Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG peringatan Hari Kemerdekaan pada 17 Agustus 2024, istilah “gotong royong” kembali hadir di tengah berbagai acara untuk merayakannya di kampung-kampung. Dana lomba tujuh belasan disebut telah dilakukan secara gotong-royong alias sumbangan dari setiap kepala keluarga. Bersih-bersih lapangan untuk perayaan oleh warga kampung juga dibilang sebagai hasil kegiatan gotong-royong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gotong-royong bahkan telah resmi masuk Kurikulum Merdeka sebagai satu dari enam Profil Pelajar Pancasila. Namun, di buku-buku teks pelajaran, istilah itu sering dipertukarkan dengan “kerja sama”. Apakah keduanya memang bermakna sama?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istilah “gotong-royong” mengingatkan kita pada pidato Sukarno di sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Juni 1945. Dalam naskah “Lahirnya Pancasila” tersebut, ia menyatakan, “Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama perjuangan bantu-binantu bersama.”
Gotong-royong kemudian menjadi istilah ideologis untuk mempersatukan rakyat dengan agihan bernegara. Keberadaannya menjadi hal penting bagi Presiden Soeharto dalam menyusun ideologi Pancasila. Di buku-buku sekolah, gotong-royong digambarkan antara lain melalui kegiatan membersihkan halaman rumah, memperbaiki jembatan rusak, hingga membersihkan tempat ibadah. Dalam hal ini, gotong-royong identik dengan kerja bakti. Pemaknaannya diiringi peribahasa “berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. Tindakan itu sebagai bentuk solidaritas untuk mewujudkan tujuan bersama. Tidak ada pamrih berupa bayaran ataupun upah.
Ada semacam ketaksaan jika menyandingkan gotong-royong dengan kerja sama. Guru sering memberi tugas kelompok bagi para murid, yang berarti mereka harus bekerja bersama-sama untuk mengerjakannya. Kerja sama dalam lingkup pendidikan kelihatannya memang bisa disamakan dengan makna gotong-royong, tapi belum tentu cocok di ruang lain. Di dunia kerja, misalnya, ada syarat bahwa karyawan harus bisa bekerja dalam tim. Bekerja dalam tim itu memang menyiratkan kerja sama, tapi pangkalnya pada upaya bersama untuk mewujudkan tujuan perusahaan. Orang yang bekerja dalam tim itu pasti berpamrih akan bayaran.
John R. Bowen (1986) menerjemahkan gotong-royong sebagai mutual assistance, yang bermakna saling membantu. Koentjaraningrat menemukan bahwa istilah gotong-royong baru muncul di perdesaan di Jawa Tengah pada 1955, beberapa bulan menjelang pemilihan umum pertama.
Bowen melihat bagaimana penggunaan istilah gotong-royong di masa Sukarno dan Soeharto berlaku sedemikian rupa sehingga menjadi “budaya Indonesia”. Dia mengakui memang ada praktik masyarakat desa yang tolong-menolong, misalnya dalam kegiatan bercocok tanam, membangun rumah, dan lainnya. Namun kegiatan berbasis tradisi ini kemudian disalahartikan menjadi kewajiban sosial dan mobilisasi masyarakat yang bersifat politis.
Gotong-royong lalu menjadi cara negara mengerahkan penduduk untuk kerja tertentu yang masih bergaung hingga kini. Mantan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara, Bambang Susantono, pernah menyatakan bahwa pembangunan berbagai fasilitas di IKN, seperti perhotelan, rumah sakit, dan perkantoran, oleh beberapa investor itu “dilaksanakan dengan prinsip gotong-royong”.
Bowen, Koentjaraningrat, Mubyarto, dan antropolog lain secara tersirat memandang tuntutan negara itu sebagai padanan modern dari upeti kerajaan atau kerja rodi kolonial sehingga ditolak di berbagai desa. Suku Gayo, misalnya, menganggap tuntutan tersebut bersifat eksternal dan insidental terhadap tatanan sosial-politik lokal. Tuntutan itu tak memiliki legitimasi budaya dan karenanya diabaikan begitu saja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gotong Royong"