Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Tabrakan atau Dialog Antarperadaban?

Sejarah perjumpaan antarperadaban bukan hanya berisi benturan, tapi juga kerja sama dan saling adaptasi yang memperkaya kemanusiaan.

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah definisi Samuel Huntington tentang peradaban: pengelompokan manusia yang tertinggi dan tingkat identitas kebudayaan yang terluas, yang membedakan satu kelompok masyarakat dengan lainnya. Ia menyatakan, ada delapan perabadan di dunia masa kini, yaitu Barat, Konghucu, Jepang, Islam, Hindu, Slavik Ortodoks, Amerika Latin, dan "mungkin" Afrika. Pemersatu berbagai masyarakat ke dalam suatu peradaban adalah kesamaan sejarah, bahasa, kebudayaan, adat, dan yang terpenting, menurut Huntington, agama. Perbedaan memang tidak niscaya berarti konflik, dan konflik belum tentu pertikaian ganas. Namun selama beberapa abad, perbedaan antarperadaban telah menyulut konflik yang bukan saja berkepanjangan tapi juga belumur darah. Validkah pengelompokan berbagai bangsa dan kebudayaan di dunia ini hanya ke dalam delapan peradaban? Belum tentu. Kebudayaan adalah sesuatu yang sangat kompleks. Tidak ada budaya yang murni ataupun homogen. Pertukaran budaya selalu terjadi sepanjang sejarah, dan kini globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi membuat pertukaran itu terjadi tiap hari, di mana-mana, dan di semua tingkat, baik mikro maupun makro. Lihatlah dunia Islam. Ia terdiri dari berbagai negara dengan beragam corak pemikiran, budaya, bangsa, dan kepentingan politik yang bersumber dari berbagai tempat, bukan cuma Timur Tengah. Dan seberapa seringkah konflik meletus di antara sesama mereka? Fakta keras ini boleh diingat: perbedaan yang besar dan pertikaian juga sering terjadi antarkelompok atau negara yang berada dalam satu peradaban. Dipandang dari sudut agama, spektrum pemikiran mengenai Islam pun sangat luas. Dunia Islam jelas bukan hanya berisi corak pemikiran fundamentalis, minoritas vokal yang selama ini dilihat sebagai hantu oleh dunia Barat. Dari segi politik, negara-negara Islam pun sangat berbeda. Turki adalah negara berpenduduk mayoritas muslim, tapi merupakan negara sekuler yang meneladani Eropa. Republik Islam Iran dan negeri Irak masih terus bermusuhan. Jurang perbedaan budaya, sejarah, adat-istiadat, dan bahasa antara kaum muslim Indonesia dan umat Islam Somalia menganga lebar. Homogenitas yang ditekankan Huntington itu tidak ada. Yang ada hanyalah pluralitas yang melampaui batas-batas peradaban dan kebudayaan. Pertukaran Menguntungkan Seizaburo Sato, dalam artikel The Clash of Civilizations: A View from Japan, menyebut bahwa salah satu kesalahan dalam hipotesis "benturan peradaban" yang masyhur itu adalah bahwa Huntington mengabaikan kemungkinan terjadinya pertukaran antara dua peradaban yang bukan saja saling menguntungkan, tapi juga memberi vitalitas baru bagi kedua peradaban tersebut. Sato membedakan peradaban klasik (Barat, Konghucu, Jepang, Islam, Hindu, Slavik Ortodoks) dengan peradaban industrial modern (modern industrial civilization). Semua peradaban klasik, kecuali Jepang dan Eropa Barat, berpegang pada salah satu agama besar. Yang menyatukan sekelompok masyarakat ke dalam satu peradaban adalah kesamaan nilai-nilai agama dan tata sosial, dan ketika kekuatan politik sekuler menggunakan agama sebagai pemersatu, lahirlah kerajaan-kerajaan besar. Hubungan yang erat antara agama dan politik juga memungkinkan agama itu berkembang dan bertahan. Salah satu peran peradaban klasik adalah memelihara dan mempertahankan tata cara hidup yang ada, dari cara berpikir hingga ke tata sosial. Sedangkan peradaban industrial modern adalah peradaban yang sangat universal. Salah satu sifatnya adalah perubahan yang kontinu, dimotori oleh hasrat manusia untuk mengendalikan lingkungannya. Tabrakan peradaban yang terbesar justru terjadi antara peradaban klasik dan peradaban modern industrial, yaitu pada zaman imperialisme pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Hasilnya, semua daerah yang berada di kawasan sebuah peradaban klasik—yang tidak mampu melaksanakan industrialisasi dengan cepat—tumbang dan dijajah oleh salah satu kekuatan Barat yang ada kala itu. Kolonisasi memunculkan gerakan yang menolak penjajahan oleh dunia Barat, baik fisik maupun kultural. Merdekanya negara-negara bekas jajahan setelah Perang Dunia II mengantarkan dunia ke jenjang baru. Kesenjangan ekonomi antara dunia Barat dan dunia berkembang maupun di dalam sebuah negara, perubahan ekonomi dan sosial yang cepat dan terkadang drastis, globalisasi, pemerintahan yang opresif terhadap suatu etnis atau agama, standar ganda yang sering diterapkan oleh dunia Barat, juga merupakan faktor yang memupuk gerakan yang menolak kebudayaan dan nilai Barat. Dalam beberapa kasus, hal-hal ini juga mendorong gerakan nasionalis, tradisionalis, ataupun fundamentalis. Di sisi lain, industrialisasi menggerakkan transformasi sosial. Sebagian besar masyarakat berubah, dari hidup dengan bertani menjadi masyarakat industri. Pendidikan, yang semula hanya untuk segelintir orang yang berada di jajaran elite, kini tersedia bagi semua. Laju perkembangan ekonomi menghasilkan tingkat kemakmuran yang belum pernah tercapai sebelumnya. Perkembangan dan pertukaran teknologi memudahkan komunikasi dan perjalanan antardaerah, antarnegara, antar-"wilayah peradaban". Semua ini membuka mata banyak orang akan adanya tata cara hidup dan pemikiran yang lain, yang mungkin bisa diterapkan dan diadaptasi dengan baik di negara mereka sendiri. Hilang Indentitas? Apa yang sebelumnya merupakan nilai-nilai Barat seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan rule of law lambat laun menjadi nilai-nilai universal karena nilai tersebut dirasa mentransendensikan semua kebudayaan dan merupakan sesuatu yang diinginkan dan diperlukan oleh semua bangsa. Dan semua perubahan ini tidak perlu berarti hilangnya sebuah identitas budaya. Jika dilaksanakan dengan baik dan disesuaikan dengan kebutuhan dan budaya setempat, semua itu akan memperkaya kebudayaan tersebut karena suara serta keberadaan setiap individu dan kelompok etnis akan didengar dan dihormati. Tentu saja selalu ada kelompok orang yang tidak ingin berubah. Tapi di mana-mana, perubahan tak mungkin dielakkan karena lebih banyak orang yang menginginkan sesuatu dari kebudayaan lain, entah itu berupa jeans dan musik dangdut ataupun pizza dan akupunktur. Akhirnya, tersedia dua pilihan bagi kita dalam konteks ini. Terus mengikhtiarkan dialog atau membiarkan atau bahkan menerjunkan diri ke dalam pertikaian berkelanjutan yang bakal ganas dan berdarah, yang tentu akan lebih merugikan "kita" daripada "mereka"? Tragedi 11 September tidak harus menjadi bukti bahwa tabrakan peradaban itu tak terelakkan lagi dan niscaya memicu konflik yang lebih luas dan berdarah. Kita semua tahu, kini yang terjadi di sebuah negara akan menimbulkan dampak, baik atau buruk, bagi semua negara di muka bumi ini. Globalisasi yang kian lanjut tanpa terbendung telah menghapus kemewahan bagi siapa pun untuk steril terhadap perubahan. Bahkan, dalam banyak hal, perubahan itu memang lebih layak untuk diupayakan ketimbang dihindari. Dialog yang tulus akan menumbuhkan saling percaya dan saling hormat. Dialog antaragama perlu dilakukan di semua tingkat. Para pemimpin agama perlu mengembangkan toleransi dan menekankan bahwa pertikaian harus dihindari, sebab ia hanya akan menuju ke kehancuran kemanusiaan. Perbedaan agama atau budaya bukan lagi harus dicurigai atau ditakuti, tapi sesuatu yang harus dipelajari, dihormati, dan disyukuri. Orang Barat dan orang Timur, kaum muslim, Nasrani, umat Hindu, pemeluk Konghucu, dan sebagainya harus berani meninggalkan cara berpikir bahwa hanya ada satu agama, satu kebudayaan, satu tata cara hidup atau nilai-nilai sosial yang unggul dan yang lainnya tidak berlaku, terbelakang, atau tak sebaik yang mereka anut. Dialog antarbudaya akan makin membuat kita menyadari bahwa perbedaan tidak harus menjadi penyebab konflik, tapi bisa kita manfaatkan untuk memperkaya kebudayaan kita sendiri—sebagaimana telah terbukti secara meyakinkan di banyak tempat dan di banyak sejarah manusia. Sekaranglah saat yang paling tepat bagi semua penganut agama dan pengemban budaya untuk membuktikan bahwa agama dan budaya mereka adalah rahmat—bukan kutuk—bagi kemanusiaan. Poppy Ch. Barkah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus