Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Setelah 'Clash' Internal Barat

Bentrokan antara Barat dan Islam sudah berusia 1.300 tahun. Pemaksaan ideal Barat atas dunia Islam akan mengundang perlawanan.

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERANG pada abad ke-17 berlangsung di antara para pangeran, raja, dan kaisar Eropa—mereka semua sesama Barat. Dari peperangan itu, lahirlah negara kebangsaan. Satu setengah abad kemudian, perang berkobar antarbangsa, tapi masih tetap Barat lawan Barat. Sejak Revolusi Oktober 1917, peperangan mengambil bentuk konflik ideologi, antara fasisme-nazisme, komunisme, dan demokrasi liberal. Semuanya ideologi Barat. Itu sebabnya semuanya disebut "Perang Saudara Dunia Barat". Begitulah yang dicatat Samuel Huntington dalam The Clash of Civilizations. Ia menyoroti tiga peradaban: Barat, Islam, dan Konghucu. Setiap rumpun peradaban mempunyai persamaan bahasa, sejarah, agama, adat, pelembagaan budaya, dan persepsi atas identitas dirinya sendiri. Menjelang akhir abad ke-20, Uni Soviet ambruk dan Perang Dingin berakhir. Sejak saat itu, politik internasional bergeser dari tahap internal Barat ke tahap "Barat" lawan "Non-Barat" dan "Non-Barat" lawan "Non-Barat". Dalam gelombang globalisasi yang kemudian melanda dunia, uang, orang, dan barang seakan bekerja sama merobohkan perbatasan antarnegara. Interaksi di antara orang dari berbagai peradaban berlangsung lebih intensif. Makin intensif pergaulan antar-orang, kian sadar orang akan perbedaan budayanya dengan budaya orang lain. Pertumbuhan ekonomi, modernisasi, dan perubahan sosial memperlemah kedudukan negara kebangsaan sebagai sumber jati diri. Di celah kelemahan negara-bangsa tersebut, masuklah agama, sering kali dalam bentuk fundamentalisme. George Weigel berbicara tentang "desekularisasi dunia" dan Gilles Kepel menyebut "la revanche de Dieu" (pembalasan Tuhan). Agama mempersatukan kebudayaan dan melintasi batas negara kebangsaan. Kemudian tampak pengelompokan yang lebih besar, yaitu peradaban. Peradaban yang satu berbeda dari peradaban lainnya dalam hal pandangan mengenai hubungan antara Tuhan dan manusia, individu dan kelompok, warga negara dan negara, orang tua dan anak, suami dan istri, kebebasan dan kekuasaan, persamaan dan hierarki, serta dalam perimbangan antara hak dan kewajiban. Barat Versus Semua Menurut Huntington, upaya Barat memaksakan demokrasi liberal, dominasi militernya, dan kepentingan ekonominya pada peradaban lain mengundang perlawanan. Bentrokan peradaban telah terjadi pada tingkat mikro dan makro. Di tingkat mikro, itu berupa perebutan wilayah dan kekuasaan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain. Indonesia dan bekas Yugoslavia tidak asing lagi terhadap gejala ini. Pada tingkat makro, negara-negara berpacu mencapai puncak kekuasaan militer dan ekonomi, menguasai lembaga-lembaga internasional, dan mempromosikan nilai-nilai politik dan agamanya. Bentrokan antara Barat dan Islam bukan soal baru—sudah berusia 1.300 tahun. Dalam setiap bentrokan, pihak Islam selalu kalah. Pada tahun 732 di Poitiers, Prancis, Islam kalah. Pada abad pertengahan, Islam juga terpukul dalam Perang Salib. Juga di era kolonialisme Barat yang berlangsung sampai pertengahan abad ke-20. Sementara itu, Imperium Usmani Turki kalah pada 1919. Dari Perang Teluk sampai pengeboman Afganistan, Islam berperang terus—dan kalah terus. "Perbatasan Islam selalu berdarah," kata Huntington. Dalam setiap bentrokan, para pengikut peradaban selalu membantu kelompok seperadabannya. Misalnya bentrokan peradaban mikro di bekas Yugoslavia. Publik Barat mengasihani nasib muslim Bosnia yang dibantai oleh orang Serbia, yang beragama Kristen Ortodoks. Peradaban Barat kurang cocok dengan kultur Kristen Ortodoks. Tapi, ketika kelompok Kroasia, yang beragama Katolik Roma, menyerang penduduk muslim, mereka tidak terlalu peduli. Sewaktu perpecahan di Yugoslavia baru saja terjadi, Jerman membujuk negara-negara Eropa agar mengakui Slovenia dan Kroasia—keduanya wilayah Kristen "Barat". Vatikan bahkan mendahuluinya. Amerika pun menyusul. Boris Yeltsin bersimpati pada Serbia karena persamaan gereja Serbia dengan gereja Rusia, kata Huntington. Di awal 1993, beberapa ratus orang Rusia bergabung dengan angkatan bersenjata Serbia. Selama konflik di Balkan, Rusia juga banyak mengirim senjata ke Beograd. Pemerintah negara-negara Islam mengecam Barat yang membiarkan muslim Bosnia dibantai milisi Serbia dan serdadu Kroasia. Iran mengirim pasukan dan senjata. Gerilyawan Lebanon masuk ke Bosnia untuk melatih dan mengorganisasi angkatan perang Bosnia. Pada 1993, tak kurang dari 4.000 tentara muslim dari 20-an negara Islam bertempur di Bosnia. Indikasi lain yang disebut Sam Huntington sebagai konfirmasi adanya konflik peradaban antara Islam dan Barat adalah ucapan para pemimpin Barat. Mereka biasanya menggunakan istilah "masyarakat dunia" dalam menggambarkan koalisi pasukan Barat. Tapi Perdana Menteri Inggris pernah keseleo lidah. Pada 21 Desember 1990, John Major menyebut Perang Teluk sebagai perang "Dunia Barat lawan Saddam Hussein". Setelah peristiwa 11 September 2001, Presiden George W. Bush segera menyebut perang melawan teroris sebagai "Perang Salib". Menurut Huntington, mereka "salah omong", tapi "benar maksud". 11 September 2001 Kebanyakan orang Indonesia yang menyaksikan penyerudukan menara kembar World Trade Center New York oleh dua pesawat bajakan di layar televisi pada mulanya tak percaya. Ketika sadar bahwa aksi itu benar terjadi, mereka malah "mensyukurkan" Amerika. Nasib para korban dan keluarganya sama sekali tidak dipikirkan. Dalam benak mereka, "Amerika kena tulah." Banyak yang bahkan kagum akan kecermatan serangan oleh para penyerang yang lemah dan miskin terhadap Amerika yang kuat dan kaya itu. Tiada satu pun media atau partai politik yang mengutuk serangan teroris tersebut. Desas-desus di kalangan diplomatik mengatakan, hanya seorang menteri kabinet Indonesia yang berkunjung ke Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk menyatakan belasungkawa. Adakah itu kelalaian adab yang serius, atau memang disengaja? Konon, Perdana Menteri Mahathir Mohamad—yang tak putus mengecam Amerika—datang menandatangani buku belasungkawa di Kedutaan Amerika di Kuala Lumpur. Memang ada satu-dua pernyataan duka di Indonesia. Tapi hampir semuanya terkesan sebagai ritual yang setengah hati. Saya turut serta dalam satu upacara memorial yang dilakukan oleh umat dari berbagai agama, mendoakan para korban. Tapi yang didoakan bukan hanya korban di New York, melainkan juga ribuan yang mati akibat kekerasan, termasuk kekerasan oleh Amerika. Sikap semacam ini bukan hal baru. Ketika Amerika dan sekutunya menyerbu Irak, kebanyakan orang melihat Perang Teluk sebagai persekongkolan negara besar mengeroyok negara kecil. Seorang petinggi militer Indonesia menyatakan kepada pers bahwa Saddam Hussein mengingatkannya pada nasib kita di zaman revolusi kemerdekaan. Padahal media jelas menyebut bahwa Iraklah yang lebih dulu menyerbu Kuwait. Ketika Amerika mulai mengebom Afganistan, banyak yang melihatnya sebagai negara terkuat dan terkaya di dunia menghabisi negara terlemah dan termiskin di dunia. Abdurrahman Wahid, anak kesayangan Barat, spontan berseru, "Biadab!" Tampaknya, "salah omong" tapi "benar maksud" tidak terbatas pada pemimpin Barat. "Clash" ke Dalam Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, bentrok peradaban antara Barat dan Islam dianggap telah terjadi juga di Indonesia. Tapi peradaban Indonesia lebih luas daripada sekadar agama. Meski sebagian kecil organisasi Islam mengungkapkan amarah melalui serangkaian demonstrasi anti-Amerika, mayoritas organisasi Islam tidak berpendapat bahwa di Indonesia telah terjadi "clash" antara Barat dan Islam. Sebagian besar kekuatan politik di Indonesia adalah non-Islam. Sebagian besar media cetak dan elektronik di Indonesia adalah non-Islam. TNI bukan alat negara Islam. Sejarah TNI bahkan hampir seluruhnya diwarnai operasi penumpasan pemberontakan berlabel Islam. Front yang tidak tergugah oleh peristiwa 11 September 2001 sungguh lebar. Ini memberikan indikasi bahwa friksi yang terjadi dengan Barat lebih luas ketimbang sekadar "Barat versus Islam" dan bahwa alasannya bukan religius, melainkan sekuler. Ada dua gelombang besar pengaruh kultur Barat masuk ke Indonesia. Yang pertama terjadi pada revolusi kemerdekaan. Gelombang kedua sudah mulai terasa pada pertengahan 1960-an, memuncak menjelang jatuhnya Soeharto. Upaya demokratisasi, perlindungan hak asasi, transparansi, masyarakat madani, lembaga swadaya masyarakat, good governance dalam tata pemerintahan ataupun di sektor swasta, rule of law, perdagangan bebas, pelestarian lingkungan hidup, kepatuhan pada kewajiban sebagai warga negara dunia, orde baru dunia, semuanya adalah papan petunjuk jalan ke Barat. Semua kredo tersebut sudah dipeluk erat-erat, terkadang tanpa pikir panjang. Pemeluknya terutama generasi muda dan pemimpin organisasi yang bernapaskan civil society. Pada setiap papan tersebut seakan tercantum seekor elang yang menggenggam semboyan e pluribus unum. Semboyan ini rupanya teramat mengesankan Indonesia, hingga pada simbol Garuda dicantumkan terjemahannya: Bhineka Tunggal Ika. Kelas menengah Indonesia yang mampu pun mengirimkan semua anaknya bersekolah ke Amerika. Kalau orang berbicara tentang demokrasi, contohnya selalu Amerika. Mata pelajaran konstitusi di perguruan tinggi kita sarat dengan tulisan para perintis revolusi Amerika. Tidak pernah Barat sedemikian besar pengaruhnya di kalangan angkatan muda Indonesia seperti dalam gelombang kedua ini. Tiba-tiba Amerika ingkar membayar kewajiban iurannya ke PBB, lalu menolak perjanjian pembasmian ranjau darat, menolak perjanjian Kyoto tentang pemanasan bumi, menampik perjanjian Roma mengenai pengadilan internasional untuk pelanggar hak asasi, dan menarik diri secara sepihak dari perjanjian peluru kendali. Amerika memusuhi diktator mullah di Iran dan rezim Saddam Hussein di Irak, tapi mendukung otokrasi di Arab Saudi dan rezim-rezim militer di Afrika Utara dan Timur Tengah. Amerika memaksa pembukaan pasar di negeri miskin, sambil membentengi pasarnya dengan serentetan peraturan yang membatasi perdagangan bebas. Salah satu nilai dasar dalam kebudayaan Barat adalah pemisahan antara agama dan negara. Teokrasi selalu dikecam. Sekarang Amerika tidak hanya mengupayakan penyaluran bantuan luar negerinya melalui gereja, tapi juga sedang mempertimbangkan pengesahan undang-undang yang mengizinkan gereja secara resmi mendukung dan menyalurkan bantuan kepada calon pejabat politik. Sesuai dengan asas-asas hukum internasional, Amerika memimpin kecaman dunia terhadap pendudukan Timor Timur oleh Indonesia—bersamaan dengan itu, Amerika membiarkan Israel menduduki tanah yang bukan haknya. Israel juga dibiarkan mengembangkan senjata nuklir, sedangkan Pakistan dan India dihukum dengan blokade. Irak, yang juga berusaha keras mempersenjatai diri, mungkin tak lama lagi bakal dihabisi. Masyarakat yang lalai menyatakan belasungkawa atas jatuhnya ribuan korban teroris di New York dan Washington, DC, patut dianggap kurang beradab. Di Irak, ribuan anak meninggal setiap bulan sebagai akibat blokade Barat terhadap Irak. Di media massa, saya tidak membaca bahwa orang berbondong-bondong mengunjungi Kedutaan Besar Irak untuk menyatakan dukacita. Rasa kemanusiaan Barat memang mengizinkan Irak menjual minyak untuk membeli bahan pangan dan obat-obatan. Tapi program oil for food ini dihambat begitu rupa oleh sekutu Barat sehingga dua orang penanggung jawab yang berturut-turut diangkat untuk melaksanakan program tersebut—seorang berkebangsaan Kanada, seorang lagi dari Eropa—meletakkan jabatannya. "Kotak Kecil" Clinton Semua itu tidak kelihatan sebagai suatu benturan peradaban antara Barat dan Islam. Memang tampak adanya bentrokan, tapi berlangsung secara internal dalam peradaban Barat sendiri. Itu menjelma sebagai bentrokan antara nilai Barat yang luhur dan praktek Barat yang patut dikecam. "Clash" yang terjadi adalah antara ucapan yang dipropagandakan dan kelakuan berlawanan yang kita saksikan. Yang selayaknya merasa dirugikan oleh bentrokan internal peradaban Barat ini adalah para aktivis yang memperjuangkan civil society di Dunia Ketiga. Yang paling merasa terpukul adalah kita yang meringkuk dalam sistem birokrasi paternal. Tiada harapan perubahan dari dalam bagi sistem seperti itu. Upaya reformasi dari dalam harus mendapat uluran tangan dari luar. Bentrokan nilai dalam peradaban Barat sudah sangat menyulitkan perjuangan kita. Format reaksi pemimpin Barat terhadap peristiwa 11 September 2001 makin membuyarkan semua harapan kita. Tekanan penegakan hak asasi manusia mengendur, desakan demokratisasi berkurang, bantuan luar negeri bukan hanya dipotong secara drastis, tapi juga diberi cachet agama. Semuanya dikalahkan oleh politik luar negeri yang berdimensi tunggal: berburu Al-Qaidah. Baru-baru ini mantan presiden Bill Clinton berpidato pada peringatan ulang tahun BBC. Pesannya sangat mengharukan: kepada hadirin ia menyarankan agar merenung dan membandingkan "kotak kecil" yang telah kita bangun di sekitar diri kita dengan rasa kemanusiaan yang ada di dalam diri kita masing-masing. "Kotak kecil" yang dimaksud Clinton ada di mana-mana: di Teheran, New York, Tel Aviv, Yogyakarta, Washington, DC, Poso, Ambon, Aceh, Cilangkap, Los Angeles, London, dan Kairo. Jadi, jangan ditanya untuk siapa saran ini ditujukan. Untuk kita semua. Tanpa kecuali. Nono Anwar Makarim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus