Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Imam B. Prasodjo
PADA 19 Januari lalu, pemerintah melantik pejabat sementara Gubernur Sulawesi Selatan, Tanri Bali Lamo, agar tak terjadi kekosongan pemerintahan. Masa bakti pasangan gubernur periode 2003-2008, H.M. Amin Syam dan wakilnya, Syarul Yasin Limpo, sejak hari itu telah kedaluwarsa, padahal pejabat baru belum ditetapkan karena hasil pemilihan masih dalam sengketa. Hal yang sama terjadi di Maluku Utara. Di tingkat kabupaten/kota, akibat proses pemilihan tak lancar, gubernur juga terpaksa menunjuk pejabat sementara bupati, seperti di Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Aceh Tenggara.
Terbayangkah bila kasus semacam ini terus terjadi di banyak provinsi dan kabupaten? Padahal, pada tahun ini setidaknya harus dilakukan 90 pemilihan kepala daerah, karena 15 pasangan gubernur serta 85 pasangan bupati/wali kota akan habis masa baktinya. Bila KPU tak berhasil menetapkan hasil pemilu untuk memilih presiden dan wakilnya sebelum 20 Oktober 2009, yakni ”jatuh tempo” masa bakti presiden/wakil presiden periode 2004-2009, akankah juga ditunjuk pejabat sementara presiden dan wakil presiden untuk mengisi kekosongan?
Bila Masa Bakti Presiden Kedaluwarsa
Menelusuri UUD 1945 setelah amendemen, tak satu pun pasal yang mengatur pengisian kekuasaan manakala masa bakti presiden dan wakil presiden kedaluwarsa, sementara pemilihan presiden belum menghasilkan presiden dan wakil presiden baru. Dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, pasal 8 ayat 1, hanya disebutkan: ”Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya.” Padahal, masalah yang kita bicarakan adalah masa bakti yang telah kedaluwarsa. Pasal 8 ayat 2 juga tidak relevan, karena ayat ini hanya mengatur: MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan presiden, bila terjadi kekosongan wakil presiden.
Para ahli hukum mungkin bisa berdebat tentang pasal 8 ayat 3, yakni, ”Jika presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksanaan tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.” Ayat ini pun tidak dapat diberlakukan karena mengacu pada situasi ketika presiden dan wakil presiden masih dalam ”masa jabatannya”, bukan saat masa baktinya telah berakhir.
Apakah, dalam situasi ini, MPR dapat serta-merta bersidang untuk memilih pejabat sementara presiden dan wakil presiden? UUD 1945 juga ternyata tak menyebut adanya kewenangan MPR memilih pejabat sementara presiden dan wakil presiden. Apalagi, dengan kedudukan MPR yang telah berubah setelah amendemen UUD 1945, semakin jauh kemungkinan MPR dapat mengambil peran ini. Dalam UUD 1945 yang telah diamendemen, kedudukan MPR tak lebih sebagai salah satu lembaga negara yang sejajar dengan DPR, DPD, BPK, MA, dan MK.
Lebih gawat lagi, dalam UUD 1945 yang baru ternyata juga belum diatur mekanisme pengisian kekosongan anggota parlemen (DPR dan DPD) bila masa bakti mereka habis, sedangkan gantinya belum tersedia akibat pemilu yang lambat. Apa jadinya bila Pemilu 2009 tak berhasil menetapkan anggota legislatif dan presiden tepat waktu? Perlu kita sadari, bila KPU tidak berhasil memilih anggota DPR/DPD pada Pemilu 2009 hingga batas akhir masa bakti DPR/DPD periode 2004-2009 (30 September 2009), atau terlambat menghasilkan presiden dan wakil presiden baru (batas akhir 20 Oktober 2009), tak terelakkan akan terjadi krisis pemerintahan. Karena itu, untuk mengantisipasi keadaan ini, jauh-jauh hari perlu dilakukan amendemen UUD 1945, khusus mengatur masalah ini.
Ancaman Keterlambatan Hasil Pemilu 2009
Sambil berharap MPR dapat bersidang untuk melakukan amendemen UUD 1945, kita secara seksama perlu mencermati seberapa jauh KPU dapat menjalankan tugasnya tepat waktu.
Pertama, harus dipahami bahwa kelancaran kerja KPU bergantung pada berbagai faktor eksternal. Cepat-lambatnya pengesahan RUU Susduk, RUU Pilpres, dan yang terpenting RUU Pemilu, yang hingga kini belum juga disahkan DPR dan pemerintah, akan sangat mempengaruhi jadwal kerja KPU. UU Pemilu sangat diperlukan agar KPU dapat segera merumuskan penjabaran aturan pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu. Bila UU Pemilu terlambat, mustahil bagi KPU untuk mulai melakukan sosialisasi tata cara teknis pemilihan kepada masyarakat.
Faktor eksternal lain terkait dengan kecepatan kerja pemerintah. Sebagai contoh, sejak dilantiknya Soeripto Bambang Setiadi sebagai Sekjen KPU pada 7 Januari lalu, tugas yang harus segera dilakukan KPU adalah membentuk tujuh biro sebagai kelengkapan organisasi Sekretariat Jenderal KPU, termasuk menentukan kepala bironya. Dalam hal ini, peranan Menteri Negara PAN sangat menentukan, karena pengisian kepala biro harus dikoordinasikan oleh KPU dengannya. Dalam pemutakhiran data pemilih, KPU juga sangat bergantung pada kinerja Departemen Dalam Negeri. Dalam verifikasi faktual peserta pemilu (parpol), KPU juga menunggu peran Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang bertugas terlebih dahulu melakukan verifikasi administratif. Akhirnya, seluruh kelancaran kerja KPU juga sangat bergantung pada Departemen Keuangan dalam menyediakan anggaran.
Dengan sempitnya waktu, kemungkinan besar KPU memerlukan adanya peraturan pemerintah (perpu) yang khusus dibuat sebagai landasan hukum bagi KPU melakukan langkah-langkah yang tak mungkin memenuhi ketentuan yang diatur undang-undang. Perpu yang mungkin dibutuhkan terkait dengan prosedur khusus pengadaan barang (procurement) dan ketentuan tentang waktu distribusi logistik kelengkapan pemilu.
Kedua, bila faktor-faktor ekstenal ini terlihat begitu rumit, KPU juga menghadapi kendala internal yang tak kalah rumitnya. Bayangkan, sejak mereka dilantik pada 23 Oktober 2007, para anggota KPU telah terkena beban psikologis. Proses seleksi yang kontroversial, dan gagalnya dilantik satu anggota terpilih karena terlibat kasus korupsi, tentu sedikit banyak mempengaruhi rasa percaya diri mereka.
Di tengah harus mempersiapkan tahapan-tahapan pemilu yang begitu ketat, KPU juga harus membentuk panitia pemilihan KPU Daerah, karena seluruh anggota KPUD periode 2003-2008 di 33 provinsi dan 485 kabupaten/kota telah habis masa baktinya. Ironisnya, pada waktu bersamaan, KPU Daerah diperkirakan sedang diperlukan tenaganya untuk melakukan verifikasi peserta pemilu atau pekerjaan lain terkait dengan persiapan tahapan-tahapan pemilu. Menjadi pertanyaan besar, mampukah KPU Daerah yang sedang mengalami transisi ini langsung bekerja mempersiapkan pemilihan legislatif dan presiden. Lebih berat lagi, pada saat yang sama, mereka juga dituntut menyelenggarakan pemilihan gubernur (di 15 provinsi) dan bupati/wali kota (di 85 kabupaten/kota)—semuanya pada tahun ini?
(Tulisan ini dalam rangka menyambut peluncuran buku Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, 2008, karya Prof Miriam Budiardjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo