Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Serbuan Covid yang menggila.
Lumpuhnya fasilitas kesehatan kita.
Marak politisasi pandemi di depan mata.
FASILITAS kesehatan kita benar-benar ambruk sebelum pandemi Covid-19 mencapai puncaknya. Beberapa rumah sakit rujukan di Jakarta dan kota besar lain tak sanggup lagi menampung pasien Covid-19 yang jumlahnya terus membubung, dengan rekor yang pecah saban hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga Jumat, 9 Juli lalu, total jumlah kasus Covid-19 di Indonesia telah melewati 2,4 juta orang. Kasus baru makin mendekati 40 ribu orang per hari, dengan angka kematian harian melebihi 700 orang. Padahal puncak pandemi gelombang kedua ini diprediksi baru terjadi Agustus nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sejumlah rumah sakit, pasien Covid-19 membeludak sampai lorong dan tenda-tenda darurat. Tak semua pasien mendapat ranjang. Ada yang tergolek di lantai beralas tikar. Padahal rumah sakit telah menambah kapasitasnya serta hanya merawat pasien dalam kondisi darurat.
Sistem kesehatan nasional benar-benar tak siap menghadapi wabah yang menggila. Sudah letih rasanya mengeluh: ketika pagebluk mulai masuk Indonesia pada Maret tahun lalu, pejabat pemerintah bolak-balik menyangkal dan meninabobokan masyarakat. Akhirnya semua upaya pencegahan terlambat sudah. Belakangan ini cerita kematian pasien Covid-19 karena tak mendapat perawatan makin sering terdengar—termasuk mereka yang meninggal di tempat isolasi mandiri. Anehnya, saat ini pun masih saja ada pejabat yang menyangkal situasi darurat.
Ketidakmampuan pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan yang berkejaran dengan pandemi merupakan salah satu faktor yang membuat situasi kian buruk. Namun lebih parah dari itu adalah hilangnya kepercayaan masyarakat akibat lemahnya kepemimpinan nasional.
Penyangkalan berulang oleh sebagian pejabat merontokkan kepercayaan masyarakat. Akibatnya, sebaik apa pun anjuran pemerintah, termasuk agar masyarakat menjalankan protokol kesehatan, ditanggapi dengan skeptis. Pelanggaran juga terjadi ketika pemerintah memperketat pembatasan kegiatan masyarakat.
Lemahnya kepemimpinan nasional membuat pengendalian pandemi morat-marit. Alih-alih mempercayakan penanganan pandemi kepada otoritas medis, Presiden Joko Widodo bolak-balik membentuk satuan tugas atau komite ad hoc, yang diketuai menteri bidang ekonomi dengan anggota pejabat itu-itu saja. Ketika wabah mengganas, pemerintah pusat pun dengan mudah menimpakan kegagalan kepada daerah.
Koordinasi antarlembaga pemerintah centang-perenang lantaran sebagian pemimpin melihat pandemi dari kacamata politik. Mereka mengambil (atau tidak mengambil) langkah untuk menangani pagebluk berdasarkan pertimbangan jangka pendek. Pandemi dilihat sebagai kesempatan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Para pejabat tak memposisikan diri sebagai pengawal kepentingan publik.
Meski terlambat, koreksi harus dilakukan. Otoritas kesehatan harus diberi wewenang lebih besar. Pembenahan kelembagaan penting bukan hanya untuk keluar dari krisis Covid-19, tapi juga buat mengantisipasi pandemi di masa yang akan datang. Negara seperti Amerika Serikat, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang lebih tahan atas gempuran Covid-19 karena memiliki lembaga permanen yang berpengalaman menangani pagebluk.
Lembaga yang menangani wabah haruslah dipimpin dan beranggotakan para ahli kesehatan masyarakat, ahli penyakit menular, dan ahli kebijakan publik yang mumpuni. Lembaga ini tidak diisi para jenderal, politikus, atau birokrat bermental pedagang yang lebih suka memperhitungkan untung-rugi ekonomi. Lembaga tersebut harus independen dalam membuat keputusan berbasis ilmu kesehatan masyarakat, tanpa diintervensi kepentingan politik dan ekonomi.
Pada saat yang sama, pemerintah perlu menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat. Caranya, berhenti membuat penyangkalan seraya jujurlah kepada publik, termasuk ketika melakukan kesalahan. Bermodal kepercayaan itu, masyarakat bisa diajak bahu-membahu melawan pandemi.
Di atas segalanya, Indonesia memerlukan pemimpin yang cakap serta mengutamakan kepentingan rakyat. Pandemi yang telah menjadi krisis multidimensi menuntut kehadiran pemimpin yang bersedia mengoreksi kesalahan serta menerima saran dari pelbagai kalangan, termasuk dari lawan politiknya.
Pemimpin sejati adalah pemimpin yang berjiwa besar, yakni yang bisa memaksimalkan sumber daya yang kian terbatas serta menggalang kembali solidaritas masyarakat yang terkoyak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo