Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak pagi, telepon jinjing Pitoyo Subandrio terus berdering. Mulai dari Panglima TNI, menteri, hingga belasan warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung punya pertanyaan yang sama kepadanya: tentang banjir yang menenggelamkan sebagian Jakarta pada Jumat dua pekan lalu. Kepala Balai Besar Sungai Ciliwung-Cisadane Departemen Pekerjaan Umum itu jadi andalan untuk menjelaskan soal itu karena, ”Kalau musim banjir, telepon genggam pejabat Jakarta banyak yang mati,” ujarnya.
Pitoyo rupanya sedang jengkel. Banjir bisa terjadi, menurut dia, karena ada yang salah dalam sistem drainase di Ibu kota. Akibatnya, terjadilah hal yang memalukan. Jalan protokol Mohammad Husni Thamrin, Jakarta Pusat, misalnya, terendam air hingga 60 sentimeter. Bahkan sedan Mercy tunggangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun tak mampu melawan, sehingga pasukan pengaman mengevakuasi Presiden ke dalam mobil jip untuk mencapai Istana Negara.
Banjir juga melahap 139 titik lokasi yang tersebar di lima wilayah Jakarta. Kedalaman air bervariasi dari 20 sentimeter sampai satu meter. Banjir awal Februari ini juga memutus jalur rel listrik Jakarta-Serpong-Tangerang. Tidak hanya itu, jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta di kilometer 27 terendam air sedalam 75 sentimeter. Jadwal 237 penerbangan yang seharusnya bisa menyemarakkan Visit Indonesia Year 2008 pun terganggu.
Semua kerugian ini, menurut Pitoyo, adalah karena sistem drainase amburadul. ”Ibarat orang pacaran, hubungan drainase dan pengendali banjir harusnya baik terus,” ujarnya. Gubernur Jakarta Fauzi Bowo mengakui soal ini. Namun Bang Foke, panggilan Fauzi, bukannya memperbaiki hubungan tersebut, ia malah menyalahkan kerja kontraktor yang tidak beres memperbaiki sistem drainase.
Proyek infrastruktur pengendali banjir dibangun oleh pemerintah pusat dan Jakarta setelah banjir bandang pada 2002. Di daerah hulu bakal dibangun waduk di Ciawi dan sodetan Sungai Ciliwung-Cisadane. Di hilir, pemerintah sepakat meneruskan rencana pembangunan Kanal Banjir Timur (KBT). Selain itu, juga proyek normalisasi 13 sungai yang masuk ke Ibu Kota.
Pembangunan proyek di hilir hingga sekarang terus berjalan. Menurut Fauzi Bowo, pembebasan tanah proyek KBT kini mencapai 72 persen. Kanal sepanjang 23,5 kilometer ini mencegat enam sungai di wilayah Jakarta Timur dan membuangnya ke laut di daerah Marunda, Cilincing. ”Saya memperkirakan pembebasannya rampung pada 2009,” kata Fauzi. Kanal yang mampu menampung debit air 350 meter kubik per detik ini bakal melindungi 270 kilometer persegi wilayah di sebagian Jakarta Timur dan Jakarta Utara dari banjir.
Sayang, megaproyek ini mentok di wilayah hulu. Pemerintah kota dan tokoh warga Tangerang menolak penyodetan yang mengalirkan sebagian air di Sungai Ciliwung ke Sungai Cisadane. Mereka khawatir, Tangerang yang dibelah Cisadane bakal terendam air pada musim hujan.
Waduk Ciawi yang akan menggenangi daerah seluas 204 hektare di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, juga tak dapat diteruskan. Dalam studi kelayakan, waduk ini menelan biaya Rp 4 triliun, sebagian besar untuk ongkos pembebasan tanah.
Biaya sebesar itu dianggap pemerintah pusat terlalu mahal. Dibuatlah usul baru: konsep penyodetan dan normalisasi Sungai Ciliwung di tiga lokasi. Usul itu sudah disampaikan kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta (lihat infografik) dan tahun lalu, diteruskan ke Sekretariat Negara untuk dijadikan instruksi presiden. ”Namun sampai sekarang belum keluar keputusan,” kata Pitoyo.
Tujuan penyodetan adalah meluruskan arus sungai di bagian yang berkelak-kelok. Kemudian bekas sungai ditimbun dan didirikan rumah susun bagi 70 ribu warga yang tinggal di bantaran Ciliwung sejak Kalibata sampai Kampung Melayu. Nantinya, sungai ini diperlebar dan bagian kanan-kirinya dibuat jalan inspeksi. Pada ruas ini, Sungai Ciliwung yang dulu lebarnya mencapai 40 meter, menyempit tinggal 13 sampai 20 meter. Kedalaman sungai di beberapa lokasi juga cuma dua meter.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata menyetujui konsep Departemen Pekerjaan Umum untuk menghubungkan Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur. ”Presiden mengusulkan dua opsi membuat terowongan air bawah tanah,” kata Fauzi Bowo seusai rapat dengan Yudhoyono di Balai Kota, Selasa pekan lalu.
Sungai Ciliwung yang saat hujan dan banjir debitnya mencapai 200 meter kubik per detik memang tidak bisa ditampung lagi oleh Kanal Banjir Barat.
Alternatif pertama dari kawin paksa ini, terowongan berada di bawah Jalan Pedati menuju Kali Cipinang yang merupakan ujung awal Kanal Banjir Timur. Opsi kedua ditarik dari dekat rumah susun Bidaracina ke arah timur hingga ke Inspeksi Saluran Kali Malang.
Menurut Pitoyo, pihaknya lebih merekomendasikan alternatif kedua. ”Elevasi di Bidaracina lebih tinggi ketimbang di Jalan Pedati,” ujarnya. Selain itu, di ujung barat Kali Malang pernah ada sepotong gorong-gorong yang awalnya diniatkan menuju tempat penjernihan air Pejompongan. Gorong-gorong yang tidak berfungsi inilah yang bakal digunakan kembali.
Teddy Sudinda berharap, konsep sodetan dan terowongan bawah tanah dianalisis lebih jernih. ”Jangan sampai malah menimbulkan dampak lingkungan,” kata doktor sumber daya air yang menjabat Kepala Bidang Kebutuhan Masyarakat Kementerian Riset dan Teknologi ini. Menurut dia, rekayasa itu bakal mengubah sifat alami sungai yang selama ini telah memiliki keseimbangan dengan lingkungan.
Untuk mengatasi banjir, Teddy lebih melihat pentingnya pembenahan daerah hulu. Menurut dia, sumber masalah adalah air yang melimpas melebihi daya tampung. Pembenahan itu mulai dari konservasi hutan sampai pencegahan alih fungsi lahan hijau. Termasuk juga membuat waduk di wilayah Bogor agar debit sungai yang masuk Jakarta berkurang.
Untung Widyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo