SEORANG warga Jakarta meninggal. Karena dia masih mempunyai
kampung di Jawa Tengah, keluarganya berniat menguburnya di
tempat kelahirannya. Maklum orang meninggal di Jakarta tidak
bisa tenteram lagi karena sering berhadapan dengan bongkar
pasang kuburan.
Dengan ambulans jenazah dibawa ke Jawa Tengah. Apa lacur, belum
sampai Cirebon, mobil ambulans tubrukan. Jumlah yang meninggal
jadi bertambah: sopir dan salah seorang keluarga jenazah.
Seluruh rombongan kembali lagi ke Jakarta, termasuk jenazah yang
urung dikubur, tambah dua mayat baru dan yang luka-luka. Akhir
cerita, tiga jenazah dikubur di Jakarta.
Tak Ada Kelas
Untuk Jakarta, orang mati dikubur menurut rayon dan tempat
tinggal. Biarpun begitu, ini bukan berarti jarak antara rumah
dan kuburan menjadi dekat. Hanya beberapa mayat saja di ibukota
republik ini yang diantar ke kubur dengan jalan kaki karena
jaraknya dengan tempat tinggal tak begitu jauh. Untuk
mengandalkan kebutuhan pada ambulans-ambulans rumah sakit
tampaknya tak mungkin. Sebab selain prosedurnya sering dirasakan
pemakainya terlalu berkelok-kelok, juga kerap mendapat jawaban
"kendaraan tak ada". Atau macam-macam alasan lain.
Karena itu adanya ambulans adalah hal yang mutlak bagi
perkumpulan kematian Yayasan Bunga Kamboja satu di antara
yayasan di Jakarta yang menyediakan ambulans mayat bagi para
anggotanya, kini telah memiliki 17 buah kenderaan (ambulans).
Rata-rata 15 buah selalu beroperasi setiap hari. "Untuk
pelayanan, kami pada prinsipnya tidak membedakan kelas sosial si
mati," kata Nyonya Dee Walandauw sekretaris yayasan tersebut.
Yang beda hanya pada peti mati, bagi jenazah yang mempergunakan
peti.
Setiap anggota berhak mendapat pelayanan ambulans. Demikian
pula untuk luar kota, hanya ditambah ongkos tentu saja. Sebelum
kenaikan harga BBM dikenakan tarip Rp 60 tiap kilometer. Ke luar
kota, misalnya ke Yogya, ditarik ongkos Rp 153.000, ke Surabaya
Rp 205.000 dan ke Bandung Rp 52.000. Ongkos menyeberang ke
Sumatera belum ditetapkan, tetapi hal itu toh bisa dirundingkan.
Karena kalau mempergunakan pesawat terbang, pasti jauh lebih
mahal. Bagi mereka yang ingin dikubur di Amerika Serikat
misalnya, Yayasan Kamboja juga bisa melayani pengiriman jenazah.
Dengan diberi formalin, peti yang lebih apik dan mencarter
pesawat dengan ongkos yang dapat dirundingkan.
Tetapi ambulans Yayasan Kamboja ternyata dipakai bukan untuk
orang mati saja. Yang sakit atau yang setengah hidup, jika perlu
dapat merasakan ambulans yang sebetulnya berfungsi sebagai
kereta mayat. "Apalagi kalau ada kecelakaan dan orang datang ke
kami minta tolong," kata Nyonya Walandauw lagi. Tambahnya: "Ini
salah satu fungsi sosial kami dan itu tidak kami kenakan biaya
atau kami tanyakan apakah yang kami angkut ke rumah sakit itu
anggota yayasan atau bukan."
Gelandangan
Yayasan Bunga Kamboja memang salah satu dari perkumpulan
kematian yang terbesar di Jakarta. Maklum didukung oleh
pemerintah DKI dan 30.000 pegawai DKI otomatis jadi anggota
yayasan ini. "Setiap bulan, DKI mengeluarkan anggaran Rp 30 juta
untuk iuran anggota yayasan," kata M. Diar, Kepala Personalia
Yayasan Bunga Kamboja. "Tetapi kami juga harus melayani orang
gelandangan," tambah Nyonya Walandauw lagi "paling tidak 80
orang terlantar sebulan harus kami urus."
Setiap orang dapat menjadi anggota yayasan ini dengan membayar
iuran bulanan antara Rp 100 sampai Rp 300 setiap jiwa.
Sedang PT Palang Hitam (dulu disebut NV Verbugt) adalah
organisasi kematian paling tua. Berdiri pada 1938, tahun 1953
pindah tangan dari Belanda ke Indonesia. Waktu itu, Palang Hitam
adalah perusahaan kematian paling top. Kereta mayatnya bisa juga
dijadikan ambulans berjumlah 17 buah. Armadanya kini menciut
jadi 7 buah saja. "Karena perusahaan ini banyak fungsi
sosialnya," ujar Nyonya Dr. Jenny Panggabean.
Belakangan bahkan tiga buah gedung Palang Hitam dijual untuk
menutup hutang. Meskipun begitu, "kami tidak akan bubar, kecuali
kalau Tuhan yang membubarkan usaha kami ini," kata Nyonya
Panggabean lagi. Palang Hitam juga melayani rata-rata 4 orang
gelandangan atau orang kapiran setiap hari tanpa dipungut biaya.
Palang Hitam memang lebih banyak mengurus orang yang tak mampu.
Mungkin karena kereta mayatnya sudah tua (dan tak jarang mogok
di tengah jalan dalam prosesi ke kuburan), sedangkan anggota
yang setia membayar paling banter hanya berjumlah 25 orang saja.
Ambulans tua Palang Hitam juga melayani orang sakit, "kalau
terpaksa sekali, orang sakit juga kami angkut," kata D.
Manahera, salah seorang pengurus Palang Hitam. "Biarpun secara
psikis, tidak baik dan dilarang, sama sepertl ambulans juga
dipakai untuk orang mati," sambung Manahera. Rupanya, kejadian
penggunaan insidentil kereta mayat untuk mengangkut orang sakit
menunjukkan kurang lancarnya pengurusan ambulans yang ada di
rumah sakit.
"Tapi perusahaan kami mempunyai kebanggaan tersendiri," kata
nyonya Panggabean. Karena telah banyak orang besar yang dilayani
lewat Palang Hitam, termasuk antara lain para Pahlawan Revolusi
dan peti mati untuk Bung Karno.
Selain Yayasan Bunga Kamboja dan Palang Hitam di Jakarta
terkenal pula Yayasan Dana Kami dengan kegiatan serupa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini