Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Orang gemuk sebagai indikator

Menurut john kenneth galbraith, ekonom as, bahwa orang gemuk dijadikan indikator sosial, mengamati kepincangan sosial di negara-negara berkembang. masyarakat hanya tahu batas minimal kalori yang diperlukan.

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMANG susah menjadi orang gemuk. Sudah banyakkeringat dan susah bergerak masih ditambah lagi sering menjadi bahan tertawaam Bahkan sering pula menjadi sasaran bagi ceramah berkepanjangan tentang pentingnya menghitung kolesterol dan menjaga kalori. Yang terakhir, orang gemuk bahkan telah dijadikan semacam indikator sosial, untuk mengukur tingkat kemiskinan di negara-negara sedang berkembang. Lelucon lagi? Bagaimana sifat gemuk, yang datang dari kelebihan makanan, digunakan untuk mengukur kemiskinan, yang timbul dari kurangnya pangan? Ternyata bukan lelucon. Ia dikemukakan oleh salah seorang intelektuil terkemuka Amerika, dengan segala kesungguhan. Ia dikemukakan oleh seorang pengamat sosial yang cermat dan terkenal dengan dan kedalaman pandangannya. John Kenneth Galbraith adalah salah seorang ekonoom terbaik di negaranya-professor ekonomi dengan banyak karya ilmiah yang laris, termasuk The Affluent Society yang menjadi karya klasik dalam bidang ekonomi di abad ini. Ia pernah dicalonkan untuk jabatan menteri dalam masa pemerintahan mendiang presiden Kennedy, untuk beberapa puluh tahun menjadi guru besar di Universitas Harvard, dan untuk banyak tahun menjadi ketua salah satu organisasi intelektuil yang mendukung partai Demokrat. Lebih-lebih Wanita Pengamatannya tentang jumlah orang gemuk di negara-negara berkembang itu dibuatnya dalam buku tentang masa jabatannya sebagai duta besar AS untuk India. Ia mengemukakan, bahwa justeru di negara-negara melaratlah jumlah orang gemuk banyak didapati. Lebih-lebih dari kaum wanita. Secara bergurau dikemukakannya, bahwa rasio kemelaratan berkembang secara berkebalikan dengan jumlah orang gemuk. Galbraith tidak membuat analisa lebih lanjut tentang indikatornya itu. Ia hanya melaporkan hasil pengamatan lahiriah yang dilakukannya dalam perialanan ke banyak negara berkembang. Tetapi dapat diperkirakan, bahwa indikator di atas memang berasal dari perkembangan yang cukup diamati di negara-negara tersebut. Kenaikan pendapatan di kalangan elite kota dan pedesaan menghasilkan peluang untuk menikmati susunan gizi yang jauh lebih baik daripada di masa lalu. Peluang memperoleh makanan dengan gizi yang menggemukkan itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh mereka yang mendapatkannya. Tetapi kelebihan kalori itu tidak dibarengi oleh peluang berolah-raga yang cukup, atau dibarengi oleh tumbuhnya pranata sosial yang memungkinkan terjadinya kontrol sosial yang ketat terhadap gejala penggemukan diri. Atau secara main-main, kesadaran akan perlunya jumlah kalori minimal untuk kesehatan di kalangan sebagian anggota masyarakat, ternyata tidak dibarengi oleh kesadaran akan batas kalori maksimal. Tahu minimalnya, tidak tahu batas maksimalnya. Begitulah, kegemukan dapat dijadikan alat untuk mengamati kepincangan sosial di negara-negara berkembang, dalam bentuk berkembangnya aspek-aspek tertentu tanpa membawa perbaikan menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Kalau wajah kemiskinan masih ada di dalamnya, berarti proses pemiskinan masih berjalan terus, karena proses itu disebabkan justeru oleh kepincangan yang disebutkan tadi. Gini, Gono-Gini Ironis juga kalau lalu tergugah perhatian kita akan melajunya proses pemiskinan, oleh "indikator sosial" yang begitu sederhana, seperti yang dikemukakan oleh J.K. Galbraith itu. Padahal mungkin sekali kita tidak tergugah oleh laporan-laporan ilmiah dengan indikator-indikator yang teruji dari sudut kebenaran matematis dan ekonomisnya. Mungkin karena kita tidak mengerti indikator-indikator lain yang begitu ruwet itu. Prof. Sayogyo dari LPB telah lama merintis upaya mengukur tingkat kehidupan dengan indikator daya beli beras. Upayanya itu akhirnya dilegitimisir oleh kalangan ilmiah kita, terbukti dari batas kemiskinan berupa kemampuan membeli 240 kg beras per orang dalam setahunnya seperti yang dikemukakan oleh perhimpunan ahli ekonomi pertanian (PERHEPI) dalarn konperensi nasionalnya baru-baru ini. Kita tidak terpukau dan tergugah oleh indikator tersebut. Begitu pula Peter D. Weldon dan D. King telah mengukur kemiskinan itu dari rasio angka Gini dalam rangka distribusi pendapatan di Jawa, seperti mereka tulis dalam sebuah artikel baru-baru ini. Kita acuh tidak acuh dengan angka-angka perolehan P.D. Weldon dan D.Y. King itu, mungkin karena sulitnya memahami konsep di sekitar angka Gini. Lebih mudah memahami Gono-Gini, yang sudah menjadi budaya ekonomi rakyat di beberapa wilayah tanah air kita. Studi Ingrid Palmer tentang kemiskinan di Jawa, seperti termuat dalam buku Proverty and Landlessness in Rural Asia, menunjukkan berbagai rumusan dari para peneliti yang berbeda-beda tentang batas terkecil pemilikan tanah sebagai indikator kecukupan dan kemiskinan. D.H. Penny dan M. Singarimbun menunjuk angka 0,7 hektar sawah yang baik sebagai batas kecukupan makan untuk sebuah keluarga di Jawa, sedangkan J. Hickson menunjuk angka 0,25 hektar sebagai batas. Itupun tidak menarik perhatian kita semua. Tetapi justeru karena begitu awamnya indikator orang gemuk yang dikemukakan oleh Galbraith, kita dapat memahaminya. Setidak-tidaknya membuat kita merasakan lebih dalam lagi problem kemiskinan yang ada di masyarakat kita. Bukankah dari kemampuan merasakan itu lalu tumbuh kesadaran untuk melakukan perbaikan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus