Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Critics say that America is a lie because
its reality falls so far short of its ideals.
They are wrong. America is not a lie, it
is a disappointment.
Samuel P. Huntington
INDIA lebih stabil ketimbang Argentina karena rakyatnya banyak yang buta huruf. Orang buta huruf yang tinggal di desa tidak serewel orang melek huruf yang berdiam di kota. Yang jadi soal bukan demokrasi atau kediktatoran. Yang jauh lebih penting adalah tercapai atau gagalnya konsensus, legitimasi, stabilitas, dan organisasi yang efektif.
Soal dukungan mayoritas hanya relevan dalam suatu demokrasi konstitusional yang stabil seperti di Amerika. Ia tidak berarti apa-apa di negara yang kacau dan penuh kekerasan seperti Vietnam. Masyarakat yang perkembangan politiknya terbelakang biasanya diimbangi oleh militer yang progresif. Militer cenderung konservatif bila terus dicerca dan dikucilkan.
Keyakinan Barat bahwa demokrasi ala Barat dan pasar bebas cocok buat seluruh dunia akan mengakibatkan Barat bertabrakan dengan Islam dan Cina yang berbeda keyakinan. Demikian beberapa buah pikiran Samuel Phillips Huntington yang cemerlang, orisinal, melawan arus—dan menjengkelkan banyak pihak.
Anak Ajaib
Umurnya sekarang 75 tahun. Lahir sebagai anak tunggal suami-istri Huntington-Phillips, Samuel masuk Universitas Yale pada umur 16 tahun dan lulus cum laude dua setengah tahun kemudian—orang biasa perlu empat tahun. Begitu mendapat gelar bachelor of arts, ia langsung mendaftar masuk tentara. Gelar master of arts dalam ilmu politik diraihnya dari Universitas Chicago. Dan akhirnya Ph.D. dari Harvard dipetiknya pada umur 23 tahun.
Ia menulis disertasi dalam empat bulan. Begitu tegangnya masa penulisan tesis tersebut sampai-sampai ia terserang diabetes. Kini tak kurang dari sembilan kali sehari ia menusuk kulit tangannya dengan jarum injeksi: enam kali untuk memeriksa kadar gula darahnya dan tiga kali untuk menyuntikkan insulin. Saat ia berusia 29 tahun, bukunya The Soldier and the State terbit. Karya ini sedang dalam proses menjadi klasik. Dalam cetak ulang ke-14, buku yang diilhami oleh pemecatan Jenderal Douglas McArthur ini untuk pertama kali menarik perhatian orang akan pentingnya hubungan sipil-militer.
Pada 1973-1974, saya hampir tiap hari ketemu Huntington di 6 Divinity Avenue, Cambridge, Massachusetts. Suaranya agak cempreng. Orangnya tidak memikat dan memberi kesan agak pemalu. Berbaris dengan Kenneth Galbraith yang setinggi pohon kelapa, Raymond Vernon yang pendek tapi tampan dan bersuara seperti kondektur bus Kopaja, dan Alfred Hirschmann yang peramah, Huntington hampir tak "kelihatan". Hanya suaranya, yang seperti orang siap cekcok, sesekali terdengar. Dalam wawancara dengan Robert Kaplan di Atlantic Monthly (Desember 2001), sosok Huntington dipaparkan sebagai orang yang nekat dan menentang arus.
Pada suatu malam, ia sedang berjalan pulang bersama istrinya setelah menghadiri jamuan makan. Tiba-tiba tiga pemuda muncul dari semak-semak dan menghardik, "Mana uang?" "Apa?" tanya Huntington sambil menghajar salah seorang yang menyerangnya. Penyerang pertama dipukulnya dan tersungkur. Seorang lagi yang sudah menindih istrinya ditinjunya—sambil berteriak minta tolong. Sebelum orang berdatangan, ketiga pemuda tadi melarikan diri.
Ketika diingatkan pada peristiwa tersebut, Huntington menjawab, "Seminggu sebelum itu, saya membaca tulisan dalam sebuah majalah yang memperingatkan para korban penodongan atau ancaman agar tidak melawan. Entah kenapa, pada saat diserang, refleks saya mengatakan 'berkelahi'!"
Huntington kenyang didemo oleh mahasiswanya sendiri. Pada 1968, ia diminta menjadi konsultan di Departemen Luar Negeri Amerika. Laporannya tentang Perang Vietnam dijadikan dasar sebuah artikelnya di Foreign Affairs. Ia mengatakan bahwa rakyat Vietnam berduyun-duyun masuk dalam pelukan Viet Cong bukan karena kemiskinan, melainkan karena langkanya kekuasaan yang efektif di luar daerah yang dikuasai Viet Cong.
Di mana ia berjalan, di sana ia dikerumuni demonstran yang memaki-maki dan menyanyikan slogan-slogan antiperang. Di Harvard ia berkantor di Center for International Affairs. Mahasiswa menyingkat nama kantor itu "CIA", mendudukinya, dan mencoba membakarnya. Pada suatu pagi, anaknya yang baru saja bangun tidur menemukan pintu depan rumahnya dicoreti tulisan: "Di sini tinggal seorang penjahat perang."
Sipil-Militer
Yang menarik untuk Indonesia, dalam The Soldier and the State, adalah pandangannya tentang dinamika hubungan sipil-militer. Katanya, ada dua macam kontrol sipil atas militer: subyektif dan obyektif. Secara garis besar, kontrol subyektif tecermin dalam pandangan bahwa kekuasaan sipil atas militer harus diperbesar guna memperkecil kekuasaan militer—semacam mekanik zero-sum. Tapi, karena kaum sipil terdiri atas banyak golongan yang berbeda sifat dan kepentingannya, akhirnya subjective civilian control berarti kontrol oleh satu golongan kaum sipil.
Ini berarti golongan yang lain tidak punya kontrol atas militer karena kontrol itu sudah dimonopoli oleh golongan yang pertama tadi. Dengan demikian, kata Huntington, upaya kontrol atas militer secara subyektif sebenarnya mencerminkan hubungan kekuasaan antargolongan. Kontrol sipil atas militer secara subyektif membawa konsekuensi bahwa kekuasaan berada di tangan satu golongan. Golongan lain tidak memegang kontrol. Itu sebabnya perlu dipersoalkan bila ada desakan abstrak agar militer ditundukkan di bawah kontrol sipil: sipil yang mana?
Di sisi lain, kontrol sipil yang obyektif bertujuan memaksimalkan profesionalisme militer. Ini menyangkut distribusi kekuasaan antara kaum sipil dan kaum militer sedemikian rupa sehingga merangsang tumbuhnya sikap dan tingkah laku profesional di kalangan anggota korps perwira.
Objective civilian control bermaksud memiliterkan pihak militer sehingga dapat benar-benar menjadi alat negara, bukan alat satu golongan dalam negara. Kontrol sipil yang obyektif berlawanan dengan kontrol subyektif karena yang terakhir ini memolitisasi militer. Anehnya, makin keras upaya kaum sipil menyubyektifkan kontrolnya atas militer, makin mendalam pula keterlibatan militer dalam politik kelembagaan negara, kelas sosial, dan konstitusi.
Huntington menyebut satu istilah yang sering kita rasakan tapi jarang diungkapkan: "rasa aman" pihak militer. Subjective civilian control membuat militer merasa tidak aman. Juga menghambat perkembangan militer menjadi kekuatan yang profesional. Definisi yang subyektif tentang kontrol atas militer oleh kaum sipil berasumsi bahwa ada pertentangan antara kontrol sipil dan perasaan aman pihak militer.
Yang menarik, kontrol sipil atas militer akan makin menjauh jika desakan kontrol tersebut menjadi semakin kuat dan, karena itu, militer merasa semakin tidak aman. Barangkali inilah yang terjadi ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden. Barangkali hal ini pula yang membuat TNI sekarang terkesan cemas atas pergantian panglimanya.
Selama eksistensi militer sebagai profesi tersendiri dengan pandangan khasnya mengenai kebijakan nasional belum diakui, selama itu pula status quo hubungan sipil-militer akan bertahan—biasanya dengan konsekuensi konsolidasi lebih kukuh di pihak militer. Di Indonesia, pemojokan militer, isolasinya, dan kecurigaan berlebihan yang ditujukan pada TNI akan berakibat berlawanan dengan yang kita harapkan. Begitu kira-kira pendapat Huntington.
"Clash" Barat-Islam
Pada 1993, Sam Huntington menulis "The Clash of Civilizations?" di Foreign Affairs. Reaksi terhadap artikel ini benar-benar menakjubkan—seperti sarang lebah yang dilempari batu. Di Indonesia, misalnya, majalah Ulumul Qur'an menurunkan edisi khusus untuk membahas teori ini.
Kesan saya atas masifnya serangan terhadap teori bentrokan peradaban Huntington adalah, pertama, Huntington seakan menangkap basah pihak Barat yang sedang berpikir dan bertindak kultural keliru. Kesan kedua, para penjaga peradaban Barat serentak waspada dan siap membela esensi kebaratannya yang diserang seorang sarjana Barat sendiri, yang pandangannya perlu diperhitungkan.
Peradaban Barat disajikan secara prinsipiil sebagai sesuatu yang universal dan, karena itu, patut dipeluk semua makhluk sejagat ini. Sinyalemen bahwa Barat tetap berprasangka, bahkan bermusuhan terhadap peradaban lain, identik dengan tuduhan bahwa mental Barat tak berhasil lolos dari partikularisme Perang Salib. Itu menyinggung perasaan peradaban Barat yang paling esensial. Apa sebenarnya yang dikatakan Huntington dalam teori "clash"-nya?
Dia bilang, sejarah dunia modern melulu ditandai oleh konflik Barat lawan Barat. Dari perang antarbangsawan, perang antarbangsa, sampai perang antar-ideologi fasis, komunis, dan demokrasi liberal, semuanya berlangsung di kalangan Barat. Baru setelah kubu komunis ambruk, dan Amerika menang, Barat siap berkonfrontasi dengan peradaban lain: Islam dan Cina. Konfrontasi ini dimulai dengan pemaksaan peradaban Barat pada pemeluk peradaban lain tersebut.
Pada umumnya kritik terhadap teori ini dapat kita bagi dalam tiga kategori besar. Serangan pertama menganggap sepi adanya peradaban lain di luar Barat. Peradaban Barat sudah menang karena terdiri atas unsur-unsur universal, dan menggiurkan bagi peradaban lain. Revolusi Islam di Iran tak akan mampu mengelakkan daya tarik demokrasi dan kebebasan individu.
Pukulan kedua datang dari pihak "detailis". Mereka bilang, Huntington terlalu main pukul rata, padahal dalam suatu peradaban terdapat banyak sekali unsur yang berbeda-beda, bahkan tak jarang bertentangan. Yang pertama mendukung Perang Teluk Amerika adalah Syekh Al-Azhar, yaitu Syekh Jadd Al-Haqq di Kairo. Yang juga gigih membenarkan serangan Amerika dan sekutunya ke Irak adalah Majelis Ulama Arab Saudi.
Hendaknya jangan dilupakan bahwa Irak, suatu negara Arab yang sekuler, telah lebih dulu menyerang Kuwait, negara yang semua penduduknya muslim. Sekarang pun, Pakistan, yang eksistensinya berdasarkan Islam, menjadi pembantu utama Amerika dalam memburu Al-Qaidah.
Kategori satu lagi dalam ofensi terhadap Sam Huntington adalah serbuan argumen "kenegaraan". Menurut argumen ini, Huntington kurang mempertimbangkan bahwa pemain utama di gelanggang benua kita masih tetap negara, bukan peradaban. Negara tidak tergerak atas dorongan peradaban, tapi atas kepentingan sekuler seperti mengamankan sumber energi, membuka pasar baru, dan meningkatkan penghasilan.
"Islam" Suka Kekerasan?
Dalam tulisannya di Foreign Affairs 1993 itu, Sam Huntington menyatakan bahwa perbatasan Islam senantiasa berdarah. Dalam tulisannya di edisi khusus Newsweek untuk menyambut konferensi "Davos" di New York (edisi Desember 2001-Februari 2002), ia menyebutkan bahwa 11 dari 16 peristiwa teror yang dahsyat di dunia pada periode 1983-2000 dilakukan oleh orang yang beragama Islam.
Lima dari tujuh negara yang oleh Departemen Luar Negeri Amerika dianggap melindungi teroris adalah negara muslim. Antara 1980 dan 1995, angkatan perang Amerika terlibat dalam 17 operasi militer pembalasan terhadap kelompok-kelompok muslim. Menurut International Institute of Strategic Studies, pada tahun 2000 ada 32 bentrokan senjata; lebih dari dua pertiga menyangkut orang Islam. Padahal jumlah muslim tak lebih dari seperlima penduduk dunia.
Ungkapan-ungkapan semacam ini membuat seorang sarjana Barat lain yang mengajar di Universitas Columbia tak bisa menahan diri. Edward Said, orang Arab yang beragama Kristen, meledak dalam tulisan berjudul "The Clash of Ignorance" di majalah The Nation (Amerika) edisi 22 Oktober 2001. Said melancarkan serangan kategori kedua dari tiga serangkai serangan terhadap teori bentrokan Huntington, yaitu serangan kaum "detailis". Kali ini pukulannya tepat mengenai sasaran.
Said mengutip tulisan almarhum Eqbal Ahmad dalam Dawn, mingguan terkemuka Pakistan. Menurut Ahmad, yang diribut-ributkan oleh dunia Barat sebagai "Islam" dan "muslim" pada hakikatnya berakar pada pencincangan Islam oleh kaum absolutis dan tiran yang fanatik, dan yang terobsesi dengan nafsu mengatur tingkah laku perorangan. "Islam" dan "muslim" semacam itu telah meremas Islam menjadi sekadar kitab undang-undang pidana, melucuti Islam dari humanismenya, estetikanya, ikhtiar intelektualnya, dan sujud spiritualnya.
Fenomena absolutisme ini merupakan distorsi agama, mengotori tradisi, dan memelintir proses politik di mana-mana. Di tangan kaum fanatik ini tak terkenali lagi Islam—agamanya, masyarakatnya, kulturnya, sejarahnya, dan politiknya yang meliputi kehidupan dan pengalaman kaum muslim berabad-abad. Yang dianggap "Islam" dan "muslim" oleh orang yang tidak paham adalah kaum absolutis dan fanatik yang haus kekuasaan, bukan jiwa.
Mereka adalah orang yang terobsesi dengan mobilisasi massa buat tujuan politik, bukan upaya meringankan beban penderitaan umat, atau merealisasikan aspirasi jemaahnya. Agenda politik mereka terbatas dan untuk jangka pendek. Sayang sekali, yang membuat distorsi ini menjadi lebih parah adalah bahwa di dalam universum kolokia "Yahudi" dan "Kristen" terdapat juga kepicikan dan distorsi serupa.
Nono Anwar Makarim
(Sumber: The Soldier and the State [Harvard University Press, 1956]; "The Clash of Civilizations?" [Foreign Affairs, Summer 1993);"On the Clash of Civilizations" [Foreign Affairs, September-Oktober 1993]; The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century [University of Oklahoma Press, 1991]; The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order [Simon & Schuster, 1996]; Robert D. Kaplan, "Looking the World in the Eye", The Atlantic Monthly [Desember 2001]; Newsweek [Desember 2001-Februari 2002]; Edward W. Said, "The Clash of Ignorance", The Nation, 22 Oktober 2001)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo