MEMANG susah menjadi orang gemuk. Sudah banyakkeringat dan susah
bergerak masih ditambah lagi sering menjadi bahan tertawaam
Bahkan sering pula menjadi sasaran bagi ceramah berkepanjangan
tentang pentingnya menghitung kolesterol dan menjaga kalori.
Yang terakhir, orang gemuk bahkan telah dijadikan semacam
indikator sosial, untuk mengukur tingkat kemiskinan di
negara-negara sedang berkembang. Lelucon lagi? Bagaimana sifat
gemuk, yang datang dari kelebihan makanan, digunakan untuk
mengukur kemiskinan, yang timbul dari kurangnya pangan?
Ternyata bukan lelucon. Ia dikemukakan oleh salah seorang
intelektuil terkemuka Amerika, dengan segala kesungguhan. Ia
dikemukakan oleh seorang pengamat sosial yang cermat dan
terkenal dengan dan kedalaman pandangannya.
John Kenneth Galbraith adalah salah seorang ekonoom terbaik di
negaranya-professor ekonomi dengan banyak karya ilmiah yang
laris, termasuk The Affluent Society yang menjadi karya klasik
dalam bidang ekonomi di abad ini. Ia pernah dicalonkan untuk
jabatan menteri dalam masa pemerintahan mendiang presiden
Kennedy, untuk beberapa puluh tahun menjadi guru besar di
Universitas Harvard, dan untuk banyak tahun menjadi ketua salah
satu organisasi intelektuil yang mendukung partai Demokrat.
Lebih-lebih Wanita
Pengamatannya tentang jumlah orang gemuk di negara-negara
berkembang itu dibuatnya dalam buku tentang masa jabatannya
sebagai duta besar AS untuk India. Ia mengemukakan, bahwa
justeru di negara-negara melaratlah jumlah orang gemuk banyak
didapati. Lebih-lebih dari kaum wanita. Secara bergurau
dikemukakannya, bahwa rasio kemelaratan berkembang secara
berkebalikan dengan jumlah orang gemuk.
Galbraith tidak membuat analisa lebih lanjut tentang
indikatornya itu. Ia hanya melaporkan hasil pengamatan lahiriah
yang dilakukannya dalam perialanan ke banyak negara berkembang.
Tetapi dapat diperkirakan, bahwa indikator di atas memang
berasal dari perkembangan yang cukup diamati di negara-negara
tersebut.
Kenaikan pendapatan di kalangan elite kota dan pedesaan
menghasilkan peluang untuk menikmati susunan gizi yang jauh
lebih baik daripada di masa lalu. Peluang memperoleh makanan
dengan gizi yang menggemukkan itu dipergunakan dengan
sebaik-baiknya oleh mereka yang mendapatkannya. Tetapi kelebihan
kalori itu tidak dibarengi oleh peluang berolah-raga yang
cukup, atau dibarengi oleh tumbuhnya pranata sosial yang
memungkinkan terjadinya kontrol sosial yang ketat terhadap
gejala penggemukan diri.
Atau secara main-main, kesadaran akan perlunya jumlah kalori
minimal untuk kesehatan di kalangan sebagian anggota masyarakat,
ternyata tidak dibarengi oleh kesadaran akan batas kalori
maksimal. Tahu minimalnya, tidak tahu batas maksimalnya.
Begitulah, kegemukan dapat dijadikan alat untuk mengamati
kepincangan sosial di negara-negara berkembang, dalam bentuk
berkembangnya aspek-aspek tertentu tanpa membawa perbaikan
menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Kalau wajah kemiskinan
masih ada di dalamnya, berarti proses pemiskinan masih berjalan
terus, karena proses itu disebabkan justeru oleh kepincangan
yang disebutkan tadi.
Gini, Gono-Gini
Ironis juga kalau lalu tergugah perhatian kita akan melajunya
proses pemiskinan, oleh "indikator sosial" yang begitu
sederhana, seperti yang dikemukakan oleh J.K. Galbraith itu.
Padahal mungkin sekali kita tidak tergugah oleh laporan-laporan
ilmiah dengan indikator-indikator yang teruji dari sudut
kebenaran matematis dan ekonomisnya. Mungkin karena kita tidak
mengerti indikator-indikator lain yang begitu ruwet itu.
Prof. Sayogyo dari LPB telah lama merintis upaya mengukur
tingkat kehidupan dengan indikator daya beli beras. Upayanya itu
akhirnya dilegitimisir oleh kalangan ilmiah kita, terbukti dari
batas kemiskinan berupa kemampuan membeli 240 kg beras per orang
dalam setahunnya seperti yang dikemukakan oleh perhimpunan ahli
ekonomi pertanian (PERHEPI) dalarn konperensi nasionalnya
baru-baru ini.
Kita tidak terpukau dan tergugah oleh indikator tersebut. Begitu
pula Peter D. Weldon dan D. King telah mengukur kemiskinan itu
dari rasio angka Gini dalam rangka distribusi pendapatan di
Jawa, seperti mereka tulis dalam sebuah artikel baru-baru ini.
Kita acuh tidak acuh dengan angka-angka perolehan P.D. Weldon
dan D.Y. King itu, mungkin karena sulitnya memahami konsep di
sekitar angka Gini. Lebih mudah memahami Gono-Gini, yang sudah
menjadi budaya ekonomi rakyat di beberapa wilayah tanah air
kita.
Studi Ingrid Palmer tentang kemiskinan di Jawa, seperti termuat
dalam buku Proverty and Landlessness in Rural Asia, menunjukkan
berbagai rumusan dari para peneliti yang berbeda-beda tentang
batas terkecil pemilikan tanah sebagai indikator kecukupan dan
kemiskinan. D.H. Penny dan M. Singarimbun menunjuk angka 0,7
hektar sawah yang baik sebagai batas kecukupan makan untuk
sebuah keluarga di Jawa, sedangkan J. Hickson menunjuk angka
0,25 hektar sebagai batas. Itupun tidak menarik perhatian kita
semua.
Tetapi justeru karena begitu awamnya indikator orang gemuk yang
dikemukakan oleh Galbraith, kita dapat memahaminya.
Setidak-tidaknya membuat kita merasakan lebih dalam lagi problem
kemiskinan yang ada di masyarakat kita.
Bukankah dari kemampuan merasakan itu lalu tumbuh kesadaran
untuk melakukan perbaikan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini