Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ignas Kleden
Hiruk-pikuk politik yang muncul sepeninggal mantan presiden Soeharto dipicu salah satunya oleh usul untuk memberi Soeharto gelar pahlawan. Mereka yang mengusulkan beranggapan bahwa gelar pahlawan adalah tanda penghormatan yang pantas untuk jasa-jasa Soeharto selama 32 tahun memerintah Indonesia. Sebaliknya, pihak yang menolak berkeberatan karena perkara hukum mantan presiden itu belum selesai, apalagi kalau diingat berbagai kekerasan politik yang pernah dilakukannya, dan berbagai tindakannya yang bisa dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Tulisan ini tidak mempersoalkan apakah benar Soeharto mempunyai jasa yang demikian besar sehingga layak diberi gelar pahlawan. Yang hendak dipersoalkan adalah apakah besarnya jasa seseorang dapat menjadi alasan tepat untuk menghormatinya sebagai pahlawan. Sebagai suatu perbandingan saja, kita dapat mengambil contoh Jerman Barat selepas Perang Dunia II. Negeri itu luluh-lantak secara fisik dan mental setelah kalah perang dengan ekonomi yang berantakan. Dalam pemerintahan Konrad Adenauer, kanselir pertama selepas perang, menteri ekonomi Prof Ludwig Erhard memperkenalkan gagasan Soziale Marktwirtschaft (ekonomi pasar sosial) dan menerapkannya secara konsekuen.
Dengan dukungan rakyat Jerman Barat (waktu itu) yang terkenal suka bekerja keras, pada 1960-an Jerman Barat muncul sebagai suatu Wirtschaftswunder (keajaiban ekonomi) yang membawa kemakmuran yang nyata bagi rakyat Jerman Barat dan mengundang rasa hormat dari negara-negara lain. Tidak terdengar bahwa arsitek ekonomi Jerman Barat itu pernah melakukan kekerasan politik atau terlibat dalam pelanggaran hak asasi atau terkena dugaan korupsi. Namun, dengan tetap menghormati jasanya sebagai orang yang membangun kemakmuran untuk bangsanya dari reruntuhan perang dunia, tak pernah ada usaha orang-orang di sana untuk menjadikannya pahlawan.
Kita tahu para penemu besar dalam bidang ilmu pengetahuan tentulah besar jasanya, bukan hanya untuk orang-orang di negerinya sendiri tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Penemu mesin uap, pesawat telepon, atau penemu penisilin dan berbagai obat untuk penyakit yang sebelumnya tidak terobati, demikian pula penemuan di bidang fisika dan teknologi, telah mengubah nasib jutaan orang, tetapi para penemu itu tidak dijadikan pahlawan. Jasa mereka mungkin dihargai dengan hadiah Nobel pada masa sekarang, atau dengan mengabadikan nama mereka pada gedung-gedung penting, jalan, institusi pendidikan, atau lembaga penelitian. Mengapa mereka tak diberi gelar pahlawan, dan mengapa pula tak ada partai politik di negara-negara tersebut yang mau mengusulkan gelar pahlawan bagi mereka?
Salah satu sebabnya ialah karena pahlawan bukanlah terutama seseorang yang memberikan jasa khusus, tetapi seseorang yang melakukan suatu pengorbanan khusus. Dalam banyak kasus apa yang dikorbankan adalah milik terakhir yang tak tergantikan, yaitu hidup dan nyawa yang bersangkutan sendiri. Dari segi itu kita dapat memahami bahwa Jose Rizal dipuja sebagai pahlawan Filipina bukan karena kepandaian dan jasa-jasanya sebagai seorang dokter, bukan juga lantaran kemahirannya menguasai beberapa bahasa Barat dengan baik, atau karena bakat seninya yang luar biasa. Dia menjadi pahlawan karena bersedia mati demi keyakinannya bahwa perjuangan rakyat Filipina untuk merdeka adalah sah dan benar, dan penjajahan Spanyol merupakan praktek yang harus diakhiri.
Dalam kasus mantan presiden Soeharto kita tak tahu pengorbanan khusus seperti apa yang telah diberikannya sehingga dia pantas menjadi pahlawan. Orang bisa menyebut rentetan jasanya selama berkuasa: pertumbuhan ekonomi, swasembada pangan, pertumbuhan penduduk yang terkendali, stabilitas politik yang relatif mantap, dan keamanan umum yang terjamin. Akan tetapi, demi kebenaran sejarah, patut sekali dipertanyakan harga apa yang telah dibayar oleh rakyat Indonesia untuk semua yang dianggap sebagai prestasi dan jasa tersebut.
Keamanan memang terjamin karena pada masa itu siapa saja bisa ”diamankan” setiap saat tanpa harus melalui proses hukum apa pun. Gedung sekolah bertambah di mana-mana tetapi yang hilang adalah kemampuan belajar peserta didik, karena indoktrinasi telah menerobos ke dalam didaktik dan metodik pengajaran. Stabilitas politik terjamin karena partai politik telah dipangkas jumlahnya menjadi hanya tiga, dengan Golkar yang harus menjadi pemenang dalam setiap pemilihan umum. Pertumbuhan ekonomi memang terjadi tetapi kemakmuran umum meningkat dengan seret sekali, karena hasil pertumbuhan langsung digerogoti oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme yang tak terkendali. Hasilnya adalah suatu keadaan yang seakan membenarkan apa yang diucapkan Presiden John Kennedy dalam pidato inaugurasinya: if a free society cannot help the many who are poor, it cannot save the few who are rich (jika suatu masyarakat bebas tak dapat menolong banyak orang yang miskin, masyarakat itu tak dapat juga menyelamatkan segelintir orang yang kaya).
Jadi mengapa Soeharto harus menjadi pahlawan? Masuk akal belaka bahwa orang-orang yang pernah mengalami kebaikan dan kemurahan hatinya, ingin membalas budi dengan menganugerahinya gelar tersebut. Akan tetapi gelar itu—jika diberikan—akan membawa akibat yang disintegratif secara nasional, karena kroni Soeharto akan menjadi pahlawan-pahlawan kecil, sementara para lawan politiknya sangat mungkin akan dilihat sebagai musuh para pahlawan, dan barangkali juga—dalam keadaan terburuk—akan dianggap pengkhianat.
Bukan kebetulan bahwa usul memaafkan Soeharto yang telah mendapat banyak kritik dan resistensi yang luas kini hendak diganti dengan usul tentang kepahlawanan Soeharto. Tujuannya tak banyak berbeda: memberikan konfirmasi kepada publik bahwa jasa-jasa mantan presiden ini sedemikian besarnya sehingga sanggup menghapus semua kesalahannya. Akan tetapi untuk berlaku adil: siapa gerangan yang memaafkan Soekarno setelah kejatuhannya, dan apakah jasanya kurang besar untuk bangsa dan rakyat Indonesia? Dilihat dari segi pengorbanan, sangat mungkin Soekarno telah memberikan pengorbanan yang lebih besar: dibuang ke pengasingan selama bertahun-tahun, dipenjara oleh penjajah Belanda, dan kemudian pada akhirnya ditinggal seorang diri menjelang ajalnya oleh bangsa dan rakyatnya sendiri, sekalipun untuk rakyat inilah dia telah mempertaruhkan diri dalam perjuangan kemerdekaan.
Memang kita sebaiknya berpikir kembali tentang kenyataan ini: pahlawan bukanlah orang yang memberikan jasa khusus tetapi mereka yang memberikan pengorbanan khusus. Berjasa berarti memberikan sesuatu, tetapi berkorban berarti kehilangan sesuatu. Seorang bisa berjasa karena menyerahkan sebuah rumah atau sebuah mobilnya kepada yang tidak berpunya. Akan tetapi pedagang ikan hias dan penjual kembang di Jalan Barito, Kebayoran Baru, Jakarta, memberikan pengorbanan dengan kehilangan pekerjaan, setelah tempat mereka berdagang selama bertahun-tahun digusur oleh Pemerintah DKI untuk suatu keperluan lain.
Nelson Mandela pahlawan Afrika Selatan telah dihukum penjara seumur hidup oleh pengadilan orang putih, karena berjuang menentang apartheid. Karena gencarnya protes dunia internasional, dia akhirnya dibebaskan pada 1990 setelah meringkuk 26 tahun dalam penjara. Dalam sebuah pidatonya yang terkenal setelah ia lepas dari penjara dan setelah larangan untuk partai ANC dicabut, Mandela berkata, ”Selama hidup saya telah membaktikan diri kepada perjuangan rakyat Afrika. Saya berjuang menentang dominasi putih, seperti juga saya berjuang menentang dominasi hitam. Telah saya jaga cita-cita untuk suatu masyarakat yang demokratis dan bebas, tempat semua orang hidup bersama dalam harmoni dengan kesempatan yang sama. Inilah sebuah cita-cita yang untuknya saya ingin hidup dan yang ingin saya capai. Namun, bila harus terjadi, inilah sebuah cita-cita yang untuknya saya bersedia mati.” Siapa pun yang belum paham tentang siapa itu pahlawan atau berpura-pura belum paham tentang pahlawan, sebaiknya mendengar kata-kata tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo