Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MOHAMMAD Hoesni Thamrin memberi teladan: sudah selayaknya seorang wakil rakyat menempatkan kepentingan orang banyak di atas segalanya. Lahir dan besar dari keluarga elite Betawi, Thamrin bergerak tidak hanya untuk komunitasnya. Spektrum politiknya tak sempit. Ia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bermula dari Dewan Kota Batavia (Gemeenteraad van Batavia), ia lantang menyuarakan hak kaum miskin kota. Buruknya kehidupan masyarakat di pinggiran Batavia, seperti minimnya sanitasi dan gizi buruk, menyedot perhatiannya. M.H. Thamrin membela mereka yang tinggal berdesak-desakan di permukiman kumuh—tanpa kakus dan ventilasi.
Ia juga peduli urusan tata kota. Dari pengerasan dan penerangan jalan, pembuatan saluran air, hingga pembangunan pintu air Manggarai untuk mengurangi banjir Ciliwung, sungai yang membelah Batavia. Dia mengkritik pemerintah Batavia yang selalu memprioritaskan pembangunan kawasan elite Menteng. Ide menata Jakarta yang kumuh sudah ada sejak Thamrin berkiprah di Dewan Kota.
Thamrin mengajarkan: semua orang dengan latar belakang yang berbeda memiliki kesetaraan hidup di sebuah kota. Ia menjadi penyambung lidah orang papa. Thamrin fasih berbicara masalah banjir dan kampung-kampung yang becek dan tanpa penerangan jalan. Perlawanannya bukan hanya untuk etnis Betawi, melainkan juga buat seluruh masyarakat urban kota.
Pergaulan Thamrin dengan tokoh kelompok sosialis seperti Daan van der Zee, Sam Koperberg, dan Douwes Dekker ikut mempengaruhi garis perjuangannya. Berkat dorongan Van der Zee, Thamrin maju dan memperoleh persetujuan asosiasi pemilih Batavia menjadi calon anggota Dewan Kota. Pada 27 Oktober 1919, Wali Kota Batavia G.J. Bisschop melantiknya sebagai anggota Dewan di usia 25.
Delapan tahun kemudian, Thamrin menjadikan Dewan Rakyat (Volksraad) medan perjuangan. Ia masuk gelanggang politik nasional di usia 33 sebagai wakil organisasi Kaoem Betawi. Di sini Thamrin memberi contoh sebagai seorang wakil rakyat yang berjuang buat kemaslahatan orang banyak. Dia tak sekadar menjadi tukang stempel kebijakan gubernur jenderal. Ia memanfaatkan Dewan Rakyat sebagai panggung untuk menyuarakan kepentingan kelompok pribumi.
Di Volksraad, Thamrin menuntut pembebasan Tjipto Mangoenkoesoemo dari pembuangan di Banda Neira dan menentang pengasingan para tokoh nasionalis lain. Ketika pimpinan gerakan nonkooperatif seperti Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir diringkus, Thamrin membawa gagasan-gagasan kelompok nonkooperatif ke dalam Volksraad. Dengan begitu, api gerakan nonkooperatif tetap menyala dan menjadi isu utama berita media massa.
Thamrin menyelamatkan dunia pergerakan di tengah masifnya pengasingan tokoh-tokoh nasionalis. Ia tak hanya menjadi jembatan, tapi juga merekatkan ikatan antara kaum kooperatif dan nonkooperatif.
Puncaknya, dia menolak Petisi Soetardjo, yang meminta pertemuan wakil Indonesia dengan Belanda untuk membahas pendirian Indonesia yang otonom di bawah konstitusi Kerajaan Belanda. Bagi Thamrin, petisi itu mencederai perjuangan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Yang tak kalah penting adalah penolakannya terhadap poenale sanctie, peraturan yang membolehkan pengusaha menghukum fisik pekerja yang melanggar kontrak kerja. Thamrin berhasil memaksa Volksraad menghapus aturan karet yang diskriminatif terhadap kaum pekerja. Ia menjadikan Dewan Rakyat tak melempem membela kepentingan masyarakat.
Hari-hari ini pragmatisme politik telah jadi lazim dan spirit M.H. Thamrin dilupakan. Politikus dan partai politik tak lagi berjuang untuk ideologi dan nilai-nilai. Parlemen menjelma menjadi arena perburuan kekuasaan untuk mengisi perut dan pundi-pundi. Politik tak ubahnya pasar dagang sapi: wani piro menjadi slogan yang jamak dipraktikkan.
Thamrin berasal dari keluarga kaya dan terpandang, Ketika kecil, ia menimba ilmu di sekolah Eropa dan berkawan dengan banyak orang Belanda. Koneksinya dengan elite kolonial mengantarkan dia menjadi anggota Volksraad. Ia ditunjuk, bukan dipilih seperti anggota lain.
Tapi ia menolak menjadi komprador. Berjuang dari dalam—frasa yang kini lazim kita dengar dari aktivis yang bosan miskin dan ingin segera jadi pejabat—Thamrin membuktikan bahwa ia bukan antek Belanda. Di usia kemerdekaan yang ke-79, M.H. Thamrin layak dikenang lebih dari sekadar sebuah nama jalan.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Makna Perlawanan Hoesni Thamrin"