Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Indonesia

Pengertian “Indonesia” mengatasi dinding-dinding lama. Orang Indonesia adalah siapa saja yang menganggapnya sebagai tanah air.

18 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA tak terpukau Juliet, gadis remaja dalam lakon termasyhur Shakespeare itu. Menurut dia, sebuah nama tak berpengaruh terhadap apa yang dinamai. Juliet yakin setangkai kembang yang wangi akan tetap harum andai tak dinamai “mawar”. “That which we call a rose/By any other name would smell as sweet.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juliet, sedang kasmaran kepada Romeo, tak melihat, nama punya genealogi yang berbeda-beda dan tak selalu terpisah dari wujud yang menyandangnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya pernah menghadiri sebuah pertemuan. Dalam percakapan, salah seorang menyebut “Indonesia” dengan “Indo”. Ini kebiasaan (atau kemalasan) mereka yang merasa lima suku kata dalam “Indonesia” terlampau panjang. Mendengar itu, sejarawan Taufik Abdullah yang hadir di antara kami menegur: sebutan “Indo” sebaiknya jangan dipakai. Nama “Indonesia”, kata Taufik Abdullah, “adalah nama yang diperjuangkan dengan berdarah-darah”.

Saya selalu ingat teguran itu. Taufik Abdullah benar.

Nama “Indonesia” tak dipungut begitu saja dari sebuah persediaan vokabuler yang sudah siap. Bennedict Anderson menulis Imagined Communities di tahun 1983, dengan kesimpulan yang sangat berpengaruh: sebuah bangsa adalah sebuah komunitas yang tak lahir sejak dulu, sejak saat terbentuknya bumi, tak bermula sejak the Big Bang. Bangsa adalah sebuah komunitas yang dianggit.

Saya memakai kata “dianggit” untuk menerjemahkan “imagined. Kata “anganggit” dalam bahasa Jawa kira-kira sama dengan “menggubah” dan “merekayasa”. Kata “rekayasa” saya kembalikan ke pengertian semula: “merancang dan mendesain”, bukan “memanipulasi” yang kini, terutama di zaman Jokowi, diartikan mirip dengan intervensi yang ingin mengubah proses yang natural.

Sebuah komunitas, kata Anderson, “dianggit [sebagai satu] sebab, walaupun di dalamnya ada ketidak-setaraan yang nyata… bangsa selalu diasumsikan (conceived) sebagai sebuah pertalian yang horisontal dan mendalam, ‘a deep, horizontal comradeship’”.

Dalam The Idea of Indonesia, sebuah buku sejarah yang layak dibaca kembali setiap Hari Proklamasi dan Sumpah Pemuda, R.E. Elson menyajikan rekaman pertemuan-pertemuan para pemuda yang datang dari wilayah yang disebut “Hindia Belanda” di kota-kota Nederland di dasawarsa awal abad ke-20. Mereka merasakan persamaan, tapi belum tahu bagaimana mengidentifikasikan diri sebagai satu. Yang menyatukan mereka hanyalah kesadaran diri sebagai kaum yang dijajah kolonialisme Belanda.

Perubahan terjadi sejak Soewardi Soerjaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Douwes Dekker tiba di Nederland sebagai orang buangan: mereka bertiga disingkirkan karena jadi pembangkang di sebuah koloni nun di Asia Tenggara, nun di Timur. Mereka menggerakkan organisasi “Indische Vereeniging” buat membantu mahasiswa “Hindia Belanda” dengan informasi dan pertemuan-pertemuan, mengatasi suasana membosankan di Leiden, Amsterdam, dan Rotterdam. Pertalian makin erat antar-suku dan etnis, hingga mereka menolak berdirinya cabang “Boedi Oetomo” karena dianggap terlalu eksklusif “Jawa”. Soewardi (yang kelak akan dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara) memimpin bulanan Hindia Poetra tempat ia menyebarkan ide-idenya—dan memakai nama “Indonesia” untuk komunitas dalam proses itu.

Seperti ketika aktif di tanah air dalam Indische Partij, pengertian “Indonesia” bagi Soewardi dan kawan-kawan mengatasi dinding-dinding lama. “Orang Indier atau Indonesia adalah siapa saja yang menganggap Indies atau Indonesia sebagai tanahair, tak peduli apakah dia murni Indonesia, atau apakah di tubuhnya mengalir darah Tionghoa, Belanda atau Eropa umumnya.” Bagi Tjipto, orang Indonesia akan harus “menyisihkan apa yang khas bagi dirinya”. Ia sendiri, seorang Jawa, menganggap adat Jawa “sembah dan dodok” sebagai sesuatu yang kuno. 

Hindia Poetra sendiri menandai itu. Di dewan redaksinya, di samping Soewardi, ada Yap Hong Tjoen dan J.A. Jonkman.

Di tanah air, nama “Indonesia” juga bergaung. Dalam pidatonya di depan umum yang pertama, di tahun 1917, Bung Karno mulai menggunakan penanda “Indonesia” bagi bangsa yang sedang dianggitnya. Pada 17 Agustus 1945 proklamasi digaungkan, “atas nama bangsa Indonesia”, ketika “bangsa Indonesia” sebenarnya belum jelas siapa.

Maka bukan tanpa persoalan. Dinding etnis, agama, kelas, dan adat lama masih tebal. “Tradisi semua generasi yang sudah mati memberat seperti mimpi buruk di dalam otak generasi yang masih hidup,” kata Marx. Dalam menganggit “Indonesia” masih belum selesai konflik pendapat tentang bagaimana mengelola perbedaan yang ada. 

Tapi di sini kita bisa menyaksikan bagaimana nama mengandung daya performatif. Nama “Indonesia” mengkonstruksi kesadaran—dan “Indonesia” mendapatkan artinya ketika orang siap memperjuangkannya.

Anderson menunjuk ke makam pahlawan tak dikenal. “Monumen-monumen itu disikapi dengan hormat dalam upacara publik persis karena mereka sengaja kosong atau tak seorang pun tahu siapa yang terbaring di dalamnya.”

Makam itu penanda yang kosong, dan dengan demikian yang ditandai, atau isinya, bisa diwujudkan bersama-sama. Bukan nama individu yang pernah ada. Isi itu lambang sebuah komunitas. Ia cerminan diri kebersamaan yang dianggit bersama—sebuah himpunan dengan wajah baru, bukan wajah masing-masing yang sudah ada.

Sajak Toto Sudarto Bachtiar, “Pahlawan Tak Dikenal”, menggambarkan itu dengan menyentuh; saya kutip sebagian:

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri
yang tak dikenalnya.

Yang muncul wajah “bangsa”. Pahlawan tak dikenal itu bukan sesuatu yang beku (ia terbaring, “tapi bukan tidur, sayang”). Ia sesuatu yang produktif. Ia bisa mengingatkan, dan membangkitkan semangat, bahwa untuk sebuah komunitas yang disebut bangsa, orang bersedia dibunuh dan membunuh. Di Surabaya, 10 November 1945, pelbagai golongan, orang dari pelbagai daerah, siap mati melawan kekuatan yang jauh lebih perkasa—meskipun identitas diri mereka, yang disebut “bangsa Indonesia”, belum jelas benar apa artinya.

Artinya, tak harus ada rumusan yang sudah selesai.

Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur, sayang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus