Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Tawon Terancam Perusahaan Kayu

Produksi lebah Sumbawa menurun karena habitatnya dirusak oleh perusahaan kayu.

10 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo Doeloe, 27 Mei 1989

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hasil studi menyebutkan populasi lebah di Indonesia menurun 57 persen karena perubahan iklim, kekurangan pakan, serta penggunaan pestisida

  • Akhir 1980, banyak beredar madu Sumbawa palsu karena produksinya yang menurun

  • Penurunan produksi terjadi karena rusaknya habitat lebah madu di hutan-hutan Sumbawa oleh aktivitas perusahaan kayu di sana

POPULASI lebah di Indonesia tengah mengkhawatirkan. Studi Perhimpunan Entomologi Indonesia menemukan populasi lebah menurun hingga 57 persen seusai survei terhadap 272 peternak di sejumlah daerah tahun lalu. Hasil studi itu disampaikan dalam lokakarya secara virtual bertema “Lebah, Ketahanan Pangan, dan Kesehatan: Peluang dan Tantangan” pada awal April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut studi itu, ada tiga penyebab populasi lebah di Indonesia menurun, yakni perubahan iklim, kekurangan pakan, serta penggunaan pestisida. Kondisi serupa terjadi pada akhir 1980-an seperti terekam dalam artikel majalah Tempo edisi 27 Mei 1989 berjudul “Kisah Pahit Madu Sumbawa”. Artikel itu menceritakan bagaimana merosotnya jumlah produksi madu Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, karena ekspansi perusahaan kayu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Oleskan madu di kertas rokok, lalu sulutlah dengan api. Jika tidak terbakar, boleh dipastikan madu itu memang tak asli lagi—karena sudah diramu dengan air gula. Cara lain mengujinya: kocoklah kuning telur dengan madu sesendok makan. Jika kuning telur tak matang, itu tandanya madu yang dimaksud tidak asli.

Mungkin madunya asli dari Sumbawa, tapi disangka palsu. Agaknya, ini juga pertanda bahwa madu Sumbawa sudah tak banyak lagi beredar, atau merosot tingkat produksinya. Yang kedua itu yang baru-baru ini disoroti Abdullah M.T. Menurut Ketua Pusat Studi Lingkungan Universitas Mataram itu, habitat lebah madu di Sumbawa sudah rusak.

Apalagi setelah kawasan hutan di sana dikaveling-kaveling untuk hak pengusahaan hutan (HPH). Pohon besar seperti Duabanga moluccana bahkan banyak ditebangi. Karena pemilik HPH rajin menciptakan suara bising dengan membabat hutan, lebah-lebah yang kaget itu pindah ke tempat lain.

Maklumlah, lebah madu di pulau itu liar, selain tak ditangkar atau dikondisikan dalam hutan buatan. “Sekarang orang mencari madu makin jauh dari tempat permukimannya,” tutur Abdullah kepada Supriyanto Khafid dari Tempo.

Biasanya, sekelompok pemburu madu butuh waktu tiga hari untuk mencari sarang lebah di hutan. Kini mereka menambah waktu, di samping mesti teliti dan rajin mencari sarang lebah yang mungkin hijrah. Hutan di Pulau Sumbawa itu terbagi dalam tiga kabupaten (Sumbawa, Dompu, serta Bima) dan diselang-selingi padang rumput.

Habitat lebah madu pun rusak, misalnya di sekitar Kanar di perbatasan Utan Rhee, Kabupaten Sumbawa. Demikian pula di kawasan hutan Gunung Tambora, yang sejak 1972 sudah 20 ribu hektare lahannya dijadikan HPH. Tudingan Abdullah bahwa pemegang HPH merusak habitat alami lebah madu disangkal. “Data yang konkret tak ada,” kata Abubakar H. Kasipahu, Kepala Cabang Dinas Kehutanan Wilayah Dompu.

Berdasarkan data kasar dari dinas itu, Kabupaten Dompu setiap tahun menghasilkan madu merah 138 ribu liter dan madu putih 6.000 liter—angka yang kurang menunjukkan gejolak produksi yang naik-turun. Tapi hasil legalitas retribusi madu yang diperdagangkan lewat pelabuhan ternyata lain.

Pada 1984-1985, madu yang diperdagangkan dari Sumbawa ke luar pulau itu sebanyak 20.501 liter. Lalu berturut-turut dalam tiga tahun berikutnya: 20.027 liter, 13.480 liter, dan 16.468 liter. Kendati angkanya cenderung turun, menurut Abubakar, tingkat produksi madu itu lebih dipengaruhi oleh pembungaan tumbuhan liar, seperti akasia, walikukun, dan kesambi. “Meski demikian, susah membantah kerja HPH tidak mempengaruhi,” ucap Baderun Zaenal, Kepala Subdinas Program Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Barat.

Yang jelas, tak semua pencari madu alami di Dompu sulit berburu sarang lebah. Misalnya di Dusun Doropati, yang luasnya mencapai 20 kilometer persegi. Di sana, ada sekitar 30 pohon owo berkulit putih dan tingginya sekitar 30 meter. Pohon yang besarnya melebihi sepelukan tangan itu sering dihuni ribuan kelompok lebah yang membentuk sarang.

Walhasil, rusaknya habitat tampaknya belum menghantui penduduk Doropati. Mohd. Yakub, Bupati Dompu, malah berhasrat mengundang investor yang siap menjamin pemasaran madu khas Sumbawa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus