu Tjitro saja? Kenapa tidak. Format komunitas kita juga format yang begituan saja 'kan? Untuk sementara, setidaknya! Hidup Obahorok!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus