Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kegagalan Operasi Pasar Beras

Sepanjang 2023, harga beras tak juga turun meski pemerintah menggelar berbagai operasi pasar. Program ini harus dievaluasi.

3 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Upaya pemerintah untuk meredam harga beras melalui operasi pasar ternyata gagal.

  • Harga beras tak juga turun sepanjang 2023.

  • Pemerintah perlu meninjau kebijakan operasi pasar yang sudah bertahun-tahun gagal ini.

Khudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penulis buku Bulog dan Politik Perberasan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepanjang 2023, harga beras tak juga turun. Salah satu program pemerintah sepanjang 2023 yang patut dievaluasi adalah operasi pasar beras. Sejak awal tahun, operasi pasar menjadi jurus andalan pemerintah untuk mengendalikan harga beras. Pada Januari-Maret 2023, volume operasi pasar beras mencapai 552.081 ton. Tapi harga beras tak ada tanda-tanda akan turun. Bahkan, menurut data Panel Harga Badan Pangan Nasional, per 28 Desember 2023 pun harga beras terus bergerak naik menjauhi harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

Mengapa ini terjadi? Bukankah pada Maret 2023 mulai panen raya? Kondisi ini mengulang fenomena sebelumnya ketika pada Agustus-Desember 2022 pasar disuntik lebih dari 1 juta ton beras, tapi harga beras tetap tinggi.

Dalam operasi pasar itu, Bulog menggandeng pedagang besar atau pengecer. Sebagai pemain, kehadiran pedagang atau pengecer menjadi krusial. Mereka bisa mengambil untung dan membuat operasi pasar gagal. Celah ambil untung ini muncul lantaran beras untuk operasi pasar itu berkualitas premium. Beras ini hasil impor, yang mayoritas berasal dari Vietnam dan Thailand. Beras premium ini untuk mengintervensi harga beras medium di konsumen melalui operasi pasar bernama Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) beras yang dijual Rp 8.300 per kilogram di gudang Bulog.

Di sisi lain, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57 Tahun 2017 tentang Penetapan HET Beras, HET beras medium di konsumen sebesar Rp 9.450-10.250 per kilogram dan beras premium Rp 12.800-13.600 per kilogram (tergantung wilayah). Ada margin Rp 1.150-5.300 per kilogram. Margin besar inilah yang membuat aneka praktik moral hazard terjadi. Beras operasi pasar dioplos dengan beras medium, lalu dijual dengan harga premium. Karung berlogo Bulog diganti karung merek lain. Beras dalam karung 50 kilogram dikemas ulang dengan merek berbeda dan lain-lain.

Menyadari kelemahan itu, sejak April 2023, operasi pasar beras Bulog langsung menyasar ke retail dan konsumen akhir, yakni pasar tradisional, supermarket, dan lain-lain. Sejak saat itu, volume operasi pasar beras turun drastis. Pada periode April-November 2023, volume operasi pasar beras rata-rata 55 ribu ton beras per bulan. Volume operasi pasar beras cenderung naik seiring dengan kian luasnya jejaring Bulog di retail. Menuju akhir tahun, jumlahnya cenderung lebih besar. Praktik moral hazard bisa ditekan karena beras dikemas dalam ukuran kecil, yakni 5 kilogram. Masyarakat bisa membeli beras operasi pasar di pasar rakyat dan toko eceran dengan harga Rp 500-1.000 per kilogram lebih murah daripada harga pasar.

Masalahnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, operasi pasar beras juga menjadi outlet utama penyaluran Bulog. Agar volumenya besar, operasi pasar digelar di seluruh Indonesia sepanjang tahun. Program ini menggunakan cadangan beras pemerintah yang dikelola Bulog, baik dari pembelian lewat harga pembelian pemerintah (HPP), harga fleksibilitas, pengalihan stok komersial, maupun impor. Selain memastikan ketersediaan pasokan dan stabilitas harga beras, operasi pasar ini dilakukan agar daya beli warga terjaga serta inflasi di seluruh wilayah terkendali.

Operasi pasar adalah salah satu instrumen kebijakan untuk meredam kenaikan harga. Caranya dengan menambah pasokan beras ke pasar. Karena sifatnya demikian, operasi pasar umumnya digelar pada musim paceklik periode Oktober-Januari atau menjelang hari raya. Pada periode itu, harga beras di pasar biasanya tinggi, melampaui patokan pemerintah.

Galibnya saat paceklik, produksi gabah akan rendah dan tak mencukupi kebutuhan. Sebagian besar gabah/beras ada di tangan petani produsen dan pelaku usaha, baik di penggilingan padi maupun pedagang beras. Mereka tak akan melepas stok sebelum panen raya tiba. Tujuannya menangguk potensi keuntungan lantaran perbedaan harga antarmusim. Kala Bulog menyuntik beras ke pasar melalui operasi pasar di saat yang tepat dan jumlah yang memadai, harga beras akan terkendali dan menurun. Pelaku usaha juga akan melepas stok mereka. Kalau tetap menahan stok, mereka akan merugi.

Ada kalanya operasi pasar memble. Ia gagal mengendalikan dan menurunkan harga. Hal tersebut terjadi karena aneka penyebab, seperti intervensi terlambat, banyak rambu, atau stok minim. Karena bergantung pada situasi, jumlah operasi pasar tak pernah ditentukan. Apalagi target harian. Jika hal itu dilakukan, selain bisa merusak mekanisme pasar, dapat membuat insentif pelaku usaha yang memegang stok berkurang. Ujung-ujungnya, penetrasi pasar menjadi lemah. Kelemahan ini harus diambil alih Bulog, padahal Bulog pasti tak mampu menggantikan peran pasar dan pasti tak lebih efisien. Market failure berubah menjadi government failure (Sawit, 2019).

Operasi pasar sebagai pengendali harga dan outlet utama Bulog dimulai pada 2018. Namanya saat itu adalah Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH). Program ini didesain menggantikan outlet penyaluran pasti beras Bulog lewat program beras untuk keluarga miskin (raskin) atau beras sejahtera (rastra) yang hilang karena diubah jadi Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Agar program ini bisa digelar sepanjang tahun, pemicunya diturunkan. Harga beras minimal 10 persen di atas rata-rata beras medium di konsumen seminggu terakhir diubah menjadi 5 persen.

Secara teoretis, operasi pasar beras bisa digelar sepanjang tahun dengan volume besar. Faktanya, pada 2018-2023, volume KPSH hanya 886 ribu ton per tahun, jauh dari rata-rata penyaluran raskin/rastra pada 2014-2016 yang sebanyak 2,91 juta ton per tahun.

Apa pun namanya—KPSH atau SPHP—operasi pasar pada hakikatnya serba tak pasti. Jika outlet ini dijadikan tumpuan utama penyaluran cadangan beras pemerintah (CBP), Bulog sebagai operator operasi pasar akan berhadapan dengan hal yang sama, yakni ketidakpastian jumlah penyaluran beras. Hal ini bisa berimbas pada sisi penyerapan di hulu.

Ketika raskin/rastra diubah menjadi BPNT, kebijakan perberasan tidak terintegrasi hulu-tengah-hilir. Penyerapan (CBP) Bulog turun drastis, dari 2,16 juta ton menjadi 0,858 juta ton beras. Bulog mengerem penyerapan sebagai bagian dari upaya menekan risiko beras pengadaan menumpuk dan rusak/turun mutu dimakan usia karena tak ada saluran pasti. Menurut Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 12 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Beras Pemerintah, ada beragam outlet selain operasi pasar, seperti bencana alam/sosial, keadaan darurat, bantuan luar negeri, dan kerja sama internasional. Tapi, seperti operasi pasar, semua outlet itu serba tidak pasti.

Dengan demikian, apakah operasi pasar Bulog ini masih efektif? Pertama, operasi pasar tanpa jeda, apalagi pada panen raya, sejatinya melanggar prinsip dasar logistik. Operasi pasar semestinya dihentikan pada saat panen raya. Kala panen raya, fokus Bulog adalah menyerap beras domestik. Kalau penyerapan dilakukan bersama operasi pasar, bakal ada salah urus. Tak jelas siapa yang dilindungi, apakah produsen atau konsumen. Selain mendistorsi pasar, dua regulasi itu telah mengubah keseimbangan pasar, surplus konsumen, dan surplus produsen. Hal ini bakal menimbulkan inefisiensi pasar yang besar dan deadweight loss atau hilangnya efisiensi ekonomi, baik bagi produsen maupun konsumen, karena tidak ada titik temu antara permintaan dan penawaran (Ismet, 2020).

Kedua, efektivitas operasi pasar rendah. Operasi pasar adalah instrumen jangka pendek. Efektivitas mempengaruhi harga beras dan bergantung pada banyak hal, seperti stok pedagang; stok pemerintah; volume, jenis, dan harga beras operasi pasar; serta psikologi publik. Dengan satu jenis beras, yakni jenis medium, mustahil operasi pasar bisa meredam harga seluruh jenis beras.

Ketiga, operasi pasar tak adil karena sasaran operasi pasar bukan cuma rakyat miskin. Orang kaya dan pedagang/pengecer juga bisa menikmati. Sebagai pemain, kehadiran pedagang/pengecer membuat operasi pasar menjadi tak efektif.

Operasi pasar akan efektif jika volume beras yang disuntik ke pasar tak terbatas jumlahnya dan siapa pun boleh membeli. Apakah tak terjadi moral hazard? Jika mau konsisten, seharusnya pemerintah tidak menggalakkan operasi pasar, melainkan memperbesar subsidi atau bantuan pangan. Kala ada subsidi/bantuan pangan beras dan BPNT, seharusnya tak ada lagi operasi pasar beras. Saat keduanya dijalankan, terjadi standar ganda: subsidi umum dan subsidi terarah. Standar ganda ini akan menguras anggaran. Melihat kondisi tersebut, sepatutnya pemerintah meninjau ulang program operasi pasar beras dan BPNT.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khudori

Khudori

Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian dan penulis buku Bulog dan Politik Perberasan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus